Oleh. Drs. Jamhuri, MA*
“Wama khalaqtu al-jinn wa al-insan illa liya’buduni”
Tidak Aku ciptakan jin dan manusia (kita semua) kecuali untuk menyembah kepada-Ku, itulah ungkapan komunikatif Tuhan kepada makhluk jin dan manusia. Tuhan tidak membatasi jenis manusia yang berkomunikasi dengan-Nya, apakah anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua. Tidak juga membatasi asal dan dimana mereka tinggal, lebih jauh lagi Ia tidak membatasi agama apa yang di anut. Dalam ayat tersebut juga tidak menyebutkan bentuk komunikasi yang harus dibangun, apakah secara lisan, tulisan ataupun gerak badan.
Manusia selalu membatasi bentuk komunikasi yang luas dan menyeluruh tersebut, terkadang mereka membatasinya dengan ruang dan tempat, menganggap komunikasi di mesjid lebih bagus dari pada di kebun, di kantor, di pasar atau tempat lain. Komunikasi melalui shalat lebih baik daripada puasa, zakat haji, sadaqah, berbuat baik pada orang lain atau perbuatan lainnya. Manusia muslim juga membatasi bahwa komunikas antar sesama muslim lebih baik dalam membangun hubungan dengan Tuhan daripada dengan non muslim.
Akibat dari pembatasan komunikasi yang terbangun antara Tuhan dengan manusia oleh manusia sendiri, terjadilah pemilahan bahwa pekerjaan orang yang melakukan Ibadah di mesjid lebih disahuti oleh Tuhan daripada di hutan bagi orang yang sedang mencari rizki, di laut yang sedang mencari ikan, di tempat pembuangan sampah mencari sesuap nasi. Akibat lain juga dari pembatasan bentuk komunikasi ini, orang sudah merasa cukup dengan komunikasi shalat, puasa dan zakat ditambah dengan haji babi yang punya kesempatan, tanpa menambah dengan bentuk bentuk pekerjaan baik yang lain. Sedangkan shalat bagi mereka yang tidak fasih bacaan karena lidah tidak pasa dan ilmu kurang juga kita katakan bahwa Tuhan tidak menyahuti komunikasi yang mereka dibina, orang yang sudah pulan dari haji diduga lebih baik dari mereka yang selalu berbuat baik kepada semua orang.
Orang muslim yang melihat non muslim selalu memunculkan kecurigaan, demikian juga sebaliknya mereka yang non muslim ketika melihat orang Islam. Mereka tetap beranggapan bahwa komunikasi sesama agama selalu lebih baik dan hanya menganggap keterpaaksaan berkomunikasi dengan mereka yang berbeda.
Dalam komunikasi Tuhan dengan jin dan manusia seperti disebutkan (ayat al-Qur’an) diatas, bahwa apa saja yang disebutkan dalam al-Qur’an tersebut adalah komunikasi verbal antara Tuhan sebagai Pencipta dengan jin dan manusia sebagai makhluk. Banyak bentuk perintah mulai dari paling tegas sampai paling lembut dan juga ada larangan yang mengancam dan juga larangan sebagai himbauan.
Pembinaan hubungan antara manusia dengan Tuhan terkadang sering terjadi ketidak adilan, mereka selalu menganggap bahwa komunikasi yang ia bangun selalu lebih baik dari yang dibina oleh orang lain, menganggap orang yang tidak punya kemampuan tidak punya peluang berinteraksi dengan Khaliqnya dan kalaupun ada hanya punya sedikit media. Pakaian yang ia pakai ke kantor dengan menggunakan transportasi (Honda dan mobil) lebih suci dari pakaian orang lain yang dibawa ke sawan atau kebun dengan berjalan kaki dengan melewati rerumputan, mereka yang berpendidikan dengan bacaan al-Qur’an yang baik dan memahami isinya, selalu mengatakan mereka yang tidak berpendidikan dan hanya tahu sedikit bacaan al-Qur’an dan tidak tahu kandungannya sebagai orang yang tidak terima amalnya pada hal mereka sama-sama mengamalkan isi al-Qur’an. Tuhan Sendiri mengakui bahwa mereka yang lemah dan tidak punya kemampuan apabila membuka diri dan berterus terang kepada Yang Maha Penerima Permintaan lebih cepat di respon.
Kaum laki-laki yang selalu menganggap dirinya lebih, lebih bisa, lebih kuat, lebih berkuasa dari perempuan tidak lagi membuka ruang pembinaan terhadap dirinya, sehingga yang membuat group pengajian adalah kaum perempuan, sedang bapak-bapak hanya datang memberi legalitas terhadap kelompok perempuan. Punya asumsi perempuan tidak butuh kepada fasilitas lebih dari kaum laki-laki, dengan membiarkan shalat sendiri di rumah sedangkan laki-laki selalu jama’ah di mesjid, sedangkan mereka tahu bahwa masalah imbalan dari amal ibadah tidak boleh diwakilkan dan dibagi.
Kalau itu memang permasalahan yang ada diantara kita dalam membangun dan membina komunikasi dengan Tuhan, karena interaksi dengan-Nya tidak boleh berhenti walaupun sesaat, bukankah lebih baik kita menjadikan semua aktivitas kita sebagai media komunikasi.
Akhir kehidupan yang baik adalah mempunyai nilai komulatif yang tinggi dari Pemberi Nilai. Nilai shalat 90, puasa 50, berbuat baik 40 sama dengan 180 : 3 = 60, lebih baik dari nilai shalat 100, puasa 50, berbuat baiknya 7 sama dengan 157 : 3 = 52.
Kita bisa lakukan kalkulasi matematika ini sebagai upaya peningkatan kualitas interaksi kita dengan Tuhan dalam rangka pembangunan dan pembinaan Ibadan sebagai bentuk komunikasi dengan-Nya.
* Orang Gayo yang berdomisili di Banda Aceh