Khalisuddin | The Globe Journal | Rabu, 29 September 2010
Belang Kejeren – Sudah menjadi tradisi di Negeri Seribu Bukit Gayo Lues, setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atau panen padi para pemuda dari sejumlah kampung melaksanakan kegiatan seni budaya berupa “Bejamu Saman, Roa Lo Roa Ingi ” atau menjamu group Saman kampung lain untuk unjuk kebolehan ber-Saman selama dua hari dua malam.
Saman ini merupakan salah satu dari sejumlah jenis Saman lainnya diantaranya Saman Nejik (Saman saat panen padi), Saman Jejunten (Saman sambil duduk diatas pohon kelapa yang sudah ditebang) , dan Saman Ngerje (Saman saat pesta perkawinan). Bejamu Saman sendiri terbagi dua, Saman Sara Ingi dan Saman Roa Lo Roa Ingi.
Seperti halnya di Kampung Babussalam Kecamatan Belang Kejeren kabupaten Gayo Lues, menjamu group Saman dari kampung Buntul Musara Kecamatan Tripe Jaya, 26 dan 27 September 2010 lalu.
Dituturkan salah seorang tokoh masyarakat Babussalam, Awaluddin Aman Dewi, Bejamu Saman tersebut diadakan disamping sebagai seni budaya warisan pendahulu, kegiatan tersebut juga dalam rangka membangun silaturrahmi antar pemuda Gayo.
“Ketua pemuda kampung ini mango (Gayo : mengundang) pemuda kampung lain. Dan bila kampung yang diundang bersedia makan langsung disepakati kapan penyelenggaraannya. Jika yang diundang tidak siap, maka mereka mencari kelompok saman lain,” tutur Awaluddin disela-sela menonton penampilan Saman tersebut.
Masing-masing group Saman biasanya berjumlah 20 orang per group. Ketuanya disebut Pengangkat Saman dan diapit oleh Apit Kuen (pendamping kanan) dan Apit Kiri (pendamping kiri). Sedang untuk penyair (vocal) merupakan anggota group yang suaranya bagus. ” Tidak ada keharusan Pengangkat Saman atau para apit yang menjadi vokalis,” ujar Awaluddin.
Sebagai tuan rumah, diberi kesempatan pertama untuk memulai unjuk kebolehan yang dikenal dengan istilah Mangka yang menyuguhkan keseragaman gerak juga materi syair yang dinyanyikan. Pada saat tersebut yang dijamu mengikuti gerakan Saman penjamu tapi tidak bersuara, hanya gerakan-gerakan saja. Di posisi ini disebut dengan istilah Engging. Setelah durasi setengah jam, giliran kelompok Saman Jamu yang bersaman. Demikian seterusnya hingga tengah malam untuk istirahat sejenak.
Materi lagu, berupa kalimat-kalimat indah dan enak didengar juga tidak bernada kasar dan sumang (sumbang). Berisi syiar Islam, Sejarah dan lain-lain termasuk syair muda-mudi yang halus. ” Lagu-lagu tersebut merupakan karangan anggota Saman itu sendiri ditambah lagu-lagu lain yang sudah dikenal sebelumnya,” tambah Awaluddin.
Saat istirahat atau jeda, masing-masing pemain Saman Pejamu (tuan rumah) membawa satu orang dari grup saman jamu (tamu) untuk makan dirumahnya. Dan saat jeda bersaman tersebut biasanya diisi dengan tarian Bines oleh remaja putri tuan rumah. ” Group Saman yang dijamu tidak membawa group penari Bines,” tukas Awaluddin.
Saman kembali dilanjutkan hingga menjelang pagi. Dan saat siang, kembali bersaman atau istirahat ditetapkan atas kesepakatan kedua group tersebut.
Berbeda dengan Didong Jalu di Aceh Tengah dan Bener Meriah dimana setelah berdidong ada pemenangnya. Walau ada dua group Saman yang unjuk kebolehan, tidak ada yang dinyatakan menang atau kalah. Akan tetapi biasanya group yang dijamu persiapannya lebih matang dan tentu lebih baik penampilan samannya, jelas Awaluddin.
Untuk biaya penyelenggaraan, diperkirakan menghabiskan hingga Rp. 4 juta Rupiah setiap Bejamu Saman yang digunakan untuk sewa teratak, pengeras suara dan lain-lain. Dana tersebut diperoleh dari sumbangan-sumbangan dan sumber lainnya.
Teratak dipasang di tanah lapang karena biasanya menyedot banyak penonton baik dari dalam kampung penyelenggara sendiri maupun masyarakat umumnya. ” Penonton tidak dipungut biaya kecuali untuk parkir kenderaan,” pungkas Awaluddin.
Salah seorang penonton yang hadir, Aman Ike warga Belang Pegayon menyatakan akan berusaha hadir jika ada acara kesenian Bejamu Saman. ” Dimana-mana orang suka Saman, apalagi kami sebagai pemiliknya,” kata Aman Ike.
Aman Ike berharap, pihak terkait di Gayo Lues, Aceh Tengah dan Aceh Tenggara bisa memfasilitasi penyelenggaraan Saman Bejamu tersebut dengan membebaskan lahan dan membangun fasilitas pendukung acara tersebut.
“Saman adalah warisan dari leluhur kita, dan terbukti mendapat pengakuan dunia. Kenapa kita harus tanggung-tanggung melestarikan dan mempromosikannya dalam upaya menambah income masyarakat, apalagi Gayo Lues kurang potensial dibidang pertanian, perdagangan dan lain-lain,” saran Aman Ike.