Oleh: Quadi Azam*
“Terwujudnya Masyarakat Damai, Sehat, Cerdas, Religius dan Bermartabat
Menuju Masyarakat Aceh Tengah Adil dan Sejahtera”
Petikan kalimat diatas adalah visi ketika calon Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah periode 2017-2022. Ia mengampanyekan dirinya sebagai patronase perdamaian, yang tampak menempatkan kata damai sebagai yang pertama di wujudkan dalam program kerja 5 Tahun kedepan.
Visi tersebut adalah gambaran kerja yang harus di realisasikan dalam bentuk kegiatan, perilaku dan berbagai aktifitas lainnya.
Damai merupakan ketenangan yang sering juga dikenal dengan istilah perdamaian. Suasana damai identik dengan suasana tanpa kekerasan, ancaman, intimidasi, tekanan.
Tapi kata damai itu hakikat dari toleransi, harmoni, saling menghargai, saling mencintai untuk mencapai target atau tujuan tertentu. Dalam kepemimpinan kepala daerah bisa dikatakan sebagai bentuk sifat dan perilaku untuk mencapai visi-misi, program dan pembangunan yang telah direncanakan.
Damai itu indah, kalimat yang sering kita dengar sebagai upaya untuk menenangkan seseorang. Tapi kalimat tersebut belum tentu dapat menjadi penenang bagi pemimpin di daerah, karena ia harus bertarung dengan hasrat dan tanggungjawab.
Hasrat dan tanggungjawab merupakan eksprimental kelakuan yang dikontrol dengan iman dan taqwa serta pengetahuan dan pengalaman. Bukan sebaliknya, merendahkan dan membayangkan orang lain hadir sebagai penganggu dan perampas hasrat tapi ia harus akomodatif dan terbuka sebagai bentuk keniscayaan aplikasi iman dan taqwa.
Faktanya belum tentu semua pemimpinan mampu menampilkan perilaku yang damai. Kalaupun ia telah menarasikannya sebagai mandat dari dirinya dan menyampaikannya ke publik sebagai upaya penerang. Belum tentu hal tersebut secara outomatis menjadi cover dan wajah perilaku. Salah satunya adalah perseteruan antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah yang berujung pada pelaporan ke Kepolisian. Ini menunjukan bahwa kata damai satu saat bisa menjadi penghias narasi, bisa menjadi tipu daya dan bahkan dapat membuat kontrapersepsi juga dapat sebagai pengontrol diri.
Dalam hakikat pemidanaan, upaya pidana adalah langkah terakhir setelah dilakukan upaya lain. Dalam teori hukum, langkah pidana merupakan langkah/ senjata terakhir dan tidak disarankan untuk mengawali upaya sebelum upaya lain ditempuh dalam satu peristiwa yang juga dikenal dengan istilah “ultimum remedium.” Semua agama juga demikian, tidak jauh berbeda. Bahwa damai itu adalah bagian paling penting dan merupakan simbol dari semua agama. Karena keyakinan tanpa perdamaian sama halnya dengan ibadah dalam situasi perang.
Ketika kita membaca visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tengah Periode 2017-2022, kata damai bukan hanya sebagai visi, tapi juga sebagai pilar gerakan perubahan dengan kalimat “masyarakat yang aman, damai dan tentram.” Apakah karena damai itu hanya untuk masyarakat? atau hanya sebagai impian program belaka? Itu penting untuk kita tanya langsung pada kepala daerah tersebut. Dalam teori berdakwah, seseorang pemimpin tak akan menjadi panutan, jika ia sendiri lalai dengan apa yang sering di sampaikannya. Begitu juga dengan realisasi visi, misi dan pilar perubahan, masyarakat akan melihat apakah visi, misi, dan pilar itu mampu diraih ditengah emosionalitas yang belum terkontrol dengan baik atau malah sebagai impian melukis langit.
Harapannya, coretan ini dapat menjadi refleksi dan evaluasi. Sehingga kedepan visi dan misi serta filar perubahan dapat diraih sekaligus sebagai contoh bagi masyarakat luas. Untuk itu mari buka hati dan pikiran, jika masyarakat bisa berdamai dengan tetangganya akibat “peroloken” atau batas tanah, tentu kepala daerah harus mampu bedamai dengan sesamanya walaupun karena wewenang dan anggaran. Semoga mencerahkan.
*Penulis merupakan Penasehat Jaringan Anti Korupsi Gayo (JangKo)