Oleh Johansyah*
Ā
Indonesia saat ini, di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) lagi gencar-gencarnya mengembangkan pendidikan karakter dan program ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dengan tujuan mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila (Kemendiknas: 2011).
Sejujurnya, harus diakui bahwa krisis mendasar yang melanda bangsa ini adalah krisis moral; makin maraknya korupsi, pergaulan bebas remaja, terasingnya orang-orang jujur sebagaimana yang dialami oleh keluarga Siami, dan kleptokrasi dalam pemerintahan mulai dari pusat sampai ke daerah. Semua ini membuktikan bahwa yang tidak beres di negeri ini adalah pada manusianya.
Dengan kondisi yang negeri yang demikian terpuruk ini, memang pendidikan karakter menjadi sebuah keniscayaan dan urgen disebabkan arus budaya penyimpangan yang dahsyat dan sulit dibendung. Filosofinya, memperbaiki budaya yang rusak jauh lebih sulit dari meruntuhkan nilai-nilai budaya itu sendiri karena merusak tidak membutuhkan perhitungan yang matang, namun merekonstruksi budaya yang telah dicemari tipe materialisme dan hedonisme membutuhkan upaya yang ekstra dari orang-orang yang masih berpihak kepada kebenaran dan kejujuran.
Walaupun pendidikan karakter mulai dikembangkan saat ini, namun penulis masih pesimis upaya ini dapat berhasil. Pasalnya, pendidikan karakter hanya dikembangkan di sekolah padahal yang karakternya rusak saat ini adalah para elit dan pejabat di negeri ini, baik eksekutif maupun legislatif. Belum lagi kita mengkhawatirkan bahwa jangan-jangan penerapannya di sekolah hanya sebatas memenuhi aspek kognetif belaka, hanya bentuk transformasi pengetahuan tentang karakter, namun tidak menyentuh sikap sama sekali.
Tanpa berprasangka buruk terhadap pemerintah, jangan-jangan pendidikan karakter hanya dijadikan proyek oleh para elit negeri ini. Pendidikan karakter hanya dijadikan saluran pipa untuk mengalirkan dana ke dompet-dompet mereka. Ujung-ujungnya mengejar materi dan kepentingan dan kesenangan pribadi dan kelompok.
Puasa Membentuk Karakter
Jika masyarakat Indonesia (terutama yang muslim) sadar dengan sesungguhnya, bahwa tidak ada cara yang lebih jitu dan sesempurna puasa dalam membentuk karakter seseorang. Tuhan segaja telah mendesain ibadah ini sebagai wadah untuk riyadhah (pelatihan); melatih diri untuk dapat menghindar dari sikap, sifat dan perbuatan yang dimurkai Tuhan. Tujuan utama dari puasa ini, sekaligus menjadi harapan Tuhan adalah takwa (QS. Al-Baqarah: 183).
Takwa adalah buah dari keimanan yang tulus dan ikhlas kepada Allah disertai dengan amal salih sehingga masuk dalam kategori muflihun (orang-orang yang beruntung) bukan khasirun (kelompok yang rugi) sebagaimana disitir dalam titah-Nya (Q.S. al-Ashry: 3). Jika seseorang sudah mencapai kategori takwa, itu artinya dia telah memiliki karakter qurāan.
Tidak berlebihan, jika puasa dapat dikatakan sebagai metode pendidikan karakter. Sebab dalam ramadhan seseorang dituntut melatih kesabaran. Latihan yang paling rendah bobotnya adalah menahan diri dari makan dan minum. Kendatipun rendah bobotnya, namun sudah banyak yang mengakui bahwa puasa makan dan minum ini dapat menstabilkan kondisi tubuh dan menyehatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa puasa itu dapat menyehatkan.
Pelatihan kesabaran lain yang lebih penting dari puasa adalah melatih orang untuk menjaga mulutnya, harus jujur, dan tidak berbohong. Bukankah para elit politik kita saat ini paling gemar berbohong, manipulatif, dan penuh kepura-puraan untuk menutupi kesalahan. Maka sejatinya puasa ini dapat menjadikan kita untuk takut, bahkan membenci yang namanya bohong dan melatih diri untuk jujur.
Fakor pemicu orang melakukan kebohongan adalah kesalahan dan kemaksiatan yang dipelopori oleh hawa nafsu sehingga acap kali seseorang menafikan pesan agama dan berani melanggarnya. Sementara pelanggarannya terebut melahirkan berbagai kemudaratan bagi orang lain dan dirinya sendiri. Ketika orang terlanjur salah dan tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya, di sinilah dia mulai berpikir untuk melakukan kebohongan agar penyimpangan, kejahatan, dan kelicikan yang dia lakukan dapat tertutupi, walaupun di sisi lain dia sadar bahwa kebohongannya tidak mungkin luput dari liputan malaikat pencatat amal.
