Surat Terbuka untuk Generasi Muda Aceh, Perihal: Covid-19 (I)

Oleh: Ahmad Humam Hamid*

Assalamualaikum Warahmatullah untuk yang tersayang, dan yang tercinta, pemilik masa depan negeri ini. Telah lama niat saya untuk menulis surat ini kapada kalian, terutama pada masa-masa awal Covid-19 semenjak Ramadhan kemaren. Tetapi keinginan itu selalu tertahan, karena becampurnya optimisme dan kekuatiran.

Optimisme itu adalah bahwa para pemegang mandat keselamatan publik dari DPRK, DPRA, Bupati, Wali Kota, dan Gubernur akan memberikan edukasi dan penyuluhan yang cukup kepada publik tentang betapa pentingnya tahu tentang penyakit ini, tahu tentang betapa berbahayanya, dan tahu tentang langkah sederhana, murah, dan mudah untuk mengatasinya.

Kekuatiran saya sesungguhnya sangat sederhana walaupun sebenarnya saya tidak takut. Beberapa kawan baik saya, baik dari kalangan biasa maupun sejawat profesional kesehatan sekalipun merespons sejumlah artikel saya di media sebagai “penyebar ketakutan” dan dilanjutkan dengan tambahan “mengada-ngada” untuk membuat publik panik tentang Covid-19.

Ada satu dua teman baik saya yang mengatakan itu sebagai sesuatu yang tidak positif kepada kekuasaan. Akhirnya saya berkesimpulan untuk menulis informasi Covid-19 dengan gaya Aceh lebih 36 artikel di media yang lebih sopan walaupun tak jarang ada kalimat-kalimat yang “meupansie” yang synonym bahasanya adalah satir.

Sudahlah, kita tidak usah lagi mempersoalkan tentang salah benar, apalagi tentang saya yang nadanya bersifat egois yang berlebihan. Kini Covid-19 telah datang, nyata, massif, dan berseliweran disekitar kita. Kini kita harus lebih realistis bahwa Covid-19 baru saja memulai pekerjaannya secara serius untuk mencelakakan semua kita.

Tidak ada pilihan lain dari kita, terutama kalian para generasi muda untuk menghadapinya dengan tenang, tidak panik, namun serius. Sebelum itu kita lanjutkan tentang perang melawan Covid-19, izinkanlah saya menulis apa yang saya tahu tentang penyakit ini, yang bagi sebagian kalian mungkin sudah tahu. Mungkin sebagian kalian lebih tahu dari saya, karena di zaman ini, selama tidak ada larangan membaca, terutama bacaan via kepustakaan “teungku google”, tidak ada alasan kita untuk bodoh.

Pertama, pandemi Covid-19 ini disebut sebagai pandemi karena cakupan penyebarannya bukan laga sebatas negara atau kawasan, tetapi telah menyebar ke seluruh dunia, dan dalam tempo minggu dan bulan saja. Kalian tahu betapa penyakit yang bermula dari Wuhan Cina, kemudian menyerang Eropa, kemudian Amerika Serikat.

Tidak berhenti di situ, ia menyerang negara-negara Amerika Latin, kemudian menyerang India, kita, dan negara-negara benua Afrika. Ketika tulisan saya tulis, Selasa siang jam 11.46 WIB, jumlah kasus global 18,6 juta, sembuh 10.9 juta, meninggal 692 ribu, dengan 5 besar secara berurutan AS, Brazil, India, Rusia, Afrika Selatan, dan Meksiko.

Kedua, pandemi seperti ini telah terjadi selama belasan kali samenjak satu abad lebih sebelum kelahiran Nabi Isa AS, yang semuanya berhubungan dengan mahluk super kecil yang bernama bakteri atau virus. Kematian yang diakibatkan oleh berbagai pandemi itu dan menelan korban puluhan dan ratusan juta jiwa. Kasus terakhir pandemi terhebat adalah Flu H1N1 yang terjadi satu abad yang lalu yang menyerang sekitar 500 juta manusia dengan korban sekitar 50 juta jiwa tersebar di seluruh dunia.

Ketiga, dari bacaan yang ada, pandemi seperti ini tidak akan berhenti berbiak dan menular sampai mencapai angka 60-70 persen populasi penduduk, secara global, nasional, dan lokal. Itu artinya kita tidak bisa hanya sendiri mengurus ancaman ini, karena semua belahan dunia yang dihuni oleh manusia kini telah berubah menjadi sebuah “gampong” dalam menghadapi bencana secara bersama.

Kita di Aceh agak terlambat datang Covid-19, karena sedikit orang yang lalu lalang ke daerah kita, dan karenanya masuk dalam “kloter” terakhir di Indonesia bersama dengan sejumlah provinsi lainnya yang juga seperti kita. Kepada para anak muda yang berada di kabupaten/kota yang belum ada kasus, tolong beritahu DPRK dan kepala daerah penyakit ini tidak mengenal daerah “keramat”, dan tidak peduli dengan suku, bangsa, dan agama. Selama mahluk itu adalah manusia, maka ia tetap akan menjadi incaran mahluk halus ini.

Para ketua pemuda gampong, para teungku muda dayah, para muda petani dan nelayan, para ketua BEM, dan para ketua OSIS ang terkasih, oh ya saya hampir lupa menyebut para pemuda ketua ormas, dan para petinggi pemuda, baik yang peduli, belum, tapi akan peduli, dan sangat peduli dengan kenyatan yang kita akan hadapi. Dengan melihat kepada kenyataan bahwa Covid-19 ini tidak akan berhenti menular sampai mencapai angka 60-70 persen populasi, atau disebut oleh para ahli sebagai capaian “herd immunity” atau kekebalan kelompok, maka jalan yang tersedia untuk mencapai angka itu hanya ada tiga, saya ulangi hanya tiga saja.

