Nenek Tionghoa dan Anjing Tuanya

Ilman MS, S.KH*

SEBAGAI calon Dokter Hewan sekarang ini saya sedang mengambil tugas magang di sebuah Klinik Praktek Dokter Hewan di Kota Medan. Sebagaimana magang dokter hewan pada umumnya kegiatan kami disini membantu kegiatan dokter sebagai petugas kesehatan hewan.

Hari itu (10/1/2012) sekitar pukul sembilan pagi dua orang klien Etnis Tionghoa membawa anjingnya ke kelinik praktek kami dengan menumpangi sebuah becak. Anjingnya mengalami tumor pada telapak kaki kanan depannya. Klien pemilik anjing ini seorang nenek-nenek tua umurnya sekitar 60 tahun lebih.

Dari hasil anamnesa dokter akhirnya anjing ini didiagnosa mengalami tumor ganas, anjing ini harus segera di lakukan tindakan penanganan supaya penyakitnya tidak semakin parah. Pilihannya cuma dua antara segera di lakukan operasi pengangkatan tumor atau ditidur panjangkan (red: Utanasi), karena anjingnya sudah tua, penyakitnya komplikasi dengan beberapa penyakit lain dan daerah yang akan di operasi banyak dilalui pembuluh darah.

Nenek Tionghoa ini terlihat shock dan sesaat bungkam dalam diam. Setelah beberapa lama air matanya mulai menetes dan tangisnya tumpah sambil memceritakan kenangan-kenangan indahnya bersama si anjing saat masih segar bugar, kebiasaan-kebiasaan anjing ini yang menghiburnya. “dokter tolonglah sembuhkan anjing saya ini, saya tidak punya saudara, suami dan anak saya sudah meninggal, anjing ini teman saya di rumah satu-satunya” sambil ter isak-isak dalam sedih.

Penjelasan sang nenek, diagnosa penyakit dan pertimbangan beberapa hal lain akhirnya sang dokter menyarankan anjingnya agar di utanasi saja pasalnya si nenek tidak bisa merawat anjingnya nanti pasca operasi. “nenek kalau boleh, sebaiknya anjing ini kita tidurkan saja ya nek, nanti kasihan lagi nenek kesusahan tidak bisa melihat darah waktu perawatan lukanya”. Sebelumnya nenek ini bilang sempat turun berat badan tiga kilo karena mengurusi anjingnya yang sakit dan berdarah-darah.

Si nenek ini tidak rela anjingnya diutanasi, tangisnya meledak di klinik hewan tempat kami magang. Nenek-nenek yang menemaninya mengantar anjing ini juga menangis. Mereka berpelukan erat dalam isak tangis kesedihan. Keduanya lalu bangkit dan menuju meja operasi kami, anjing yang sudah terbius itu di elus-elusnya sambil terus saja menangis dan sepertinya nenek ini mengucapkan kata-kata terakhir dan do’a do’a persi kepercayaannya. Anjing yang terbujur itu di ciumnya dengan lembut, akhirnya merelakan  anjingnya untuk kami utanasi setelah di bujuk dan diyakinkan dokter beberapa kali.

“Begitulah sebagai dokter hewan, kalian harus berpikir bijak memutuskan mana yang lebih baik dilakukan, nenek itu sudah tua, tidak punya saudara, secara keuangan juga lemah, perawatan pasca operasi juga tidak bisa melihat darah di tambah lagi anjingnya yang sudah tua dan sakit-sakitan” begitu kata dokter kepada kami.

Di sisi klinik kedua orang nenek itu masih saja terus menangis dan saling berpelukan. Mata kami yang menyaksikan kejadian itu juga ikut berkaca-kaca, dalam hati kami juga berkecamuk penuh tanya, bagaimana kami harus membuat keputusan dengan kasus seperti ini. Antara menangani perasaan orang dan tindakan bijak sana seorang Dokter Hewan. Bagai mana manusia bisa sedekat itu emosionalnya dengan hewan. Kenangan apa yang membuat si nenek ini begitu berat berpisah dengan anjingnya. Teringat saat saya masih kecil di kampung sering melempari anjing dengan bebatuan  bahkan kucing tetangga sering jadi bulan-bulanan.

Sebagai seorang Muslim dan calon Dokter Hewan mungkin ketajaman perasaan ku telah kalah dengan nenek ini yang beragama Non-Muslim, padahal dalam Agama Islam telah banyak Nabi berpesan tentang ajaran Islam dalam memperlakukan hewan seperti, Memberinya makan-minum, jika hewan-hewan tersebut lapar dan haus, karena Sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Siapa tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi” (Muttafaq Alaih). Sayangilah siapa saja yang ada di bumi, niscaya kalian disayangi siapa saja yang ada di langit” (Diriwayatkan Ath-Thabrani dan Al-Hakim).

Jika ia ingin menyembelihnya, atau membunuhnya, maka ia melakukannya dengan baik, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala hal. Oleh karena itu, jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan baik. Hendaklah salah seorang dari kalian menenangkan hewan yang akan disembelihnya, dan menajamkan pisaunya” (Diriwayatkan Muslim, At Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).

Tidak menyiksanya dengan cara-cara penyiksaan apa pun baik dengan cara melaparkannya, atau meletakkan padanya muatan yang tidak mampu ia angkut, atau membakarnya dengan api, karena Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang wanita masuk neraka karena kucing. Ia menahannya hingga mati. Ia masuk neraka karenanya, karena tidak memberinya makan sebab ia menahannya, dan tidak membiarkannya makan serangga-serangga tanah” (Diriwayatkan Al-Bukhari). Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan melewati rumah semut yang terbakar, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya siapa pun tidak pantas menyiksa dengan api, kecuali pemilik api itu sendiri (Allah)” (Diriwayatkan Abu Daud. Hadits ini shahih)

Terima kasih nenek tionghoa, kelembutan perasaanmu telah melembutkan kembali hati ku untuk berlaku lembut kepada sesama mahluk, semoga hari-harimu kembali dihiasi keceriaan bersama teman-teman terdekatmu. Oh ya.. sebentar lagi Tahun Baru Imlek. Selamat tahun baru ya nek.. Gōngxǐ fācái..!!!

(Hadis-hadis Dikutip dari: Minhajul Muslim, Karya Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazari)

*Kandidat Dokter Hewan Pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala

(Editor : A. ZaiZa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.