Catatan Perjalanan (Part 1)
PADA awalnya saya berpikir hanya akan menjadi pembaca berita perjalanan yang akan dilakukan oleh Staf Lintas Gayo (LG) ke Banda Aceh, tapi nasib berkata beda, saya juga menjadi salah seorang pelaku dalam perjalanan tiga hari dua malam tersebut. Ada sembilan orang yang ikut dalam perjalanan tersebut diantaranya Khalisuddin, Darmawan Masri, Munawardi, Maharadi, Konadi, Al Fazri, Rahma Umar, saya, dan Muhammad Zhahri yang menyusul dari Medan ke Banda Aceh. Tiga diantara kami sejak tsunami belum pernah kembali menjejakkan kaki di Banda Aceh, maka tak heran mereka antusias sekali akan perjalanan ini.
Berawal dari undangan pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh dan undangan menjadi nara sumber di program acara Keberni Gayo Aceh TV di Banda Aceh pada 3-4 Februari, maka Redaktur Pelaksana mentitahkan kepada saya dan staf lainnya untuk menyusun agenda silaturahmi dengan para Mahasiswa dan Keluarga Gayo yang berada di Banda Aceh, untuk memaksimalkan momentum.
Dalam hal keperluan transportasi dan konsumsi kami harus patungan, keadaan keuangan LG sangat minim, maka harus pintar memilah-milih pengeluaran penting dan kurang penting. Kendati demikian masing-masing dari kami tidak merasa keberatan, karena bepergian bersama anggota LG merupakan suatu hal yang menyenangkan. Selama ini kami disatukan dalam wadah media, saling mengenal, menyapa, menggunakan media perantara. Jadi ketika bisa bersama-sama melakukan perjalanan membuat ikatan kekeluargaan semakin kuat.
Jam menunjukan pukul 10.00 WIB, mobil Kijang berwarna biru tua mulai meninggalkan Kota Takengon. Di depan dua orang yaitu Khalisuddin dan Munawardi yang saling bergantian mengendarai kendaraan, di tengah duduk empat orang, tiga orang lainnya duduk di belakang dengan kursi yang berhadap-hadapan dan barang yang lumayan penuh sesak. Duduk di bagian tengah dan di belakang saat itu selama 7-8 jam dengan kondisi Jalan Takengon-Bireuen dan Seulawah yang berkelok-kelok bukanlah perkara mudah. Harus bisa menahan diri agar tidak menghimpit teman yang duduk di sebelah ketika ada tikungan tajam dan harus bersabar ketika kaki mulai kesemutan. Situasinya sangat tidak nyaman, tapi kami menyikapinya dengan bercanda sambil sesekali mengikuti alunan lagu Gayo yang terpasang di dashboard.
Syukurlah, perjalanan dilakukan hari Jum’at dan tidak hujan, kami melintasi ruas jalan diseputaran Cot Panglima yang sedang dilebarkan dengan lancar karena tidak dilakukan buka tutup bagi kenderaan yang melintas.
Waktu shalat Jum’at tiba, sejenak kami beristirahat di Mesjid Besar Juli sambil melepas penat setelah menempuh 100 km. Para kaum lelaki menunaikan shalat Jum’at, meski sebenarnya Jum’atan telah selesai, namun masih banyak yang berada di Mesjid. Ah, saya suka sekali melihat para pemuda berbalut sarung, baju koko dan kopiah berlama-lama duduk di Mesjid daripada langsung bergegas ke warung kopi, membahas sesuatu hal walau ada beberapa diantaranya yang tiduran di lantai Mesjid atau mengutak-atik telepon selulernya.
Hal lain yang menjadi catatan menarik menurut Redpel di Masjid ini, Khatib saat menyampaikan khutbahnya berbahasa Aceh. “Ini patut ditiru oleh khatib-khatib di dataran tinggi Gayo dalam upaya penyelamatan bahasa Gayo yang mulai dikhawatirkan sejumlah kalangan akan punah,” kata Khalisuddin.
Siang itu, kami memutuskan untuk makan siang di Batee Iliek, disebuah rumah makan persis berada di sisi Krueng Batee Iliek. Suara alur sungai mengalir deras disertai angin sepoi-sepoi yang menerpa merupakan suasana yang sempurna untuk melepas penat sambil menikmati santap siang.
