Oleh Luqman Hakim Gayo
“Ada hikmahnya Anda datang. Biasanya kunci pintu kami susah dibukanya. Tetapi dengan kedatangan Anda menjadi lancar”, kata Rustam. Mereka memberi saya satu set kunci agar bebas pergi dan pulang kapan saya mau. Alangkah mewah kehidupan kedua sejoli ini.
Setiap malam kami habiskan untuk diskusi tentang Indonesia. Perkembangan hukum dan pengadilan adalah paling menarik Rustam didiskusikan. Sampai larut malam barulah mereka tidur. Ketika bangun pagi, mereka sudah tidak ada, membuat saya lebih bebas menikmati makanan dan peralatan elektronik yang ada.
Menurut Rustam, inilah negeri yang paling makmur. Tidak heran kalau beberapa pelarian politik memilih negeri ini untuk tempat tinggalnya. Termasuk tokoh Gerakan Aceh Merdeka, Hasan Di Tiro memilih tinggal di Stockholm, bahkan menjadi warga negara yang dingin ini. Ada beberapa artis yang menikah dengan orang swedia. Meski sudah menjanda, ia memilih tinggal di negeri ini dari pada pulang ke Tanah Air, sebab dia mendapat tunjangan berikut anaknya.
“Disini, penganggur saja diberi tunjangan. Sebab, kita-kita yang kerja ini dipotong gaji untuk para penganggur sampai batas waktu tertentu”, kata Rustam. Keesokan harinya kami berkeliling. Sengaja Rustam hanya sebentar di kampus Stockholm Univercity demi mengantar saya melihat-lihat perpustakaan, istana Karl Gustav V dan pantai kota Stockholm.
Dari seorang mahasiswa yang saya temui, ia kagum dengan negara kecil ini. Makmur dan tidak pernah terjadi kerusuhan, apalagi kriminal seperti di negara-negara lain. “Saya pernah menelpon Raja Gustaf V dari telepon umum pinggir jalan. Lalu Raja itu mengundang saya dan beberapa orang lain untuk makan siang bersama. Dia sediakan untuk saya makanan Muslim. Rasanya tidak ada kepala negara seperti itu.”, katanya.
Kesejahteraan dan kemakmuran, tidak ada bandingannya. Para PNS yang habis masa tugasnya diajukan dua pilihan, Mau pensiun atau mau kerja lagi? Kalau memilih pensiun, mau di rumah atau panti jompo? Kalau dirumah, maka Kerajaan akan menyiapkan semua fasilitas dan rehabilitasi rumah tinggal. Kerajaan akan memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kesehatan.
Kalau masih mau bekerja, maka cukup setengah hari dengan gaji dua kali lipat. “Di negeri mana ada tingkat kesejahteraan seperti ini? Itu sebabnya banyak bangsa di dunia memilih tinggal di Swedia, bahkan menjadi warga negara”, kata Rustam. Anehnya, penduduk tua lebih besar jumlahnya dibanding angkatan muda, apalagi anak-anak.
Negeri ini selalu dalam keadaan dingin selama enam bulan, kemudian berganti musim semi. Ketika pergantian itulah, penduduk kota ini berjemur di pantai menunggu sinar matahari yang sudah dirindukan berbulan-bulan. Mereka bertelanjang ria dengan pasangan masing-masing menyambut sang surya. Sayangnya, saya tidak sempat menunggu peristiwa itu.
Meskipun negeri kecil, tetapi terkenal dengan industri alat berat. Kenderaan besar buatan Swedia sudah terkenal ke seluruh dunia. Bahkan termasuk di Indonesia. Disamping itu, banyak ahli-ahli kenderaan berat di sejumlah negara datang belajar ke negeri ini. Terutama para tenaga untuk menangani kenderaan-kenderaan dan alat berat yang mereka import itu
Mendengar cerita tentang Swedia dan sejumlah kota besarnya, saya terkejut. Lalu bertanya dalam hati, “ada apa dibalik semua kenikmatan ini? Mengapa Tuhan tidak turunkan bencana ke negeri seperti ini, yang penuh dengan kemakmuran tetapi lupa kepada Allah?”
