HANYA saja berani atau tidak mengeluarkan pendapat, bahwa tersendatnya pelantikan Bupati/Wakil Bupati terpilih Aceh Tengah dengan mengemukakan alasan dan dalih macam-macam itu, Gubernur sudah bermain politik, sehingga menunjukan perilaku tidak adil dan mengabaikan Keputusan MK yang menetapkan pasangan Nasaruddin dan Khairul Asamara sebagai pemenang dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Kabupaten ini.
Yang terakhir sebagaimana diberitakan sebuah media massa di Banda Aceh Gubernur kembali berdalih, masih mencari solusi terkait pelantikan Bupati Aceh Tengah itu. Tetapi dalam rangka penegakan keadilan dan kepastian hukum, saya menyatakan memang demikianlah fakta yang ditunjukkan Gubernur terhadap Pimpinan Daerah terpilih itu. Amat sangat jelas politiking dan ultra sektarian.
Apabila dikatakan, keengganannya melakukan pelantikan disebabkan masih ada permasalahan, maka kalau bukan karena berpegang bahwa Keputusan MK itu final dan mengikat serta tidak ada dialog, hampir semua yang sudah dilantik juga dapat dipermasalahkan. Betapa tidak, dalam proses peradilan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum beberapa kabupaten sebelumnya, MK mengakui ada intimidasi, teror dan berbagai perilaku politik busuk lainnya yang terjadi pra dan selama proses pilkada di Aceh, tetapi MK berdalih kejadian itu berlangsung sporadis, tidak sistemik, tidak terstruktur dan tidak massif. Sekiranya ada dialog serta Keputusan MK tidak bersifat final dan mengikat, dengan bukti-bukti yang ada, dapat kembali dipermasalahkan Keputusan MK itu.
Sebaga contoh, dalam kampanye resmi salah satu kandidat pilkada Pidie, di atas penggung di depan kandidat dan massa, juru kampanye melakukan hujatan, caci maki dan pembunuhan karakter terhadap saingannya. Ini jelas perilaku politik busuk yang sistemik, terorganisir dan massif, karena hal ini dilakukan di semua panggung kampanye. Sebagai bukti kualitatif saya memiliki CD nya, dan CD ini merupakan salah satu bukti yang saya serahkan kepada Majelis Hakim MK berkaitan dengan PHPU pilkada Pidie, di samping bukti-bukti otentik lainnya.
Dengan bukti-bukti itu pula harus saya katakan Gubernur sendiri dan gerbongnya dalam proses pencalonannya sarat aroma tidak sedap, dan sejak awal sudah jelas belaka. Bau tidak sedap dari perilaku politik busuk ini merebak ke khalayak setelah Ketua MK Mahfud MD “kecoplosan” dalam acara silaturrahminya di markas besar surat kabar Serambi Indonesia 31 Agustus lalu, dan besoknya (1/9) ”kecoplosan” Mahfud itu merebak melalui media massa.
Mahfud menyatakan “MK membuka ruang di luar hukum resmi, tapi ‘siasat hukum’ ini tidak melanggar Konstitusi. DPRA menggugat KPU, padahal secara hukum KPU itu sudah benar. Kemudian saya sarankan ke Mendagri untuk menggugat KPU. Tapi sudah sejak awal kita isyaratkan gugatan itu bakal kalah di MK. Nah, karena sudah ada gugatan, maka sebelum itu diputuskan secara final, MK berkesempatan membuat putusan sela. Nah, di sela-sela sebelum putusan final itulah diberi peluang lagi untuk mendaftar bagi yang belum. Dan pada akhirnya, putusan akhir MK tetap menolak gugatan Mendagri, tapi hikmahnya semua pasangan yang ingin ikut pilkada sudah terakomodir”.
Satu sisi saya memaklumi ”akalan-akalan” Mahfud itu, karena cukup lama MK menjadi sasaran caci maki dan hujatan pasca mensahkan calon independen dalam pilkada Aceh. Demikian pula persepsi Pemerintah Pusat seperti saya dengar langsung pernyataan Menkopolhukam bahwa pembunuhan sadis terhadap beberapa pekerja etnis Jawa di Aceh Utara, Bireuen, Aceh Besar dan Banda Aceh erat kaitannya dengan pilkada Aceh, dan kelompok yang diduga pelakunya dibawa ke Jakarta oleh Densus 88, dan saat ini sudah dalam proses peradilan.
Kendati dalam peradilan itu tersangka menyatakan sebab musabab dilakukan pembunuhan itu karena kecewa ke Irwandi. Anehnya, mengapa kecewa ke Irwandi, hamba Allah etnis Jawa yang tidak bersalah dan tidak ada sangkut paut apa-apa dengan Irwandi yang menjadi sasaran. Anehnya lagi dalam proses peradilan itu tidak disentuh-sentuh ihwal pembunuhan terhadap Saiful “Cagee” di Matang Glumpangdua. Padahal banyak perkiraan pembunuhan Saiful itu satu paket dengan pembunuhan hamba Allah etnis Jawa, dengan algojo yang sama. Wallahu’alam.
Di sisi lain, bagaimanapun juga Mahfud bermain dengan kata-kata dalam upaya melegalisir ”akal-akalan” yang sejatinya bukan cara kerja MK itu, namum tidak harus menjadi pengamat ini dan pengamat itu, pengamat koran di warung kopipun dapat menyimpulkan, bahwa buka tutup pendaftaran kandidat pilkada Aceh 2012, sarat aroma tidak sedap, oleh sebab penuh intrik, akal-akalan dan konspiratif. Ini semua prolognya adalah pembunuhan sadis itu.
Yang namanya bau tidak sedap, kendati pada awalnya disembunyikan, tetapi akhirnya merebak jua ke masyarakat melalui ”keceplosan” omongan Ketua MK itu. Ini adalah fakta, Gubernur sendiri dan gerbongnya juga memiliki masalah dalam proses pencalonan, pemilihan dan penetapannya yang lebih dominan keputusan (akal-akalan) politik dari keputusan hukum.
Oleh karena itu, jangan lagi berkelit, politiking, ultra sektarian dan terus menepuk air di dulang, demi keadilan dan tegaknya wibawa Keputusan MK, serta adanya kepala pemerintahan difinitif, secepatnya melantik Nasaruddin dan Khairul Asmara sebagai Bupati/Wakil Bupati Aceh Tengah terpilih, karana fakta hukumnya dalam perkara PHPU MK sudah memutuskannya sebagai pemenang. Putusan hukum MK final dan mengikat. Wassalam.(ghazali.adan[at]gmail.com)
*Mantan Anggota MPR/DPR-RI.