Oleh Andrian Kausyar*
Berawal dari Serule sebuah nama Dusun Awal mula penduduk suku Gayo berdomisili di Serule hulu Danau Laut Tawar Takengon Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Serule sejenis pohon tunggal hidup menyebar tinggi + 3 meter buahnya bisa dimakan yang tua rasanya manis bijinya terasa kelat bila di kunyah warnanya seperti selasih, daunnya panjang + 50 cm, lebar + 7 cm. Daun dapat digunakan untuk atap rumah, tumbuh di lembah lereng-lereng gunung mirip dengan terpuk, pohon kecombrang, bahasa Sunda menyebutnya Onjeh.
Agama Islam berumur 400 tahun, seorang bernama Merhum Sultan Adi Genali dari Negeri Ruum Turki Utsmani Jazirah Arab ke pulau Linge kemudian dinikahkan dengan Putri Terus Mata berdirilah Kerajaan Linge tahun 1025 M (416).
Kerajaan Linge pertama Reje Meurah Adi Genali, membangun Negeri Linge bersama dengan Perdana Menteri Syekh Sirajuddin dengan gelar Cik Serule.
Perkawinan Reje Meurah Adi Genali dengan Putri Terus Mata mempunyai 6 (enam) orang anak:
Pertama anak perempuan bernama Empoe Berue
Kedua anak laki bernama Sebayak Linge.
Ketiga anak laki bernama Meurah Djauhansyah.
Keempat anak laki bernama Meurah Linge.
Kelima anak laki bernama Meurah Silu.
Keenam anak laki bernama Meurah Mege.
- Empoe Berue bersama Ayahnya Meurah Adi Genali tinggal di Buntul Linge Takengon Aceh Tengah.
- Sebayak Linge dengan pasukannya dan budaknya pergi ke tanah Karo mendirikan Negeri dikenal Raja Lingga dekat gunung sebayak di Sumatera Utara.
- Meurah Djauhansyah bersama pasukannya dan pengikutnya pergi membangun Negeri ke Lamkrak dan Lomoeri Aceh Besar.
- Meurah Linge bersama Ayahnya Reje Meurah Adi Genali tinggal di Linge, setelah Reje pertama Meurah Adi Genali meninggal dunia maka Meurah Linge meneruskan Kerajaan Linge kedua.
- Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan Syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
- Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk. Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat, dikisahkan bahwa Raja Linge lebih menyayangi putra bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
Di Lamkrik dan Lamoeri Putera Gayo Meurah Djauhansyah dalam Syiar Agama Islam tumbuh dan berkembang pesat sampai ke pantai pesisir dan seterusnya.
Raja Islam Aceh Raya, Sultan-Sultan Aceh berasal dan terbentuk dari keturunan Meurah Djauhansyah kemudian datang pedagang Gujarat, maka dari itu ibu kota Aceh dinamakan Kute Reje sekarang Nanggroe Aceh Darusslam.
Asal Linge Awal Serule
Suku Gayo berasal dari Linge, Awal mula orang Gayo berkembang dari serule terkenal dalam surah adat asal Linge Awal Serule, dengan perkembangan zaman tahun 1537 M abat ke 17 orang Gayo lebih banyak tinggal di kota Takengon berkembang ke Bener Merie, dan merantau ke pusat-pusat kota di Indonesia.
Gayo artinya mendayung, orang Aceh menyebutnya Gayo adalah saudara tua yang tinggal di Serule.
Linge artinya suara, asal kata dari Ling ngê (suaranya) Takengon Linge artinya tak terlupakan melihat dan mendengar suara, perkataan manusia yang enak didengar oleh telinga, Gayo artinya mendayu-dayu.
Takengon asal kata enta kengon artinya begitu saya lihat, asal usul kata tersebut terjadi karena kagum melihat pemandangan keindahan Danau Laut Tawar, kotanya sejuk dikelilingi oleh bebukit, pinggir danau diapit oleh gunung Bur Kelieten menjulang tinggi. Sampai sekarang tahun 2011 Bur Kelieten tidak di ganggu manusia.
Di era Reje Linge kedua, Meurah Linge orang Gayo “Mendulang” adat istiadat di Umah Pitu Ruang di Serule dari umah pitu ruang inilah turun hukum, resam, tata acara adat perkawinan rese kono, munginte, betelah istilah adat Gayo, adat mencari hukum membeza artinya adat bisa dibuat sejauh tidak bertentangan dengan Agama Islam, semua pelaksanaannya disampaikan lewat kata-kata melengkan Gayo, beguru, tepung tawar dan peraturan.
Suku Gayo mempunyai budaya tersendiri yaitu ;
- Resam
- Edet.
- Peraturen
Salari Pasai :
Pertama Maharaja Mahamdasyah
Kedua Meurah Makdum Malik. Ayah Makdum Malik Raja Meurah Silu tahun 1261 M – 1289 M. (sumber, Silsilah Raja Islam Aceh, disusun Teungku Syahbudin Razi 1986, disalin kembali oleh Mamad Soewarto Karyawan PT Arun NGL. Co. Lhokseumawe 1993, dan di cek oleh Abdul Fata, Drafing Sujov PT Arun NGL. Co ).
Jadi adat istiadat Gayo sudah ada di zaman Reje Linge kedua, kiranya kita sukuri bahwa orang Gayo memiliki adat istiadat tersendiri sejalan dengan ajaran Agama Islam, peristiwa adat dulu tidak dibukukan. Oleh sebab itu Adat Istiadat perlu di lestarikan masyarat Gayo dan Pemerintah setempat baik secara tradisi maupun tertulis.
*Pemerhati Sejarah dan kebudayaan Gayo tinggal di Jakarta