Zikir Implementatif

Oleh Johansyah*

 

Barang kali kita dapat memahami, zikir sederhananya merupakan aktifitas ibadah untuk mengingat Allah swt dalam situasi apapun. Makna mengingat tertunya mencakup pengakuan secara totalitas bahwa Dia adalah Penguasa, Maha besar, Pengasih Penyayang serta pengakuan maha-maha lainnya. Zikir dapat dikatakan sebagai bentuk manivestasi keimanan dan ketakwaan yang pada hakekatnya melahirkan pancaran aura tersendiri pelakunya.

Dalam praktik kehidupan beragama umat Islam saat ini kelihatannya zikir masih dipandang sebagai aktifitas ibadah lisan dengan berbagai bentuknya. Zikir hanya dijadikan sebagai pelengkap setelah seseorang melaksanakan shalat dan sangat terikat dengan ibadah ritual yang bersifat mahdah.

Jika melihat esensi zikir yakni mengingat Allah swt dalam segala situasi dan kondisi, maka niscaya zikir sejatinya terintegrasi dengan semua aktifitas amal. Tidak sedetikpun dari nafas yang kita hembuskan alpa dari mengingat Dia. Mengingat Dia bukan berarti harus diwujudkan dalam bentuk bacaan-bacaan tertentu dan dengan hitungan tertentu melainkan zikir terkait erat dengan sejauh mana seseorang muslim maksimal dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

Zikir sejatinya diwujudkan dalam setiap ruang dan waktu sebagaimana ulul albab yang dipaparkan Alqur’an ‘ulul albab adalah mereka yang mengingat Allah swt ketika berdiri, duduk dan berbaring…’(QS [3] Ali Imran: 192). Zikir yang mereka lakukan merupakan zikir yang mengintegrasikan ucapan dan perbuatan dalam kondisi apapun.

Mari perhatikan realitas di sekitar kita, betapa banyak majelis zikir yang mengadakan serangkaian acara zikir bersama maupun aktifitas zikir yang dilakukan secara individu. Yang perlu kita telisik adalah apakah kegiatan zikir hanya sebatas waktu yang telah ditetapkan atau melekat dan menyatu dengan aktifitas-aktifitas lain di luar zikir.

Makna mengingat Allah swt ketika berdiri, duduk dan berbaring dalam ayat di atas merupakan aktifitas yang menunjukkan kepada kontinyitas tanpa henti. Zikir dalam kondisi berdiri dalam ayat ini dapat dimaknai bermacam bentuk perbuatan. Minsalnya ketika berjalan, ketika mengajar, meraton berlari, berolah raga dengan posisi berdiri, berdiri ketika shalat dan segala aktifitas berdiri seseorang lainnya. Begitu juga dengan mengingat Allah swt ketika duduk, minsalnya ketika di kantor, menduduki sebuah jabatan, beristirahat duduk di tempat manapun serta aktifitas duduk lain yang dilakukan seseorang. Demikian halnya berbaring, bahwa kita dapat mengingat Allah ketika akan tidur, sakit dan sebagainya.

Semua kegiatan zikir; baik berdiri, duduk maupun berbaring di atas merupakan rangkaian kegiatan atau perbuatan manusia yang mengikat dirinya dengan rambu-rambu Allah swt. ketika seseorang ingin melakukan maksiat maka dia berpikir dan mengingat bahwa itu dilarang Allah swt sehingga ia membatalkan untuk melakukannya.

Dalam salah satu ayat alqur’an juga ditegaskan ‘tidakkan dengan mengingat Allah swt akan membuat hati tenang?. Perasaan tenang atau tenteram yang terpatri dalam jiwa seseorang tidak dapat dimanipulasi karena ini merupakan masalah ruhaniyah. Ketenangan akan hadir manakala seseorang tidak melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Dia selalu mengingat Allah swt dengan tidak hanya mengucap astaghfirullah atau subhanallah serta ucapan-ucapan lainnya. Zikir lisan yang dia lantunkan selanjutnya dibuktikan dalam perbuatannya dengan tidak pernah melanggar zona-zona larangan Allah swt.

Jadi, zikir yang mendatangkan ketenangan bukanlah zikir lisan dengan hitungan ratusan bahkan ribuan ucapan-ucapan tertentu melainkan zikir yang terwujud dalam pola pikir, karakter serta perbuatan seseorang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa zikir hanya bermakna ketika seseorang tidak membatasinya dalam aktifitas lisan semata melainkan mengintegrasikannya dengan perbuatan dengan mengikuti pesan-pesan alqur’an dan sunnah.

Buat apa kita membesarkan nama Allah swt secara lisan, membaca ribuan tasbih, tahlil dan tahmid. Untuk apa kita pamerkan diri berlama-lama membaca zikir dan memperlihatkan kekhusyukan kepada jama’ah lainnya, jika di luar aktifitas ibadah ritual-formal tersebut kita tidak dapat sabar, tawadhu serta tawakkal. Buat apa zikir kalau setelah kita mengucap lailahaillah namun setelah itu kita melakukan kecurangan, kolusi dan korupsi seakan-akan Allah swt tidak mengawasi dan luput memantau kita.

Berapa banyak kita lihat kaum muslimin yang ibadah shalatnya rajin, sedekahnya rutin namun maksiatnya juga rajin. Hal ini disebabkan karena dia tidak pernah menyatukan pengakuannya terhadap Allah swt dengan perbuatannya, shalatpun  dikerjakan korupsipun terus jalan.

Sadar atau tidak, ternyata zikir model inilah yang membuat bangsa ini terperosok ke dalam jurang krisis moral yang mengakibatkan kerusakan di semua lini kehidupan. Orang-orang hanya pintar meneriakkan kebenaran namun sayang tidak mampu mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Lihatlah, betapa banyak orang di sekitar kita yang telah mengenyam pendidikan tinggi dan mereka dengan piawainya memainkan bahasa dengan begitu indah sehingga membuat pendengarnya terbawa arus simpati. Tapi apa nyatanya?, kata-kata yang telah dilontarkannya kepada publik bertolak belakang dengan aksi yang dia jalankan. Ya, ini model orang yang hanya piawai melakukan zikir lisan sementara melupakan Allah swt dalam perbuatan.

Allah swt dalam beberapa ayat pada surat yang berbeda selalu menekankan kepada kita untuk senantiasa mengingat-Nya. Demikian juga Rasulullah saw yang begitu menekankan umat ini untuk selalu berzikir kepada Allah swt kapan dan di manapun. Bukankan Rasullullah saw menghabiskan waktunya untuk berzikir kepada Allah swt.

Mengapa zikir ditekankan?, itu semua tidak lain adalah untuk kebutuhan manusia itu sendiri. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, zikir merupakan makanan-makanan bergizi yang dibutuhkan ruhani kita. Dengan makanan bergizi tersebut maka ruhani seseorang akan terformulasi dengan nilai-nilai ketuhanan sehingga mampu menjadikannya sebagai remot kontrol bagi aktifitas-aktifitas amalan lainnya.

Berzikir berarti mengingat akan perintah dan larangan-Nya dan ketika kita selalu mengingat-Nya berarti sudah tumbuh rasa kecintaan terhadap-Nya. Ketika seseorang sudah dapat merasakan cinta kepada Allah swt maka pada hakekatnya dia telah merintis jalan menuju keridhaan-Nya. Untuk itu, di bulan ramdhan yang mulia ini, marilah kita perbanyak zikir lisan sambil melatih zikir dalam sikap dan perbuatan. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa PPs IAIN Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.