Rapa’i Pasee dalam Sejarah

Catatan: Rita Dewi S.Sn

RAPA’I merupakan salah satu bentuk Musik Tradisional Aceh, ia hidup dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Sampai sekarang keberadaan rapa’i masih tetap disenangi dan di minati oleh masyarakat Aceh sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional baik dalam konteks adat istiadat maupun agama Islam.

Rapa’i dapat juga diartikan sebagai salah satu nama untuk instrument musik pukul (sejenis gendang) yang terbuat dari kayu Tualang atau kayu Merbau, sedangkan membrannya terbuat dari kulit kambing yang sudah diolah sedemikian rupa.

Pada mulanya rapa’i lahir sebagai salah satu bentuk kesenian yang di manfaatkan untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Hal ini sejalan dengan masuknya agama Islam ke daerah Aceh, yaitu ke daerah Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam yang pertama di Nusantara yang muncul pada abad ke VII Masehi. Agama Islam tersebut masuk dan berkembang ke daerah Aceh di bawa oleh para saudagar Islam yang berasal dari Arab, Persia dan India (Gujarat).

Mulanya mereka datang untuk berdagang, kemudian lama kelamaan mereka menyiarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses islamisasi, mereka mengadakan perkawinan dengan penduduk setempat. Selain itu kesenian rapa’i di pertunjukkan kepada masyarakat, agar tertarik mendengar dakwah dan merangsang masyarakat mendengar musik yang dibunyikan oleh para  awak rapa’i, dengan cara demikian akhirnya mereka masuk dan memeluk agama Islam. Berdasarkan usaha-usaha yang mereka lakukan, agama Islam akhirnya dapat diterima penduduk dan selanjutnya berkembang keseluruh penjuru wilayah nusantara.

Menurut sejarahnya oleh awak rapa’i di yakini bahwa rapa’i di bawa oleh Syeikh Abdul Kadir Jailani dari Bahkdat (Irak) yang kemudian di bawa oleh pengikut-pengikutnya ke Aceh sekitar tahun 900 Masehi. Pengikut-pengikut syeikh abdul kadir jailani yang menyebarkan kesenian rapa’i pada masa itu sekaligus menanamkan ajaran Islam pada masyarakat Aceh. Oleh karena berbentuk kesenian maka masyarakat Aceh dapat dengan mudah mencernanya. Hal inilah yang membuat masyarakat Aceh merasa tertarik sekaligus menjadikan rapa’i sebagai kesenian tradisional. Adapun cara yang di lakukan oleh pengikut syeikh abdul kadir jailani dalam menyiarkan dan mengembangkan ajaran agama Islam adalah dengan membunyikan rapa’i.

Dari hasil penelitian dan wawancara dengan beberapa narasumber seperti bapak Abdullah (Desa Awe Kecamatan Syamtalira Aron Kabupaten Aceh Utara) mengatakan bahwa, Rapa’i Pasee yang terdapat di desa Awe sekarang ini pada awalnya berasal dari perubahan konstruksi Rapa’i Daboih yang terdapat di daerah Pasai sejak abad XII, tetapi ada juga informan (Nazaruddin) yang mengatakan bahwa rapa’i pasee sudah di kenal di Aceh sejak abad IX. Pendapat ini dapat di sangkal orang karena menurut sebagaian informan lagi (Hasanuddin) mengatakan bahwa yang membawa rapa’i ke daerah Aceh adalah Syeikh Abdul Kadir Djailani. Tokoh ini sendiri baru di kenal sejak abad XI, sedangkan menurut Horgronje (1985 : 268) di kenal pasti pada tahun 1166 (abad XII).

Berkenaan dengan asal-usul rapa’i, pada awalnya di ambil dari nama belakang salah seorang ahli tasauf (ilmu tentang ajaran-ajaran Islam) Ahmad Rifa’i  yaitu orang yang di yakini sebagai pencipta alat musik. Pada awal nya, oleh Ahmad Rifa’i gendang rapa’i ini di beri nama dufun ,kemudian oleh Syeikh Abdul Kadir Djailani sebagai orang pertama yang memperkenalkan gendang dufun pada masyarakat Aceh ini memberinya nama rapa’i sebagai upaya untuk mengenang penciptanya yaitu Ahmad Rifa’i.

