Terilhami Dua Hari Mayat Belum Dikuburkan, Dayah Ulumul Qur’an Didirikan

Salah seorang pendiri dayah terkejut, ketika berkunjung ke salah satu kampung terisolir di Bener Meriah (ketika itu masuk kabupaten Aceh Tengah), sekitar 30 tahun yang lalu. Di sana ada mayat yang sudah dua hari belum dikuburkan, karena imam kampungnya tidak berada di tempat.

Takut pengalaman yang “pahit” itu terulang, maka para pendiri membangun sebuah daya yang tak jauh dari pusat kota Takengon. Kini dayah itu sudah mengepakan sayabnya, mengitari udara diantara ummat.

Bila kau tak mau merasakan lelahnya belajar, maka kau akan menanggung pahitnya kebodohan. Petuah yang sangat popular dari Imam Syafi’i inilah yang dijadikan motivasi santri-santri di dayah ulumul Qur’an, Bebesen, Aceh Tengah dalam menuntut ilmu.

Dayah ulumul Qur’an,yayasan Quba Bebesen, terletak tidak jauh dari pusat kota Takengon.Berdiri tepat di sebelah mesjid Quba, masjid yang pernah dibakar PKI pada tahun 1965. Karena dayah ini persis di arah barat masjid, masyarakat mengira Quba  adalah nama asli dayah ini.

Dayah ini  didirikan oleh tiga sosok yang kini sudah armarhum. Tgk. H. Abdurrahman ,  Drs.Tgk. H. Mahmud ibrahim,MA dan  Tgk. H. Adullah Ali,pada tahun 1990.Tanah tempatnya berdiri merupakan Tanah mesjid Quba.

Pada saat itu mesjid dan dayah masih berada dalam lokasi yang sama.Karena itulah yayasan pengurus dayah pun dinamai Yayasan Quba. Hingga akhirnya tanah pesantren semakin luas dan terpisah dengan mesjid.

“Benar awalnya dayah ini masuk dalam komplek masjid,” sebut Sehruddin suara,salah seorang Ustadz senior di sana menjawab tim jurnalistik dayah ketika diminta keteranganya, medio Desember ini.

Laki-laki paruh baya ini sudah mengajar di sana sejak tahun 1993.  Ayah berjenggot tebal ini  yang semuanya sudah hampir memutih itu juga mengatakan bahwa dia tidak hanya  menjadi guru di dayah tapi juga di madrasah ,dia mengajar pelajaran umum.

Ini yang diajarkanya berbeda dengan  besik jurusannya,karena dia merupakan lulusan STM/SMK. Namun dia punya keahlian dalam ilmu agama, disamping keuangan dayah pada saat itu masih sulit, tidak cukup untuk mengutus banyak tenaga pengajar, jadilah dia sebagai guru sampai dengan sekarang.

“ Awal-awal berdiri dayah, pengurus  pernah menyewa rumah-rumah warga kampung Bebesen untuk asrama santri, karena ketidak tersediaannya asrama. Bahkan Rumah Alm. Tgk. H. Abdullah Ali juga pernah dijadikan sebagai tempat tinggal santri hingga tahun 2003,” sebut Ranta S.Pd.I, salah seorang ustad di sana .

Dayah ini diberi nama ulumul Qur’an karena pendiri ingin tempat ini dijadikan sebagai wadah untuk memperdalam Al-qur’an, jelas Ranta. Ia juga merupakan alumni yang menjadi ustadz, hal ini membuktikan kemampuan dayah tersebut menghasilkan generasi islami dan berpengetahuan tingg. Dapat memberikan manfaat masyarakat luas dan khususnya untuk dayah ini sendiri.

Ranta menjelaskan,   latar belakang didirikannya pesantren dikarenakan pada masa itu, Tgk Mahmud Ibrahim pergi ke Samar kilang Bener Meriah. Di sana dia menjumpai sesosok  mayat yang belum dimandikan dan dikuburkan sudah 2 hari lamanya.

Disebabkan orang kampung tersebut tidak mempunyai pengetahuan cara memandikan mayat , apalagi imam dalam kampung tersebut tidak berada di sana. samar Kilang ketika itu merupakan kawasan terisolir, akses kesana sangat sulit.

Kejadian itulah membuat Mahmud ibrahim ingin mendirikan sebuah psantren, karena dia berharap kejadian tersebut tidak terulang lagi bagi penerus yang akan datang, sebut Ranta.

Salah seorang pengurus dayah, Ridwan Abdullah, yang merupakan anak kandung dari Alm. Tgk. H. Abdullah Ali, salah satu pendiri sekaligus pimpinan dayah pertama, menjawab tim santri menjelaskan, saat ini luas dayah sudah mencapai 1,5 hektar.

Awal berdiri pasantren Ulumul Qur’an memiliki alumni  30 orang santri. Kini pasantren ini sudah berkembang dan sudah mengukir masa keemasanya. Disana ada 23 ustadz dan 300 murid, ada 16 ruangan untuk asrama putri dan 7 ruangan untuk asrama putra, serta dikawal oleh dua satpam.

Ridwan menjelaskan, dayah terpadu ini memadukan pelajaran umum dan agama. Proses pembelajaran yang lumayan padat, walau santri disini harus memasak sendiri, namun mereka masih punya waktu luang.

Memasak sendiri bagi santri di sana ada nilai plusnya, mereka dilatih mandiri, mampu memanfaatkan waktu. Berbeda dengan pesantren modern, dimana ada petugas khusus untuk memasak nasi.

Ridwan mengakui, awal mula berdirinya  dayah ini, banyak komentar  yang tidak enak didengar, baik kepada ustadz dan ustadzah maupun santri-santri. Ada keributan diluar pesantren, karena ada beberapa pihak yang tidak suka berdirinya pesentren di sana.

Namun seiring dengan perjanan waktu dan ketabahan para pejuang pesantren ini, sampai kini pesantren terus berkembang. Karena santri dan santriwati dayah berpegang teguh pada amanat dan misi pendiri pesantren, “kampus” ummat ini terus bersinar.

Amanat luhur dari para pendiri agar para santri mahir membaca Al-Quran, dan faham mengenai ilmu-ilmu dunia maupun akhirat dan mengamalkanya di tengah masyarakat, membuat pesantren ini telah melahirkan para mujahid Fisabillah yang akan menerangi ummat, membela agama dan bangsa.

*** Penulis tim peserta pelatihan jurnalistik Dayah Ulumul Qur,an Bebesen, Aceh Tengah/Red LG.

 

Comments are closed.