Catatan Win Wan Nur*
BEBERAPA waktu yang lalu saya kembali ke Bali yang telah saya tinggalkan selama hampir dua tahun. Banyak perkembangan baru di Bali yang tidak saya ikuti. Untuk mengetahui perkembangan terbaru tentang dinamika yang berkembang di daerah ini, tentu saja yang menjadi andalan saya untuk mendapatkan informasi adalah PERS, lebih spesifik lagi surat kabar.
Surat kabar yang paling berpengaruh di Bali apalagi kalau bukan Bali Post.
Hari kamis tanggal 19-7 -2012 saya membaca koran ini, tapi apa yang saya dapatkan dari media paling berpengaruh di provinsi ini justru bukan informasi tentang Bali, melainkan berita tentang perseteruan antara media ini dengan gubernur Bali, Made Mangku Pastika yang melaporkan media ini ke pengadilan atas tuduhan pencemaran nama baik dan pemberitaan yang tidak benar. Di halaman satu koran itu, berita utama yang paling menonjo adalah pembelaan diri media ini untuk dirinya sendiri dan memojokkan sang gubernur habis-habisan. Cukup dengan membaca judul dan membaca sekedarnya di halaman pertama, koran saya tutup dan langsung beralih ke halaman olah raga.
Hari-hari berikutnya, meskipun saya tidak berlangganan atau membeli koran ini. Tapi ketika saya belanja di warung atau sedang berbuka puasa di restoran, saya selalu saja menemukan koran ini di tempat itu dan mau tidak mau terbaca juga judul di halaman pertamanya, dan yang saya baca, headline di halaman pertamanya masih sama saja. Membela diri habis-habisan dan menjelek-jelekkan lawannya di pengadilan juga habis-habisan.
Dari cara penulisan berita dan judul yang dipilih, kita bisa merasakan dengan kentara sekali bahwa media ini berusaha keras membangun opini di masyarakat untuk mempengaruhi proses pengadilan dengan cara membuat opini seolah-olah ada INTERVENSI penguasa atas keputusan yang menyatakan Bali Post harus meminta maaf. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya, kalau kita cermati dari berita-berita yang diturunkan oleh Bali Post, justru Bali Post lah yang terlihat sangat kentara sedang mengintervensi keputusan pengadilan dengan cara yang vulgar, mulai dari mengutippernyataan dari orang-orang yang tidak sepandangan dengan keputusan hakim (kadang tokoh yang dimintai pendapatnya sama sekali tidak memiliki kompetensi untuk berkomentar soal hukum) sampai ke membusukkan karakter hakim yang menangani perkara. Contohnya di salah satu edisi koran ini, di halaman pertama Bali Post menurunkan berita tentang profil Hakim yang menangani perkara yang menangani kasus ini. Di situ dengan bahasa yang sangat tendensius Bali Post menulis hakim tersebut adalah hakim yang menghukum koruptor selama satu tahun padahal jaksa menuntut 4,5 tahun.
Membaca berita jampok, alias narsis tingkat tinggi dari Bali Post yang menjadikan berita tentang kesucian dirinya sendiri terus menerus tanpa henti menjadi headline selama berhari-hari, membuat saya mulai tertarik kepada kasus ini dan mulai bertanya-tanya pada teman-teman di Bali tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Dan ketika itu saya tanyakan, ternyata dalam pandangan beberapa teman-teman yang memang mengikuti perkembangan kasus ini dari awal. Sebenarnya perseteruan ini memiliki aroma politis yang sangat kuat, berkaitan dengan Pemilukada mendatang.
Menurut sang teman yang asli Bali, pemilik Bali Post mendukung Wakil Gubernur yang sekarang untuk menjadi gubernur Bali pada Pemilukada mendatang. “Coba saja lihat berita di Bali Post tentang wakil Gubernur, pasti selalu positif” kata sang kawan. Dan ketika saya perhatikan, memang benar di halaman depan yang sama ketika gubernur dicerca dan dibusukkan habis-habisan. Ada satu berita yang menginformasikan sang wakil gubernur sedang membongkar rumah warga miskin, dalam rangka program bedah rumah untuk membantu masyarakat miskin. Di hari lain di halaman yang sama dengan di mana sang Gubernur dihajar habis-habisan, Bali Post menurunkan berita wakil gubernur akan melantik pejabat kalau gubernur berhalangan.