Istilah Pasee adalah sebutan terhadap daerah Pasai, salah satu desa di kecamatan Bayu Kabupaten Aceh Utara yang di berikan oleh masyarakat  desa Awe yaitu tempat di mana  gendang ini pertama sekali di perkenalkan. Dengan demikian pada saat sekarang ini gendang dufun lebih di kenal sebagai Rapa’i Pasee.

W.C.B. Wintoen dalam bukunya Encyclopedie Van Nederlandsch Indie tahun  1919 : 351 menyebutkan tentang keberadaan pasai yang merupakan nama untuk keseluruhan kenegerian di sebelah pantai timur Aceh, yang pada abad pertengahan telah berdiri kerajaan Pasee dengan batasannya seperti yang terdapat  sampai sekarang ini yakni di sebelah timur sampai ke Jambo Aye, pada bagian barat sampai kebeberapa kenegerian di Kroeng Pasee dan sejak tahun 1883 daerah Pasee yang terdiri dari kenegerian mencakup Lhok Seumawe, Blangme, Cunda dan Bayu Blang Mangat.

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa pada awalnya rapa’i yang pertama sekali di kenal di daerah Pasai di sebut dengan nama Rapa’i Daboih yang kemudian oleh masyarakat desa Awe di rubah namanya menjadi Rapa’i Pasee, caranya dengan menambah ukuran dari rapa’i daboih. Kemudian sekitar abad XIII rapa’i yang di bawa ke desa Awe di tambah ukurannya menjadi lebih besar, pada awalnya rapa’i daboih berukuran 30-57 cm, sesudah di tambah menjadi 63-78 cm dan nama untuk rapa’i yang berukuran besar ini menjadi rapa’i pasee.

Perubahan ukuran ini berasal dari masyarakat yang tinggal di daerah Pasai itu sendiri karena mereka mengatakan bahwa dengan ukuran rapa’i yang lebih besar akan menghasilkan bunyi yang lebih keras pula, artinya jika rapa’i yang lebih besar di pukul, suaranya akan terdengar lebih jauh.

Dewasa ini rapa’i telah berkembang pesat dan mendapat prioritas utama dalam dunia seni di Aceh, ini terbukti dengan hadirnya kesenian rapa’i, masyarakat Aceh khususnya desa Awe benar-benar merasakan pengaruh yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya.

Di lihat dari fungsinya pada masa awal masuknya ajaran Islam rapa’i di pertunjukkan pada Bandar dagang di daerah Pasai. Syeikh Abdul Kadir Djailani yang di kenal sebagai penyiar agama Islam yang juga merupakan orang pertama membawa dan memperkenalkan rapa’i bersam dengan 11 orang pendukungnya yang tidak dapat di ketahui secara pasti apakah pengikut-pengikutnya ini juga berasal dari Baghdad sebagaimana seyikh Abdul Kadir Djailani atau mungkin pengikut-pengikutnya berasal dari masyrakat Aceh setempat dengan memanfaatkan rapa’i sebagai pendukung kegiatan tersebut. Rapa’i sendiri pada masa itu di gunakan sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Melalui pola-pola ritmis yang di hasilkannya, setelah massa berkumpul, rapa’i akan tetap di mainkan dengan memasukkan unsur teks sebagai nyanyian yang berisi ayat-ayat suci yang terkandung dalam Al-Qur’an

Sebelum media massa modern hadir di Aceh, rapa’i telah di tempatkan sebagai sarana pendukung dalam penyampaian konsepsi-konsepsi keagamaan baik melalui bunyinya yang dapat menggugah penonton, pendengar untuk ingin menyaksikan langsung permainan rapa’i tersebut, sehingga dari keadaan seperti ini akhirnya rapa’i  di jadikan sebagai media dakwah.

Di karenakan dari pengaruh perkembangan zaman rapa’i mengalami perkembangan yang pada awalnya lebih di kenal sebagai media dakwah Islamiah sedangkan pada saat sekarang ini di gunakan sebagai alat hiburan dalam upacara-upacara adat atau upacara yang berkaitan dengan perayaan hari-hari besar, seperti tahun baru Islam, perayaan Maulid Nabi Muhammad dan lain sebagainya.(Tulisan diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan musik Rapai Pasee yang terdapat di desa Awe Syamtalira Aron, berbentuk sebuah Karya tulis Ilmiah atau Skripsi Sarjana tahun 1995).

*Alumni Sarjana Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Sekarang bekerja sebagai tenaga pengajar Biola & Piano di SUHA Ansamble.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.