Oleh : Sayid Mahbengi
Mengawali tulisan ini, sedikit kulukiskan kondisi daerahku dengan rangkaian kata. Negeriku bukanlah hamparan tanah lapang yang mudah untuk dijelajah, melainkan berupa tumpukan perbukitan yang membentang. Terdiri dari tebing yang curam, pepohonan hijau yang menjulang serta aliran sungai sebagai tanda pemisah antar bukit, yang bermuara pada sebuah danau didekat pusat pemukiman penduduk. Hanya sedikit diantara pegunungan itu tampak tidak begitu miring yang kemudian dijadikan pemukiman tempat kami bersenda gurau melepas penat, sepulang dari perkebunan.
Tanpa disadari banyak orang diluar sana yang sangat amat takjub dengan pesona alam yang kami miliki. Hingga akhirnya negeri kami menjadi sasaran tempat mereka berakhir pekan dan mengisi libur panjangnya. selain itu kami juga dianugrahi alam yang berhawa sejuk yang menjadikan kami sebagai target pasar para produsen jaket dan selimut. Kondisi alam yang sedemikian itu pula, ternyata sebagai tempat yang paling cocok di tanami tumbuhan yang menjadi kegemaran masyarakat dunia, yaitu Kopi Gayo Arabika.
Sejak sebelum nama kopi gayo mendunia, masyarakat sudah menyandarkan kehidupan ekonominya pada komuditi kopi. Perayaan pekan kebudayaan daerah pun diadakan pada permulaan musim panen di semester kedua setiap tahunnya, bertepatan pada setiap bulan agustus. Berupa perayaan pesta rakyat yang bernuansa tradisional yang dikenal dengan Pacu Kude (pacuan kuda).
Kurva intraksi ekonomi masyarakat akan meningkat drastis ketika musim panen raya. Hal ini dapat kita lihat melalui peningkatan penjualan para pedagang pada bulan-bulan musim panen raya komuditi kopi, karena hampir keseluruhan penduduk merupakan petani kopi.
Semua kebutuhan dan angan-angan akan suatu hal pasti kami kaitkan dengan kopi. Bahkan untuk meyakinkan orang dalam memberikan pinjaman uang pun dikaitkan dengan kopi. Hingga kemudian ada sebuah kalimat yang populer ditengah masyarakat dalam hal hutang piutang, yaitu “sawah tasak kupi” (Sampai panen kopi).
Biasanya ketika kalimat ini disampaikan, orang tidak ragu lagi memberikan pinjaman, karena akan di bayar ketika musim panen tiba.
Bagaimana bisa generasi negeri kami terlepas dari yang namanya komoditi kopi, sementara semua sisi kehidupan berkaitan erat dengan tumbuhan itu.
Semenjak mampu melihat dunia sudah berada dalam pahit manisnya kopi. Sebelum permainan modren dikenal ditengah masyarakat.
Banyak permainan yang berasal dari tumbuhan kopi. Baik daunnya yang dijadikan uang mainan, terompet, buahnya yang dijadikan mainan. Begitu juga dengan pohonnya. Begitulah kedekatan kami dengan yang namanya komoditi kopi.
Komoditi kopi sempat menjadi super hero yang menyelamatkan penduduk negeri kami, dari bencana ekonomi terbesar pada krisis moneter tahun 1998.
Ditengah semraut permasalahan ekonomi waktu itu. Seperti kenaikan harga BBM, semua harga kebutuhan pokok melambung tinggi, harga-harga hasil pertanian turun drastis, turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, perpolitikan di negeri Garuda ini tengah goyah dan masih banyak lagi. Namun harga komoditi kopi menjadi obor yang menerangi kelamnya kondisi perekonomian kala itu. sehingga penduduk negeri penghasil kopi ini masih mampu memancarkan senyuman.
Pahit manisnya kehidupan kami lalui bersama kopi sehingga bagi kami kopi itu laksana manusia yang mempunyai kehidupan dan perasaan. penduduk negeri kami menamainya Siti Kewe (nama yang disematkan pada tumbuhan kopi). Itulah mengapa para sesepuh dahulu memperlakukan kopi sebagaimana manusia, tidak jarang dari mereka bercerita dengan tumbuhan kopi tersebut saat di kebun sambil memberikan perawatan maksimal terhadap kopi. Hingga terbesit lah pada pikiran kami, kenapa banyak banyak rasa yang terkandung dalam kopi? Ada asin, asam, pahit, manis dan lain lain. Sama halnya dengan lika liku kehidupan para petaninya dalam membersamai kopi.
Tibalah saatnya belasan tahun silam nama Kopi Gayo mulai gentar kan dunia melalui cita rasa dan aromanya yang khas. Banyak lidah masyarakat dunia bersepakat ingin mencicipinya, ini merupakan suatu kebanggaan yang Allah anugrah kan pada kami. Ditengah berita gembira tersebut tentu juga tidak luput dari permasalahan yang datang silih berganti. Banyak mapia berdasi yang senantiasa ingin menggerogoti para petani. Setiap issu yang muncul dijadikan alasan untuk tidak membeli dengan harga tinggi. Itulah pahit manisnya kehidupan para petani kopi Karena kami hidup dari sebiji kopi.
Penulis adalah : Warga Kampung Rime Raja, Kabupaten Bener Meriah