Oleh Zuhra Ruhmi*
SUATU sore yang ramai dengan kenderaan di jalan dua jalur Banda Aceh saya bersama seorang teman berjalan menuju ke apotik 46 di kawasan Keudah jalan Merduati Banda Aceh, tujuan kami kesana adalah membeli obat untuk Awan (kakek-Red) yang sedang berobat dengan seorang dokter spesialis yang kebetulan baru sampai dari Takengon. Dan kini awan terbaring di Rumah Sakit Harapan Bunda Setui Banda Aceh (tidak jauh dari terminal lama). Setelah menunggu antrian sesaat kami dipanggil untuk mengambil obat, lalu kami bergegas menuju Rumah Sakit dimana Awan berbaring untuk mengantar obat.
Jam telah menunjukkan pukul 19.45 WIB dan waktu makan malam tiba, bagi kami yang menjaga kakek tidak disiapkan makan malam, karena makan malam hanya disiapkan bagi mereka yang di rawat inap seperti halnya kakek, masih bersama teman yang sama, kami ditugaskan ditugaskan untuk membeli nasi. Karena letak warung yang tidak begitu dekat kami berinisiatif untuk menggunakan sepeda motor. Sama halnya ketika kami membeli obat, di sini juga kami harus antrian walau tidak selama antrian ketikan di apotik, sambil menunggu nasi siap dibungkus, seorang ibu setengah baya memperhatikan dan mem mempersilahkan kami untuk duduk didekatnya, dengan ucapan terima kasih kami duduk di samping ibu tersebut.
Kami merasa kaget ketika ibu tersebut bertanya, dari Takengon ya nak? Spontan kami berdua menjawab, ya bu !. Entah perasaan apa yang memberi petunjuk kepada ibu itu sehingga ia tahu kalau kami berasal dari Takengon, mungkin juga dari postur tubuh atau rona wajah atau juga dari sikap, karena memang sebelumnya kami berdua belum sempat berbicara dengan bahasa Gayo.
Setelah memperkenalkan dirinya barulah kami tahu ternyata ibu itu adalah seorang dosen di FKIP dan FISIP Unsyiah. Ibu itu bercerita banyak kepada kami, sampai pada riwayat pendidikannya, beliau katakan kalau dia menamatkan pendidikan S1-nya di UNAIR, S2 di UI dan S3 di UNPAD.
Hal yang menarik bagi kami adalah ketika ia mengatakan bahwa mahasiswa yang berasal dari Gayo rata-rata cerdas, dan terbukti dari banyaknya mahasiswa Gayo yang berprestasi di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh. Kami melihat ungkapan kejujuran dan keseriusan dari wajah ibu itu.
Kami menanggapinya dengan senyuman sambil berucap terima kasih atas pernyataannya. Ibu itu berpesan sambil berharap kepada kami agar generasi Gayo masih tetap mampu menjadi penerang bukan hanya untuk daerah Gayo, tetapi juga untuk Aceh.
Dari pertemuan singkat dengan ibu yang berprofesi dosen tersebut, kami sebagai mahasiswa dapat mengambil hikmah. Bahwa tidak salah kalau selama ini orang Gayo selalu berkata kepada generasi muda bahwa orang Gayo itu cerdas dan pandai, melampaui kecerdasan orang-orang dari daerah lain.
Namun di balik ungkapan dari kejujuran ibu tersebut, menjadi tantangan bagi kami dan semua mahasiswa yang berasal dari Gayo. Kenapa tidak, bukankah itu artinya generasi sebelum kita telah membuktikan bahwa mereka adalah orang yang punya nama dan mampu bersanding bahkan melebih dari kawan-kawannya yang berasal dari daerah lain.
*Zuhra Ruhmi (mahasiswi IAIN Ar-Raniry jurusan tarbiyah matematika)
.