Saat hendak Shalat Ashar di Seulawah, Munawardi baru tersadar handphonenya ketinggalan di warung Singkite yang kami singgahi di Saree, jaraknya sekitar 20 menit, syukurnya pihak warung bertanggung jawab, handphone Munawardi masih berada di tempat ia menchargenya.
Kami Shalat di warung sederhana dibawah kayu besar yang tidak jauh dari Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Sullah begitu nama pemilik warung tersebut sebenarnya sudah hendak pulang, namun menahan langkahnya demi membiarkan kami menumpang Shalat.
Sebenarnya air untuk berwudhu’ tidak tersedia khusus di warung Sullah yang mengaku warga Lam Tamot Aceh Besar. Namun dia mengikhlaskan stok air bersihnya untuk kami pakai berwudhu’.
Tempat Shalatnya dibuat dari bambu menyerupai bale-bale, tingginya sekitar satu setengah meter, bale-bale ini bertopang pada pohon besar yang sekaligus menjadi arah kiblat, jika dilihat dari sisi fotografi orang yang sedang Shalat seolah-olah menyembah kayu besar.
Matahari kian beranjak ke arah barat, mempersilahkan perangkat malam menempati posisinya di langit. Kami sudah memasuki gerbang Kota Banda Aceh. Mobil terus melaju, pembicaraan sedari berangkat hingga saat ini masih tentang Lintas Gayo, tidak ada habis-habisnya. Ada dua hal yang bergelayut di pikiran kami, yaitu tempat menginap bagi yang laki-laki dan yang paling krusial adalah kami tidak tahu dimana alamat Aceh TV. Agenda kami malam itu menjadi salah seorang nara sumber di Acara Keberni Gayo di Aceh TV. Kami telah menemukan gedung Aceh TV, tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Aceh TV sudah pindah, begitu yang kami dengar dari penjual kelontong di seberang jalan.
Masing-masing dari kami yang memiliki catatan pernah tinggal di Banda Aceh segera menghubungi kenalan, semua mengatakan alamat gedung lama, rasa panik mulai menjalari. Saya jadi teringat lagu yang sedang booming saat ini, ‘alamat palsu’. Waktu menunjukkan pukul 19.30 WIB, hanya tersisa setengah jam dari waktu yang tertera di undangan.
Hujan mulai turun, mengguyur peluh yang kami bawa dari Takengen, Khalisuddin terlihat sibuk menerima telepon dari seseorang, menjelaskan keberadaan kami sekarang. Kami berada di pinggir jalan menuju Mata Ie, menepi di warung yang tidak buka pada malam hari. Detik-detik menuju pukul 20.00 WIB akhirnya Khalisuddin mengajak kami kembali ke mobil, di depan sudah ada yang menunggu, yang tak lain adalah Iranda Novandi, seorang wartawan di Banda Aceh yang juga akan mengisi acara di Keberni Gayo. Studio Aceh TV ternyata berada di Desa Gendring sejak sebulan yang lalu, sehingga masih banyak yang belum mengetahui keberadaan lokasinya.
Acara yang berlangsung satu jam itu berlangsung lancar, satu misi tercapai, yaitu mengenalkan pada khalayak ramai tentang keeksistensian Lintas Gayo dalam menyampaikan berita dari Tanoh Gayo melalui media audio visual.
Lepas dari acara tersebut kami menuju warung kopi yang terletak di Gampung Lhong Raya. Turut serta di sana Drs. Jamhuri MA pemandu acara Keberni Gayo di Aceh TV dan Edi Syahputra pelatih atlet dari Takengon untuk tim Kempo Aceh di PON XVIII yang akan diadakan di Pekanbaru pada September 2012 mendatang.
Malu-malu kami mengakui bahwa kami semua lapar, belum sempat makan malam karena sibuk mencari alamat. Pembicaraan yang terjadi di meja tersebut berkisar tentang agenda dan prospek Lintas Gayo di masa yang akan datang. Malam kian larut, saya dan Rahma meminta izin untuk pulang duluan, melepas penat akan perjalanan panjang beberapa jam yang lalu.
Besok, tim dibagi dua, satu mengikuti pelatihan jurnalistik dan satu tim lagi misi mengenalkan Lintas Gayo kepada tokoh masyarakat dan mahasiswa-mahasiswi Gayo di Banda Aceh. (Ria Devitariska)
.