Menurut teman saya ini, perseteruan ini berawal dari tindakan Bali Post yang menurunkan berita bahwa Gubernur akan menghapus desa Pakraman (desa adat) di Bali. Berita yang tentu saja memicu kemarahan masyarakat Bali kepada sang gubernur. Karena bagaimana tidak, desa Pakraman adalah pusat dan benteng utama adat dan kebudayaan Bali yang bahkan Belanda yang penjajah saja sangat menghargainya.
Gubernur yang ternyata sudah berkali-kali dijadikan bulan-bulanan oleh koran ini, kali ini ternyata sudah tidak tahan, merasa ucapannya dipelintir dengan tendensius, melaporkan koran ini ke pengadilan. Dan pengadilan pun memprosesnya (saya tidak tahu bagaimana berita yang diturunkan oleh Bali Post selama kasus ini diproses, saya baru membaca Bali Post ketika kasus ini sudah diputuskan dimenangkan oleh Gubernur meski tidak semua tuntutannya dipenuhi)
Mengetahui informasi ini saya jadi maklum dan memutuskan untuk tidak lagi membaca Bali Post. Tapi kemarin (senin 23 Juli 2012) ketika sedang berbuka puasa di sebuah restoran di Kintamani , di meja saya tergeletak koran Bali Post dan tak bisa dihindari saya kembali membaca halaman pertama koran ini dan apa tertulis di sana?. “KEPUTUSAN HAKIM SALAH FATAL”, maksudnya tentu saja keputusan Hakim yang memutuskan Bali Post bersalah (di sini Bali Post mengutip pernyataan dari John Korasa dari LBH-KPP-PETA. Masih di halaman pertama ada berita “SIAPAKAH YANG BERBOHONG”, maksudnya tentu saja Gubernur lah yang berbohong, di sini Bali Post mengutip ucapan Gubernur yang katanya akan mengevaluasi keberadaan dua desa Pakraman yang terus berseteru, dan di bawahnya dikatakan kalau perlu desa Pakraman itu dibubarkan (bukan seluruh desa Pakraman).
Masih di halaman yang sama muncul judul dengan latar belakang merah dan tulisan putih “ADAKAH INTERVENSI?” (judul seperti ini bukan pertama kalinya saya baca di halaman pertama koran ini). Di bawah judul ini ditulis “Masyarakat akan melihat dengan jelas ketidak seimbangan dalam penerapan hukum”. Di sini koran ini berspekulasi dengan bebas merdeka lengkap dengan imajinasi dan khayalan tentang kemungkinan adanya intervensi penggugat terhadap proses pengadilan dan ikut mengajak masyarakat untuk mendukung investigasi Bali Post. Caranya dengan mengirimkan data atau informasi yang diketahui tentang dugaan intervensi ini ke bpinvestigasi@gmail.com. Woow, wewenang pers sekarang sudah melebihi penegak hukum rupanya.
Tepat di sebelah kanan judul “ADAKAH INTERVENSI?” yang berbentuk pertanyaan ini langsung tampil judul yang berbentuk jawaban alias kesimpulan “DUGAAN INTERVENSI MAKIN KUAT”, maksudnya tentu saja intervensi gubernur terhadap proses pengadilan, untuk meyakinkan masyarakat akan adanya intervensi itu Bali Post mengutip penilaian Dr. Ir. I Wayan Jondra. MSi, seorang akademisi dari POLITEKNIK NEGERI BALI (apa hubungannya coba?).
Sementara pembelaan diri dari gubernur atau hakim yang dipojokkan sama sekali tidak dimuat.(inikah pemberitaan yang menjadi ciri khas pers yang bebas yang katanya ‘cover of the both sides?’).
