Catatan UN yang Tersisa

UJIAN Akhir Nasional (UAN) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ujian Nasional (UN) telah usai beragam corak ekspresi wajah tampak terlihat jelas di wajah mereka yang notabene tentu saja berbeda. Ketika satu ruangan menjadi rumah sementara mereka, canda tawa dan bahkan caci maki dari sudut sana mereka terima, tidak tersirat dendam dan luka di hati mereka, hanya sepercik embun yang menetes di hati kecil mereka tatkala sang “pemberi tugas“ berkata: “Di sudut sana kau pernah tertawa dan di sisi sini engkau pernah mengatakan aku tidak bisa, bu..!!!”

Senyum kecil keluar dari sudut kelam lusuh ruangan yang kesemua seisi ruangan menganggap diri paling hebat, semua terasa usang tatkala sederetan “pahlawan tanpa tanda jasa” berbaris menunggu salam perpisahan dari angkuhnya dirimu. Aku pernah mengalami hal yang pernah engkau alami..!!

Kekesalan tiga tahun silam lenyaplah sudah terhapus sapaan manis tatkala “ia” menyentuh rambut hitam kusam yang terkadang kami lupa bahwa “ia” pernah menebasnya tanpa tata sampai kami harus jalan menunduk agar tidak terlihat siapa yang menatap kebodohan kami.

Kembali tapi tak seutuhnya, itu yang kami rasakan di saat kami mendatangi gerbang itu. mengenakan seragam yang penuh coretan tinta (tanpa bentuk). Bukan hanya aku, bahkan teman ku pun tidak tahu untuk apa coretan itu.

Satu persatu mereka meninggalkan kami di sini, tanpa pernah permisi. Kutahu, aku bukan apa-apa untuknya, begitupun demikian kami, pernah dibesarkan selama tiga tahun bersama pada satu tempat, bahkan tidak semua insan tau tempat seperti apa itu. Lumbung ilmu atau bahkan lumbung para calon pemimpin yang tidak pernah tahu akan dikemanakan nantinya setiap coretan-coretan yang tak berbentuk tadi.

Seorang bijak pernah berkata Hal yang paling jauh adalah masa lalu dan hal yang paling dekat yang kau temui adalah kematian. Terkadang kami pernah berfikir, apa arti dari seuntai kalimat tanpa pemilik tersebut, genap enam tahun sudah kami meninggalkan meja dan kursi yang kami tidak mengerti warna dan siapa saja yang pernah menitikkan pena diatasnya.

Sedikit sulit melupakan masa, saat segalanya begitu bermakna. Tak kami hiraukan penghalang saat kami berjalan bersama, menjejaki ayat Tuhan yang pertama, Iqra. Begitu pun, tak kami hiraukan suara-suara miring, tersenyum, tertawa hingga mengejek, saat jejak ayat itu menjadi coretan-coretan tak berbentuk.

Ketika pagi kembali menyapa, terdengar panggilan ibunda yang -tanpa bosan- mengingatkan bahwa malam telah usai dan waktunya untuk bertata kembali menuju titik, di mana semua orangtua menitipkan buah hatinya agar dibina, untuk menjadi dewasa, bermartabat dan bijaksana penerus generasi tanpa termakan birahi duniawi. Merajut impian dari coretan-coretan tak berbentuk.

Bunda, seolah menghalau subuh untuk mempersiapkan segala sesuatu yang kami dibutuhkan. Untuk dan berharap, agar generasi pagi tetap berjalan hingga ke anak cucu. Sesekali, terdengar bisikan merdu : “Mak, uang jajanku?”. Senyum adalah jajanan awal setiap pagi. Dan tak sedikit, uang jajan menjadi coretan hari yang tak terlupakan, dan lagi-lagi, coretan tanpa bentuk, baik di baju, buku bahkan di wajah.

Dilain waktu, ku temui di sudut pipi yang sudah tidak muda lagi, ketika ku pergi, tidak tau apa yang ia kerjakan setelah aku terbahak terbawa arus teman segenerasi. Generasi terus berganti arah, dari putih merah, putih biru hingga putih abu-abu. Seragam menjadi bunga-bunga kecoklatan yang terkontaminasi keringat, celana yang tersayat-sayat oleh keinginan modernitas, antara gengsi dan patuh. Dua pilihan yang selalu tak dapat terjawab. Namun bunda, tetap tersenyujm di ujung sana, menanti dan terus menanti kepulanganku.

Entah kapan masa itu akan terulang kembali.  Hari demi hari pasti akan terus kami lalui, tidak akan ada gading yang tak retak. Namun, kami tetap yakin bahwa suatu saat kelak, kami akan dipertemukan dengan drama yang sama, tetapi berbeda ruang dan waktu. Bisa saja, menjadi menjadi dongeng malam dari seorang kakek dan nenek kepada cucunya. Menggambarkan segala coretan-coretan hidup yang terkadang tak berbentuk, namun akhirnya menemukan bentuk aslinya untuk dapat menjalani kehidupan yang hakiki.(Konadi Adhani)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.