KERAP kali saat saya berhenti di persimpangan Lampu Merah. Saat lampu itu berwarna merah, tentu saja, saya selalu diberi penganan yang bernama klakson. Entah itu dari kendaraan roda empat atau lebih, atau kendaraan beroda dua dan tiga. Mereka memberi saya asupan klakson karena mereka ingin belok kiri langsung atau pun lurus.
Ini sering terjadi di Lampu Merah di persimpangan Wariji maupun di persimpangan Simpang Pet. Biasanya klakson diberi ke saya saat berada di sebelah selatan bila di Wariji dan berada di sebelah selatan atau utara di Simpang Pet. Dasar saya berpikir lurus-lurus saja, kejadian ini sering berulang terjadi pada saya.
Timbul sebuah pertanyaan, yang salah siapa. Apa saya yang “pekak” akibat tak tahu etika lalu lintas atau saya egois bak raja jalanan, padahal saya hanya ber-Honda. Atau memang yang mengklakson merasa dia yang benar sehingga merasa saya menjadi penghalang arus lalu lintas.
Mari kilas balik ke belakang. Sebelum tahun 2010, sebelum undang-undang lalu lintas yang baru disahkan (UU No 22 Tahun 2009). Semua masyarakat awam atau pengguna jalan sangat lah mafhum bila bertemu dengan lampu merah dan ada belokan di sebelah kiri, maka tak usah lagi berhenti namun bisa langsung belok ke kiri. Istilah ini familiar dan mempunyai akronim Bekibolang (belok kiri boleh langsung).
Bekibolang ini bertujuan agar arus lalu lintas di jalan raya bisa mengalir dengan lancar. Dan ini bertujuan untuk mengatasi kemacetan di titik tertentu saat jam-jam sibuk. Tak hanya Bekibolang, saat itu bila bertemu dengan persimpangan dan ada lampu merah, peraturan membolehkan kita untuk langsung lurus.
Sesuai dengan tujuannya, bekibolang sangat digemari oleh semua pengendara, baik yang beroda dua maupun beroda empat atau lebih. Karena ada sebuah kelegaan untuk menghindari sinyal lampu merah yang mengaharuskan kita berhenti sekurang-kurangnya satu menit. Tergantung volume kendaraan yang ada di daerah tertentu dan di waktu-waktu tertentu. Secara psikologi manusia yang ingin bebas dan cepat, maka semua pengendara sangat memfavoritkan peraturan lalu lintas ini.
Nah, setelah UU No 22 tahun 2009 keluar dan disahkan ada perubahan untuk pengaturan belok kiri boleh langsung ini.
Menariknya, di Aceh Tengah, saat undang-undang ini keluar. Pihak Polres Aceh Tengah langsung mengaplikasi peraturan ini, khususnya yang berkenaan dengan lalu lintas dan angkutan umum. Salah satu yang non popular adalah, adanya mogok yang dilakukan oleh supir labi-labi, karena semua angkutan labi-labi dilarang membuka pintu belakang saat beroperasi. Bila, rekan-rekan masih ingat, itu adalah juga produk dari Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Khusus untuk belok kiri ini, coba lihat link video yang sempat saya rekam beberapa waktu lalu di jalan lintang, atau kawasan terminal. Ini link-nya http://vimeo.com/17306956.
Polres Aceh Tengah dan pihak yang terkait sangat konsisten dengan peraturan ini. Hingga semua tanda “belok kiri langsung” dicabut semua dari sinyal lampu merah. Namun, awal 2011, pihak terkait memasang lagi di titik tertentu seperti yang ada di depan Polres Aceh Tengah tanda atau marka untuk “belok kiri langsung”.
Mengapa, undang-undang terbaru mengubah tanda bekibolang ini. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama adalah menghormati pejalan kaki. Artinya bila bekibolang dijalankan maka otomatis hak pejalan kaki untuk menyeberang jalan di lampu merah akan terganggu. Ini mungkin belum menjadi hal yang lumrah di Takengon di mana pejalan kaki sudah semakin menyusut. Namun sangat membantu pejalan kaki di kota besar.
Kedua, pencabutan tanda bekibolang ini adalah untuk membuat geometri jalan menjadi lebih bagus dan terarah. Artinya, bila tak ada tanda bekibolang di persimpangan, itu berarti pihak terkait seharusnya membuat jalan elak sebelum lampu merah untuk mengakomodir mereka yang ingin menuju ke arah sebelah kiri. Seperti ilustrasi sederhana di bawah ini.
Dari dua alasan di atas, dapat kita ikhtisarkan. Bahwa peraturan yang tebaru dibuat untuk meningkatkan rasa kemanusiaan kita di jalan. Khususnya mereka pejalan kaki dan mereka yang kelas kendaraannya berada jauh di bawah kita. Dan tentu saja mempercantik kota agar lalu lintas berjalan tertib.
Jadi, dengan kasus di Simpang Pet dan di Wariji, salah siapa? Rekan yang tahu. Bila pun belum tahu, disarankan agar tak langsung mengklakson mereka yang di depan kita yang menghalangi kita di depan, apalagi mereka benar. Karena klakson itu bukan bermakna “awas, minggir!” namun klakson adalah lambang persahabatan. Klakson adalah sapaan bukan kekesalan. Ingat, Takengon adalah kota kecil dan semuanya tak layak dilakukan dengan buru-buru.(Isma Arsyani/warga Takengon)