Dari itulah mengapa berbohong menjadi prasyarat dan batasan yang membuat puasa seseorang batal atau tidak. Sebab ketika seseorang bohong berarti ia telah melakukan suatu kemaksiatan. Selain itu, biasanya kebohongan pertama harus ditutupi dengan kebohongan selanjutnya, jika tidak keaibannya akan terbongkan. Maka orang seperti ini selalu hidup dalam kebohongan.
Sebaliknya, sikap kejujuran seseorang memperlihatkan kepada kita bahwa dia tidak melakukan kesalahan atau kejahatan sehingga tidak perlu takut untuk mengatakannya kepada orang lain. Sikap jujur seseorang juga menunjukkan bahwa batinnya bersih, tidak melakukan banyak dosa dan maksiat. Makanya mengapa bahwa jujur sangat ditekankan dalam ibadah puasa, sebab itulah yang dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi muslim yang berkarakter, yakni pribadi yang jujur.
Kejujuran dalam ramadhan berbeda dengan kejujuran pada waktu-waktu lain. Kejujuran dalam puasa sangat erat hubungannya dengan Allah, sangat individual dan tetutup. Maka orang bias saja makan di rumahnya, sebab tidak ada yang lihat. Ketika ada yang bertanya apakah kita puasa, maka bias saja bersandiwara dengan melemaskan tubuh dan bicara yang pelan serta mengeringkan bibir. Tetapi sesungguhnya Allah tidak perh tidur dan tidak pernah alpa dari semua perilaku hamba-Nya.
Nilai substansialnya, bahwa jujur kepada Allah merupakan kejujuran yang paling tinggi dan merupakan modal utama bagi seseorang untuk jujur kepada orang lain. Untuk itulah mengapa banyak ibadah di bulan ramadhan diapresiasi tinggi oleh Allah dan Rasul-Nya, itu tidak lain adalah untuk membuat orang berani untuk jujur. Semakin banyak kebaikan yang dilakukan seseorang, maka semakin berani pula dia untuk jujur. Sebaliknya, semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan seseorang maka dia semakin alergi dan takut untuk jujur. Jadi, apa yang sering kita dengar dari pepatah benar adanya āberani karena benar, takut karena salahā
Agar manusia lebih konsisten dan gemar berbuat baik, maka Allah sengaja membuat banyak rambu-rambu, lampu merah ramadhan yang lebih banyak dari hari biasa. Supaya seseorang tidak terjerat maka istiqamah dalam kesabaran menjadi modal utama dalam menjalaninya. Ibarat lampu merah lalu lintas, jika diterjang maka akan berbahaya bagi keselamatan kita. Begitu juga dengan rambu-rambu puasa, tujuannya untuk menghindarkan manusia dari bahaya dan kemudaratan. Maka selain karakter jujur, puasa juga melatih seseorang untuk istiqamah dalam kesabaran.
Substansi lain puasa yang berpotensi membentukarakter seseorang adalah bahwa dalam puasa kita dituntut untuk menghidupkan dan memperkuat sinyal gemar member, suka bersadakah dan member makan orang miskin. Barangkali pada hari di luar ramadhan kita hanya memikirkan perut sendiri tanpa mempedulikan orang yang lapar dan peminta-minta di sekitar kita. Makanya Allah meminta orang puasa untuk membayar zakat fitrah sebagai tanda kepedulian terhadap sesame. Ini artinya kita dituntut untuk menjadi tangan di atas (pemberi) sebagaimana perintah Rasulullah SAW.
Akhirnya, marilah laksanakan puasa dengan ketulusan dan kaikhlasan yang hanya tinggal beberapa hari ini. Sebentar lagi kita akan keluar dari madrasah ramadhan dan menjadi alumninya. Kita buktikan diri bahwa kita berhasil menjadi alumninya dengan menunjukkan perubahan sikap dan perilaku pasca ramadhan. Marilah kita latih dan biasakan diri dan keluarga untuk jujur, istiqamah dalam sabar, dan menjadi pribadi yang gemar memberi. Apabila ini dapat kita wujudkan maka berarti kita telah berusaha menjadi bagian dariĀ solusi atas krisis moral bangsa ini.
*Penulis adalah Staf Pengajar STAI Gajah Putih Takengon