Redelong | Lintasgayo.com – Paska pemberitaan di sejumlah media online, tanggal 10/09/2020, tentang pengakuan keluarga korban pemerkosaan terhadap X (16 thn) oleh 2 orang pelaku, Y (14 thn), dan Z (16 thn) di Bener Meriah.
Bahwa korban tidak mendapatkan pendampingan psikologis, dan ibu korban saat ini dalam kondisi stroke dan traumatis, akibat kejadian yang menimpa anaknya yang sampai saat ini masih sangat memiluka, kata ketua Perkumpulan Umah Sunting. Jumat 11/09/2020.
Untuk menyikapi hal tersebut, Ketua
Perkumpulan Umah Sunting Pirak, Railawati, pada saat kunjungan kekediaman keluarga korban, dan mencoba mendengarkan langsung dari korban sendiri, tentang pemerkosaan yang dialami dan pengakuan keluarganya.
Railawati mengatakan, dalam hal ini Perkumpulan Sunting Pirak ingin memastikan bahwa hak-hak korban dan keluarganya, telah terpenuhi dari hasil kunjungan.
“Kami lakukan kunjngan tepat pukul 15.00 sampai dengan 17.00 wib, dan kami sudah dapat menyimpulkan beberapa hal,” teranganya.
Ia menjelaskan, bahwa sejak awal korban diperiksa sudah didampingi oleh petugas P2TP2A, yang tidak ada pendampingan pada sidang agenda saksi. Untuk kondisi psikologi dari pengakuan keluarga, juga kepala desa bahwa korban masih terguncang jiwanya.
Kemudian pada saat bertemu dengan Relawan Umah Sunting Pirak, korban secara langsung mengatakan malu sambil mengeluarkan air mata. Pengakuan korban, Karena teman-teman semua sudah tau sehingga takut untuk keluar rumah.
Menurut Railawati, saat ini korban belum sanggup untuk ikut dalam proses kegiatan belajar mengajar, selain itu juga ibu korban dalam kondisi stroke, dan derita bertambah karena ikut tertekan perasaan.
“Miris, apabila ada tamu, ibu korban merasa panik dan meminta pintu rumah untuk segera di tutup,” ujarnya.
Sangat memilukan kondisi ibu korban, sakit lumpuhnya sudah sangat memprihatinkan, apalagi untuk mengurus kebutuhannya sehari-hari lagi, sudah tidak sanggup lagi.
Tak hanya itu, Umah Sunting Pirak mendengar dari mereka bahwa masih ada persoalan lain dibalik ini semua.
“Penuturan mereka masih ada ketidak nyamanan terhadap korban dan keluarganya, mereka bilang, apakah masih ada rasa keadilan dalam kehidupan mereka,” kisahnya.
Dikarenakan korban mengatakan bahwa salah seorang pelaku, Z (16 thn) dalam masa penangguhan tahanan, ketidak nyaman yang mereka maksud ini dan takut terulang kembali melakukan hal yang sama.
“Justru terlibat dengan kasus pemerkosaan lebih dari satu (gang rape) pada bulan Agustus 2020 yang lalu. Sehingga hal ini menambah teror bagi keluarga korban,” kata Railawati.
Selanjutnya, rasa tidak adanya keadilan terhadap pihak korban merasa sangat kecewa dengan penegakan hukum berdasarkan temuan-temuan di atas, maka Perkumpulan Umah Sunting Pirak mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada pihak terkait.
Terutama kepada Pemerintah Bener Meriah untuk tetap komit dalam pendampingan korban khususnya perempuan dan anak. Umah Sunting Pirak siap bersinergi bersama Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dalam proses penegakan hukum ini.
Selanjutnya Railawati mengingatkan kepada Aparat Penegak Hukum untuk berhati-hati dalam mengambil kesimpulan tentang upaya hukum penangguhan penahanan, atau apapun bentuk yang menempatkan pelaku dapat berkeliaran dan mengulangi tindak pidana yang sama.
Menurut Railawati bahwa ini sangat patal, yang akhirnya sangat merugikan korban dan juga menimbulkan korban-korban baru yang lain. Dalam hal ini Sunting Pirak merasa sangat prihatin karena pengawasan yang lemah terhadap hukum.
“Secara statistic kita mengetahui bahwa Bener meriah merupakan wilayah dengan angka kekerasan seksual yang memprihatinkan,” ungkapnya.
Penanganan psikologi bagi korban semestinya sudah diberikan sejak awal kasus ini ditangani sehingga korban dan keluarga korban mendapatkan layanan psikologi, psikiatri sehingga korban dan keluarganya merasa nyaman. Cetusnya.
Maka dari itu peran P2TP2A dalam hal ini sangat diharapkan untuk dapat meningkatkan koordinasi dalam penanganan kasus dan memastikan pendampingan efektif dan hak hak korban dapat terpenuhi.
Berharap dan sangat dibutuhkan sosialisasi oleh pemerintah dan institusi hukum yang cukup kepada masyarakat tentang penerapan hukum dalam payung hukum, Qanun Jinayah bagi pelaku pemerkosaan yang merupakan kebijakan khusus di Provinsi Aceh. sebut Railawati.
“Dapat dikatakan korban sering merasa tidak cukup terlindungi dari pelaku pemerkosaan apabila pelaku mendapat hukuman cambuk. Dan itu yang selama ini menjadi momok bagi masyarakat dan khususnya korban,” terang Railawati.
Khususnya bagi pelaku anak perlu upaya yang sangat serius dari APH dan institusi hukum untuk memastikan bahwa dalam lembaga pemasyarakatan anak- anak yang berhadapan dengan hukum ini dapat di rehabilitasi dan dipastikan untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya.(Putra Mandala/FG)
Comments are closed.