Lonceng Istana berdentang
Saya mencoba mengitari jalan sekitar komplek perumahan itu. Akhirnya terus menjauh hanya dengan berjalan kaki. Hawa yang tidak pernah membuat kita berkeringat, justru lebih nyaman dengan berjalan kaki. Saya memasuki sebuah museum kapal. Museum ini memang berbentuk kapal, karena berasal dari sebuah kapal yang tenggelam kemudian diangkat dari dasar laut.
Semua bagian yang sudah berkarat diperbarui kembali. Lengkap dengan data-data peristiwa tenggelamnya serta jumlah dan nama penumpang yang menjadi korban. Sangat mengagumkan melihat perlengkapan kapal yang modern itu. Tetapi kemudian tenggelam dan membuat pengunjung terharu. Beberapa peserta berpotret ria dalam bekas kapal tenggelam ini, termasuk saya.
Ketika saya sebutkan dari Indonesia, dua gadis Swedia terkaget-kaget. “So far”, katanya hampir bersamaan. Rupanya jarang-jarang orang Asia jauh yang datang ke negeri ini. Akhirnya, ya, bukan sekedar berpoto ria, tetapi mereka juga mentraktir saya makan siang di kantin mewah samping museum kapal tersebut. Kami saling berkenalan lebih akrab.
Satu hal yang menarik, lonceng istana berdentang memecah keramaian kota. Pertanda, bahwa hari sudah tepat pukul 12.00 dan satu jam lagi istana dibuka untuk umum. Kesempatan emas, saya bergegas ke istana Karl Gustav V. Melalui pintu belakang kita disuguhi pemandangan atraksi pergantian pasukan pengawal. Sesudah itu kita dibebaskan masuk, melihat ruangan yang penuh dengan lukisan dan benda-benda bersejarah.
Beberapa ruangan besar penuh dengan koleksi dari berbagai negara. Ada ruang kerja kerajaan, ruang arsip dan beberapa ruangan lain. Memang tidak semua ruangan kita bebas melihat dari dekat, tetapi ruangan perpustakaan sudah cukup mewakili keindahan istana yang besar itu. Di halaman depan istana, ada air mancur dan halaman yang terbentang luas, penuh dengan bunga.
Suatu hari saya bertemu dengan sejumlah pemuda Indonesia yang sedang tugas belajar dari sebuah perusahaan alat berat di Indonesia. Malam hari mereka membawa saya menonton pertunjukan festival band di lapangan. Pertunjukan ini gratis untuk muda-mudi.
Saya terkejut ketika petugas pintu gerbang lapangan itu mendekati kami satu persatu. Aneh, petugas itu secara diam-diam menyalami dan memberikan ‘oleh-oleh’ langsung ke dalam telapak tangan. Saya menyimpan perlahan ke dalam saku. Ternyata sebuat untaian gantungan kunci dengan benda plastik.
Ketika benda plastik itu saya tekan-tekan, tiba-tiba melompat sebuah bungkusan kecil berisi kondom. Subhanallah, rupanya malam itu semua pengunjung diberi benda keparat tersebut oleh petugas. Demikian parahkah budaya kebebasan sex di Swedia? Ternyata, hampir di semua tempat terbuka ada spanduk “jangan lupa kondom Anda”. Bahkan kotak ATM di toilet umum, tersedia benda itu.
Hari-hari terakhir saya di Stockholm, sejumlah pejabat KBRI mengajak saya menikmati restoran dengan hidangan spesial. Asyik juga. Tetapi lebih dari itu adalah, soal pelayanan. Di beberapa negara tetangga, para pejabat KBRI terkesan ‘jauh’ dengan orang Indonesia yang datang. Apalagi sekedar melancong. Berbeda dengan negara-negara yang jauh, seperti Tunisia, Swedia dan negara lainnya.
Keluarga pak Rustam- Lucy agak sedih ketika saya katakan mau pulang ke Indonesia. Malam hari terakhir, ia membuka lemari. Lalu meminta saya memilih stelan jas berikut dasinya untuk saya. Saya memilihnya yang terkecil sesuai ukuran badan saya. Keesokan harinya, dengan stelan jas itu saya naik bis kota menuju airport Stockholm. Dan terbang ke Franfurt, langsung ke Indonesia. Entah kapan lagi bisa menikmati perjalanan seperti ini. Ah, asyik juga jadi wartawan.
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta
.