Demokrasi, Mobokrasi dan Konstitusi

Oleh:Muhamad Hamka

PEMILUKADA adalah amanat demokrasi bagi terpilihnya pemimpin yang bisa mengemban amanah rakyat. Pemimpin yang tulus menampung keluhan seluruh rakyatnya, bukan sebaliknya pemimpin yang berkeluh-kesah kepada rakyat.

Pemimpin model ini tak begitu saja muncul dari ruang hampa, tapi melalui pergulatan demokratisasi yang panjang di masyarakat. Sehingga pilihan rakyat kepadanya tidak berangkat dari manipulasi citra, janji-janji angin surga, ataupun money politik. Namun lahir dari kesadaran politik yang tinggi, dimana pilihan terhadap calon kepala daerah lahir dari rahim kesadaran (hati nurani dan akal budi).

Ketika pemimpin yang terpilih terindikasi hasil kolaborasi pencitraan, money politik, dan janji-janji angin surga, maka akan memunculkan perseden yang kurang baik, bahkan lebih jauh lagi bisa memicu konflik horizontal ditengah masyarakat. Karena politik yang dialas-tumpui oleh manipulasi, rekayasa dan kebohongan akan memunculkan resistensi balik.

Pemilukada Gayo Lues dan Aceh Tengah yang kisruh boleh jadi sebagai resistensi balik rakyat akan manipulasi, rekayasa, dan kebohonga elite selama proses pemilukada berlangsung. Sikap resisten masyarakat terhadap hasil pemilukada boleh jadi akibat ketidak-puasan terhadap segala proses politik (Pemilukada) yang berlangsung. Tetapi menggunakan jalan kekerasan dalam mengekspresikan pendapat sebetulnya bukan langkah yang bijak, karena telah mencederai hakikat demokrasi itu sendiri.

Demokrasi menjunjung tinggi politik yang santun dan beradab dengan mengeleminir segala bentuk kekerasan. Dhoni Adian (Dosen Filsafat Politik UI), mengandaikan demokrasi adalah rumah dengan pagar politik yang jelas, pagar demokrasi adalah konstitusi. Sehingga apapun ekspresi politik dan demokrasi tidak boleh keluar dari aras konstitusi. Karena ketika konstitusi diterabas maka tidak hanya mencederai nalar dan substansi demokrasi, namun juga berimplikasi terhadap terkoyaknya spirit habbluminnanas ditengah masyarakat.

Kekerasan dengan segala bentuk variannya adalah musuh demokrasi. Sehingga salah satu fungsi dari partai politik (parpol) adalah sebagai sarana pendidikan politik bagi rakyat. Dengan pendidikan politik ini diharapkan akan muncul kesadaran politik pada rakyat. Kesadaran untuk mengedepankan politik kebajikan (akal budi dan hati nurani) untuk memilih pemimpinnya.

Perilaku Mobokrasi

Kekerasan (pembakaran fasilitas umum; kantor KIP, kantor camat dan mobil dinas) yang terjadi pasca pemilukada kabaupaten Gayo Lues adalah bentuk perilaku mobokrasi. Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh “mob”, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi yang penuh destruksi (Lukmantoro, 2009).

Mobokrasi ini adalah anti tesa dari demokrasi. Kaerena “krasi” yang berarti kedaulatan atau kekuasaan dikendalikan oleh “mob” yang berarti kerumunan atau gerombolan. Sehingga ketika gerombolan atau kerumunan ini digerakan oleh para “dalang” maka yang terjadi bukan lagi kemaslahatan bersama (bonum comunie), tapi tindakan brutal dan destruksi yang tentunya jauh dari cita dan spirit demokrasi itu sendiri.

Olenya itu dibutuhkan kearifan para elite politik local untuk merelokalisir setiap potensi konflik dalam kanal yang lebih bermartabat. Adapun paradigma yang mereduksi pemilukada pada soal kalah-menang semata harus ditinggalkan. Dengan memosisikan kontestasi pemilukada sebagai proses politik bermartabat bagi kemaslahatan dan kelangsungan hidup bersama (the collective survival).

Jalur Konstitusi

Untuk itu apapun persoalan atau konflik yang terjadi pasca pemilukada berlangsung harus dikembalikan pada jalur konstitusi. Sebagaimana refleksi Dhoni Adian diatas, bahwa pagar demokrasi adalah konstitusi. Sehingga apapun persoalan yang terjadi dalam proses demokrasi (pemilukada) tak boleh diselesaikan dengan cara mobokrasi tapi harus dikembalikan kepada konstitusi selaku pagar demokrasi.

Maka dalam konteks kisruh pemilukada di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tengah, penyelesaiannya hanya melalui satu jalur yakni jalur konstitusi dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) selaku institusi yang punya otoritas dalam menyelesaikan sengketa Pemilukada.***

*Analis Sosial/berdomisili di Paya Tumpi Baru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.