Semua berita provokatif ini oleh Bali Post dikatakan sebagai sebuah perjuangan untuk sebuah kebebasan pers,agar pers bisa menyampaikan kebenaran kepada masyarakat. Benarkah demikian?
Ketika saya membaca sebuah surat pembaca di media lain terbitan Bali (majalah Sabda) yang terjadi sang pembaca majalah ini justru mencerca Bali Post habis-habisan dan menyebut orang-orang yang ikut-ikutan berteriak kebebasan pers untuk mendukung Bali Post adalah orang-orang bodoh yang mau saja diperalat koran ini, untuk kepentingan sang pemilik modal. Sama sekali tidak ada urusannya dengan masyarakat.
Melihat adanya surat pembaca di media lain yang nadanya seperti ini, jelas patut diduga kalau juga ada banyak surat pembaca yang bernada sama yang ditujukan ke redaksi Bali Post, tapi melihat kecenderungan pemberitaan Bali Post dan betapa tendensiusnya berita media ini dalam membela diri, siapapun yang masih waras tentu bisa menyimpulkan surat pembaca jenis seperti itu yang bertolak belakang dengan opini yang sedang digiring oleh koran ini tidak akan mungkin ditampilkan oleh Bali Post.
Sebelum Bali Post memulai tendensi seperti ini, kita sebelumnya sudah (dan masih) disuguhi dengan informasi vulgar yang berat sebelah dengan mengatasnamakan kebebasan Pers dari TV One, ANTV dan Vivanews yang dengan tendensius menghajar habis PSSI dengan cara mengangkat semua berita jelek tentang PSSI sembari menutup rapat semua informasi positif tentang PSSI. Media-media ini juga terbiasa dengan keras kebijakan pemerintah tapi diam seribu basa dengan informasi tentang penderitaan masyarakat akibat semburan lumpur Lapindo. Dan sejauh ini tampaknya sama sekali tidak ada tindakan apapun entah itu dari pemerintah maupun dewan pers.
Untuk membenarkan aksinya media-media ini yang kita semua tahu dimiliki oleh para pemodal besar ini tentu saja mengedepankan alasan kebebasan KEBEBASAN PERS untuk menyampaikan kebenaran tanpa dihalangi oleh kekuatan apapun. Tapi benarkah demikian?
Bagi saya pribadi yang ada di luar segala macam perseteruan ini dan sama sekali tidak memiliki hubungan emosional apapun baik dengan Bali Post maupun Gubernur, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus hukum ini. Apa yang dilakukan Bali Post ini SANGAT MENGERIKAN!!!.
Apa yang ditampilkan oleh Bali Post dalam beberapa hari ini Bali Post seperti sebuah suguhan pertandingan tinju dengan Bali Post sendiri sebagai petarung dan Gubernur Mangku Pastika sebagai lawan yang tubuh, tangan dan kakinya diikat kuat di salah satu pojok ring. Pertandingan jadi jelas sangat tidak seimbang karena Bali Post bisa dengan bebas merdeka menghujani Mangku Pastika dengan pukulan dan tendangan bahkan disayat dan diiris dari berbagai sudut dan penjuru tanpa sang gubernur mampu melawan.
Inikah KEBEBASAN PERS yang kita dewa-dewakan?.
Inikah jenis kebebasan berbicara yang membuat masyarakat kita tercerahkan yang membuat orang berani mengeluarkan pendapat dan pemikiran?
Saya pikir jelas BUKAN.
Pesan kuat yang disampaikan oleh Bali Post (dan juga Viva Group) kepada masyarakat melalui aksi seperti ini jelas bukanlah pesan kebebasan, melainkan PESAN JELAS kepada masyarakat awam seperti kita bahwa “kalau kalian tidak mau dihabisi JANGAN BERANI MACAM-MACAM DENGAN PEMILIK MODAL YANG MENGUASAI PERS !”
Jadi jelas ini bukan KEBEBASAN PERS….Ini adalah PREMANISME PERS yang hanya menguntungkan pemilik modal yang menguasai pers dan menjadi musibah nyata bagi kita masyarakat awam.
Wassalam
*Masyarakat Biasa (Non Pers) Warga Jakarta