Pertama, kita membiarkan musuh kita untuk bergerak dan bergentayangan secara bebas, bahasa ilmiahnya disebut, secara alami. Kita lebih banyak pada posisi pasif, sementara sebagian kecil saja yang aktif mencari tahu dan rajin menjaga diri, sementara selebihnya yang paling banyak tidak tahu, bahkan mungkin tidak mau tahu. Itu artinya terjadi “pembiaran” secara sadar perjalanan Covid-19 untuk secara alami mendapatkan angka 60-70 persen. Tentu dapatlah adik- adik bayangkan, secara akal sehat, ndak usah jadi ahli, bagaimana dan berapa korban yang akan terjadi akibat pembiaran alami ini.

Alternatif kedua adalah memberikan vaksinasi kepada publik layaknya vaksinasi yang diberikan untuk pencegahan berbagai penyakit kepada anak-anak. Menurut informasi, vaksin itu akan tersedia untuk dipakai pada awal tahun 2021, dan itu artinya lima bulan dari sekarang. Sudahlah, untuk mempertahankan kekebalan tubuh kita, kita berprasangka baik saja dengan keseriusan dan kerja keras pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota akan tiba segura setelah ditemukan.

Kita yakin dan berdoa bahwa tepat tanggal 1 Januari 2021 kalau kita panjang umur, semua kita akan mendapat suntikan vaksin Covid-19 dengan gratis, dan mudah. Tetapi apa yang akan terjadi antara sekarang sampái dengan bulan Desember akhir tahun ini? Hanya untuk pengetahuan saja jumlah penduduk AS itu sekitar 30 juta lebih banyak dari penduduk Indonesia. Dengan segala kehebatan ilmu pengetahuan, sumber daya, dan sistem pelayanan kesehatan moderen, selama lima bulan terakhir, korban Covid-19 telah mencapai angka diatas 160 ribu jiwa.

Para ahli sering memperingatkan tentang potensi ketimpangan korban Covid-19 antara negara maju dan negara berkembang. Bukti awal telah menunjukkan kepada kita betapa kematian yang terjadi di rumah, di jalanan, dan di tempat-tempat umum di negara Peru. Kita juga membaca dan melihat betapa Rumah Sakit Meksiko dan Brazil tak mampu melayani pasien yang membludak. Untuk kita di Aceh, yang baru saja, kita lihat bagaimana RSUDZA telah penuh, padahal pandemi ini baru saja memulai serangan yang semakin membesar.

Alternatif ketiga adalah memperpanjang “permainan” melawan Covid-19 sambil menunggu siap dan datangnya vaksin Covid-19. Tentu saya tak perlu mengajarkan kalian tentang bagaimana rahasia perpanjangan permainan ini terjadi, karena saya tahu sebagian besar kalian adalah fans dan penonton liga Eropa. Untuk lebih memudahkan cobalah nonton ulang final piala Liga Champion tahun 1999 ketika Manchester United mengalahkan Bayern Munich pada masa injury time. Sebenarnya maksud awal Manchester United adalah membuat gol seri 1-1 setelah ketinggalan 0-1 dari Bayern Munich, hanya untuk mendapat perpanjangan waktu. Tetapi pada pada menit ke 91 pada injury time, Teddy Sheringham membobolkan gol Bayern Munich. Tanpa harus menunggu perpanjangan waktu 2 kali 15 menit, pada menit ke 93 melalui tendangan Solskjaer, terjadi gol kedua yang membuat Manchester United menang 2-1.

Sekarang angggap saja Covid-19 sebagi Bayern Munich dan kita di Aceh sebagai kesebelasan Manchester United yang tidak mau kalah dan memperlama permainan, menunggu datangnya vaksin, seumpama Shringham dan Solskjaer yang akan mengalahkan sang virus. Seandainya vaksin ditemukan lebih awal dan juga awal sampai ke kita, berarti kita akan mengalahkan virus dalam masa injury time.

Intinya, meperpanjang permainan adalah memakai masker, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, cuci tangan, dan mematuhi seluruh protokol Covid-19 yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Untuk kalian tahu, perilaku anak muda dalam perang melawan Covid-19 sangat menentukan terhadap kegagalan atau keberhasilan. Kenapa seperti itu? Jawabannya banyak, tetapi saya akan mengambil hanya sebagian kecil penguat klaim itu.

Pertama, jika hari ini ada 100 orang total positif Covid-19, maka lebih dari 50 orang dari angka itu adalah orang yang tidak menunjukkan gejala sedikitpun. Hidup mereka seperti biasa saja dengan pekerjaan setiap hari menjadi sumber penyebab penularan kematian kepada orang lain. Itu dilakukan secara tidak sadar, dan mayoritas orang yang tanpa gejala itu adalah anak muda!!. Ulangi, anak muda !!!

Kedua, diantara anak muda yang tanpa gejala adalah anak muda yang sangat sehat dan kuat yang dalam bahasa ilmiah Covid-19 disebut dengan “super spreader“, bahasa Acehnya itu adalah “ubou” atau “panghulee” covid-19. Apa kerja sang “uboe”? Kerjanya, karena ia kuat sehat dan mempunyai immunitas yang tinggi , sang “uboe” ini menginfeski lebih banyak orang dari pada orang tanpa gejala biasa.

Menurut para ahli, angka yang perlu dicapai untik menginfeksi banyak orang adalah 20 persen pertama. Kemudian 20 persen inilah yang akan menularkan sisa 80 persen penduduk. Disinilah peren sang “uboe” yang paling berbahaya. mempercepat aanga 20 persen pertama dan semakin memepercepat angka 80 persen terakhir. (bersambung)

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.