Menulis Itu Mengemban Sifat Nabi

ACEH pantas bersyukur melihat gelinjang kepenulisan akhir-akhir ini. Pascatsunami, banyak muncul penulis regenerasi di Aceh. Mereka menulis apa saja, mulai dari jenis ilmiah populer sampai genre fiksi; mulai dari esai hingga puisi.

Belakangan, jenis tulisan catatan perjalanan pun mendapat ruang yang baik di media. Kesempatan ini banyak diambil oleh mahasiswa Aceh yang sedang melanjutkan studi di luar negeri. Mereka mulai gemar menulis laporan di negeri seberang untuk nanggroe. Tulisan itu kemudian mereka kirimkan ke sejumah media terbitan Aceh.

Kemunculan para pendatang baru dalam belantika kepenulisan di Tanah Fansuri ini tidak lepas dari peluang yang disediakan oleh media. Tumbuh dan pesatnya media, baik cetak maupun online—tambah televisi—benar-benar sangat bermanfaat bagi Aceh. Harapan akan kegemilangan Hamzah Fansuri, Syeh Abdurrauf as Singkili, Adul Karim, Nuruddin ar-Raniry, A. Hasjmy, dan lain-lain agaknya mulai terbuka.    Tentu saja untuk mencapai kegemilangan ini diperlukan sesuatu yang bernas.

Setidaknya, sesuatu yang memberi kebaruan dan sesuatu yang dapat diingat sepanjang masa seperti orang zaman sekarang yang masih selalu mengingat sastrawan Aceh masa silam. Oleh karena itu, seorang penulis mesti dapat mengemban empat sifat nabi: siddiq, amanah, tabliq, dan fathanah.

Sifat-sifat tersebut bukan hanya kemestian bagi penulis lepas, tapi juga penulis profesi semisal wartawan. Manakala seorang juru kabar menyiarkan berita bohong, merugilah ia. Tatkala seorang editor (redaktur) suka membesar-besarkan berita dari reporternya—saat penyuntingan—sungguhlah ia telah melupakan kemuliaan dirinya sebagai khalifah yang dipilih untuk menyunting kabar.

Bagi penulis lepas, sifat yang paling dikedepankan harusnya sifat benar dan jujur: benar bahwa ia sedang menulis—bukan merepet–dan jujur bahwa tulisan tersebut bukan hasil plagiasi.

Semarak Plagiat

Saat ini, setidaknya ada tiga media cetak (koran) yang terbit di Banda Aceh menjadi tilikan para penulis regenerasi—saya gunakan istilah ‘penulis regenerasi’, karena saya kurang suka istilah ‘penulis pemula’. Media yang menumbuhkan secara subur penulis regenerasi di Aceh antara lain Serambi Indonesia, Harian Aceh, dan Pikiran Merdeka.

Tentu saja masih ada peluang lain di media online, sebut saja The Atjeh Post, Aceh Kita, dan Aceh Coner. Beberapa media cetak lain, dalam bentuk tabloit dan majalah juga membuka peluang yang sama untuk para penulis regenerasi.

Semarak media inilah yang membuat kemunculan penulis regenerasi di Aceh umpama bawang di musim lembab. Oleh karena itu, tindakan plagiasi harus diwaspadai, selain kegemaran para penulis yang mengirimkan tulisan sama pada lebih dari satu media.

Masing-masing penulis mestinya memiliki kesadaran tinggi terhadap apa yang ia lakukan. Tatkala ia mengirimkan tulisan yang sama pada media berbeda, harusnya ia paham itu sama dengan meremehkan orang-orang media. Tindakannya sama saja menganggap bahwa media yang ia pilih adalah media murahan yang selalu akan memuat tulisan dari siapa saja, walaupun sudah pernah dimuat di media lain.

Media-media nasional langsung mencoret hitam penulis yang suka mengirimkan tulisan yang sama pada lebih dari satu media. Redaktur Seni Koran Kompas bahkan sempat membuat status di twitter bahwa si fulan yang cerpennya dimuat pada Kompas minggu lalu dianggap sama sekali tidak pernah dimuat.

Ini baru kasus memberikan tulisan yang sama pada media berbeda. Jika tulisan tersebut adalah hasil plagiasi, skorsing yang diberikan harus lebih besar lagi. Dalam hal ini, kecermatan dan ketelitian seorang redaktur sangat dituntut. Redaktur atau editor adalah ‘penjaga gawang’ sebelum tulisan diterbitkan. Manakala redaktur tidak paham terhadap gawang yang dijaganya, bukankah ini penyakit yang lebih kronis tinimbang plagiator?

Soal penulis plagiat, ini isu yang sedang hangat dibicarakan. Pascaterbitnya tulisan dari seorang mahasiswa IAIN Ar-Raniry dengan judul “Plagiat, Pelacur Intelektual” di Serambi Indonesia, isu ini menjadi santer dibicarakan. Yang menulis itu ternyata juga tukang kopi paste tulisan orang lain. Tindakan ini lebih mudah diketahui publik daripada plagiat terhadap tulisan yang belum diterbitkan.

Contoh kasus, sebuah puisi “Akulah Jati Diri” karya Moel Gani yang dimuat Serambi Indonesia pada 8 April 2012. Puisi itu ternyata sangat mirip dengan puisi Mahdi Idris “Akulah Ranting” yang dikirimnya ke facebook saya. Mahdi mengaku telah mengirimkan puisi tersebut ke Harian Serambi, tetapi tiba-tiba muncul puisi Gani, dengan judul dan isi sedikit berbeda. Sulit mencari kebenaran dalam kasus ini.

Namun, bagaimana dengan puisi “Bocah Berkaleng Kecil” karya Saifuddin pada harian yang sama di tanggal 8 April juga? Silakan bandingkan dengan puisi “Gadis Peminta-minta” karya Toto Sudarto Bahtiar.

Akhirnya, seorang redaktur tidak hanya dituntut mengemban empat sifat nabi, tetapi juga harus teliti, rajin membaca, dan yakin menyimak. Untuk memajukan dunia aksara di Bumi Fansuri ini, dibutuhkan orang yang bersifat benar, menyampaikan, cerdik, dan jujur. (The Atjeh Post)

*Herman RN, pengkhidmad sastra lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.