Oleh Johansyah*
Fazlur Rahman, sosok intelektual muslim kelahiran Hazara Pakistan pernah mengatakan begini, “ketika kita menghendaki pembaruan dan perubahan, maka harus dimulai dari pendidikan”. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa betapa eratnya relasi pendidikan dan perubahan bagi sebuah bangsa untuk menjadi lebih baik. Keduanya adalah entitas yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Perubahan tersebut berupa upaya perubahan pola pikir seseorang dalam melihat serta menyikapi berbagai persoalan hidup yang didukung oleh kapasitas pengetahuan maupun pengalaman. Bukti riilnya kemudian ditandai dengan berkembang dan meningkatnya produktifitas maupun kreatifitas masyarakat dengan beragam temuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dimanfaatkan untuk hal-hal positif.
Misi perubahan tersebut dapat ditempuh melalui dunia pendidikan. Dengan kata lain dunia pendidikan menjadi jembatan untuk mengantarkan manusia sampai kepada tarap berpikir dan beraksi yang lebih berkualitas, karena pendidikan akan menyediakan pintu-pintu pemahaman dan pembentukan pola pikir baru yang lebih terarah dan berkualitas dengan bentuk beragam.
Jika kita telisik negara-negara maju di dunia, dapat dipastikan memiliki sistem pendidikan yang baik. Negera memiliki komitmen dan konsistensi yang tinggi terhadap pendidikan, sebab mereka menyadari betul bahwa setiap misi dan tujuan negara harus diejawantahkan melalui pendidikan. Sebaliknya, coba kita perhatikan negera-negara berkembang atau terbelakang, kemungkinan besar sistem pendidikannya belum tertata dengan baik dan masih kurangnya keberpihakan pemerintah.
Ketika berbicara perubahan, posisi pendidikan bagaikan kendaraan yang disiapkan untuk menggiring penumpangnya ke sebuah tempat yang telah direncanakan sebelumnya; ke mana arahnya, mengapa ke sana, bagaimana caranya dan siapa yang mengendalikannya.
Makanya acap kali, maju atau mundurnya sebuah bangsa selalu dihubung-hubungkan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Artinya jika sistem yang diterapkan baik (dari semua aspek), maka produknya juga akan baik, sebaliknya, jika buruk maka hasilnya juga buruk. Jadi, asumsi yang dapat dibangun adalah bahwa ketika sebuah bangsa mundur dan terbelakang atau masih tertinggal dari negara lain, maka dapat diklaim bahwa terdapat banyak kelemahan dalam sistem pendidikan mereka.
Tolak Ukur Pendidikan yang baik
Tolak ukur pendidikan yang baik adalah sesuatu yang tidak lepas dari muatan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat dalam sebuah negara. Keduanya mutlak diperlukan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Pendidikan. Minsalnya Indonesia yang memiliki muatan nilai-nilai budaya toleransi, menghargai orang lain, gotong royong, musyawarah dan sebagainya. Walaupun produk pendidikan yang dihasilkan cerdas, namun dianggap belum berhasil apabila tidak mampu mengusung nilai-nilai budaya dan agama.
Konsep ini mirip dengan paradigma ulul albab yang dikembangkan dalam alqur’an. Artinya di satu sisi, kita menginginkan pendidikan dapat menjadikan individu yang cerdas, kreatif dan bebas dalam mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Selain itu, kecerdasan seseorang harus diikuti oleh keimanan yang diperoleh melalui komunikasi intensif dengan Tuhan. Jadi, tolak ukur pendidikan yang baik itu adalah melahirkan generasi yang zikir dan fikir, atau generasi yang cerdas plus beriman.
Keimanan yang dimaksud dalam konsep ulul albab, bukan sekedar membangun kualitas relasi dengan Tuhan (hablumminallah), akan tetapi yang terpenting adalah mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan manusia, alam semesta dan segala yang ada di dalamnya (Hablumminannas wa al alam). Mengapa demikian, sebab pembuktian keimanan yang kongkrit adalah baik atau buruknya hubungan seseorang dengan yang lainnya, di samping rutinitas ibadah mahdhah yang dilakukan sehari-hari.
Pendidikan Itu Rekayasa positif
Salah satu agenda yang selalu dianggap penting adalah menata terus wajah pendidikan untuk menuju sebuah perubahan. Pendidikan adalah proses rekayasa positif untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Untuk itu, kita harus berupaya merekonstruksi pendidikan berdasarkan kedua unsur yang disebutkan di atas sembari bertanya; apakah pendidikan selama ini sudah berhasil menumbuh kembangkan karakter bangsa berdasarkan muatan nilai-nilai budaya serta agama yang beragam?, Apakah pendidikan selama ini sudah berhasil melahirkan orang-orang kaya pengetahuan dan beriman? Dan sudahkah produk pendidikan kita mampu menjawab tantangan modernitas dan mampu bersaing dalam dunia global?.
Untuk mewujudkan kedua unsur yang menjadi acuan pengembangan pendidikan di atas, maka kurikulum menjadi tumpuan utama, sebab apapun ceritanya kurikulum dapat mengakomodir berbagai muatan nilai yang dimaksud. Namun demikian perlu dicatat bahwa pembinaan mental dan moral harus menjadi prioritas utama dalam semua jenjang pendidikan, sebab aspek inilah yang sampai saat ini belum kelihatan dan tersentuh oleh kurikulum pendidikan kita.
Kurikulum yang dikembangkan saat ini masih berputar pada aspek pengetahuan dan skill yang fisikal. Padahal core pendidikan yang sebenarnya adalah pembinaan mental manusia sebagai upaya pemanusiaan manusia yang terwujud dalam sikap baik dan keluhuran budi pekerti.
Memperbarui atau mengganti kurikulum tentunya hal yang sangat membosankan. Yang penting bagaimana caranya memperkaya kurikulum yang ada saat ini dengan muatan-muatan nilai afektif seperti pendidikan karakter yang dikembangkan saat ini. Tapi tetap harus diingat, jika pendidikan karakter hanya disampaikan dalam bentuk kognetif maka sama sekali tidak akan membuahkan hasil dan malahan nanti tidak berbeda dengan pendidikan agama sekolah atau pendidikan akhlak di madrasah.
Hemat penulis, inilah yang menjadi PR utama para pakar dan pemerhati pendidikan, bagaimana sebaiknya menginternalisasikan pendidikan prilaku ini ke dalam kurikulum pendidikan kita. Penulis yakin bahwa pendidikan ideal yang kita inginkan adalah pendidikan yang melahirkan generasi cerdas dan bertakwa. Keduanya harus padu dalam mengupayakan perubahan sosial bagi generasi masa depan.
Perubahan sosial ke arah yang lebih baik merupakan cita-cita kita semua. Oleh karena itu, perbaikan sistem pendidikan harus terus diupayakan dengan cara terus menerus melihat dan mengamati berbagai persoalan pendidikan secara kritis, untuk kemudian mencari berbagai solusinya sehingga hambatan dalam upaya perubahan sosial dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
Dalam lingkup mikro masyarakat Gayo, jika kita menghendaki kemajuan dan perubahan, maka itu semua harus dimulai dari pendidikan meskipun aspek-aspek lain juga tidak diabaikan. Yang harus dipahami adalah tidak ada sebuah bangsa yang mundur karena pendidikannya terlalu maju, justru sebaliknya bahwa kemajuan bangsa karena sistem pendidikannya yang baik.
*Penulis adalah Guru SMP Negeri 13 Takengon.