Gecik Tue Mongal, H Abdullah, Membuat Lirik Syair Gayo Penuh Makna Filosof

Oleh Win Ruhdi Bathin

Namanya H Abdullah, umurnya sudah 80 tahun.Tapi jika sudah diajak bercerita,maka H Abdullah akan lupa waktu. H Abdullah masih terlihat sehat dan energik dibandingkan dengan usianya. Mengenakan pakaian putih berlengan pendek, bersarung warna cerah dan berkopiah haji.

Dia tinggal di Kampung Mongal Kecamatan Bebesen. Dirumah sederhana. Yang dikelilingi sawah yang berubah pungsi menjadi kawasan pemukiman. Warga Takengon lebih mengenalnya dengan sapaan Gecik Tue Mongal, dari pada nama aslinya Abdullah.

Hidup di Gayo dengan berbagai rona kejamnya konflik Aceh yang panjang dan melelahkan, pernah dialaminya. Hingga berpakaian yang terbuat dari kulit kayu. Tiga jenis kayu yang diambil kulitnya untuk pakain itu adalah, Nanit, gele dan taroh. Kulit kayu ini ditumbuk hingga menyerupai benang yang kasar kemudian dibentuk menjadi pakaian demi melaksanakan dan menjaga syariat Islam puluhan tahun silam.

Ingatan H Abdullah masih tajam, meski sesekali menyeka air matanya yang keluar dan menyapunya dengan lengannya. Kacamata plus yang dikenakannya, terkadang diletakkannya dan diapakainya kembali saat bercerita.

Gecik Tue Mongal dikenal sebagai budayawan, seniman, ahli adat gayo dan menguasai sejarah yang dialami dan dilakoninya. Sejak jaman Pra kemerdekaan hingga saat ini. Sebagai ahli adat, Gecik Tue Mongal begitu memahami setiap makna kata yang bermakna filosofis dalam berbagai kosa kata bahasa gayo dan disimpan dalam bahasa saer, melengkan serta didong.

“Semua kata dalam saer, melengkan dan didong sesungguhnya memiliki ruh dan makna filosofis yang disampaikan dengan istilah. Tidak langsung. Sehingga memerlukan pemikiran dan perasaan untuk menerjemahkannya”, kata Gecik Tue Mongal.

Karena paham bahasa adat itulah, H Abdullah kemudian membuat lirik saer didong yang sarat makna dan popular. Jumlahnya sangat banyak, namun H Abdullah tak pernah menghitungnya. “Liriknya ada yang tertulis, banyakpula yang tidak”, kata Abdullah.

Sayangnya, banyak lirik karya H Abdullah yang kemudian dinyanyikan seniman gayo dari generasi kini yang kemudian mengklaim sebagai ciptaan mereka. Namun H Abdullah tidak pernah complain. H Abdullah hapal dan ingat setiap lirik yang dibuatnya meski telah berusia puluhan tahun.

Meski mampu mencipatakan puluhan lirik lagu. Namun Abdullah tidak bias melagukannya. Semua karyanya dilagukan orang lain. Dalam membuat lirik lagu atau saer gayo, H Abdullah juga menggunakan istilah filosofi dalam liriknya.

“Perlu perasaan dan hati untuk memahami dan menerjemahkannya. Tidak kasar dan langsung menohok”,jelas H Abdullah. Salah satu karya Gecik Tue Mongal adalah dibakarnya Mesjid Bebesen yang membuat Umat Islam marah kala itu karena diduga dilakukan oleh PKI.

“Dibakarnya Mesjid Bebesen membuat warga begitu membenci anggota Partai Komunis Indonesia yang saat itu sedang maraknya. Sehingga banyak terjadi pembunuhan pada anggota PKI di Takengon”, kenang H Abdullah.

Dalam berseni, lanjut H Abdullah, grup didong dahulu kala sangat tertib dan santun. Tidak kasar apalagi menjelek-jeleken grup lawan mainnya. ‘Di awal didong, biasanya ada yang disebut didong wajib. Semacam teka-teki yang ditujukan satu grup ke grup didong lawan mainnya. Teka-teki ini kemudian berbalas”,kata H Abdullah.

Seni menurut H Abdullah adalah bahasa jiwa yang dijalankan dengan penuh perasaan sehingga dipakai untuk dakwah.”Itulah yang hilang kini dari seni”, imbuh H Abdullah yang melihat pergeseran makna seni.

H Abdullah, selain menjadi Kepala Kampung di Tahun 1953, juga pernah bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Agama (Kandepag ) Aceh Tengah. Sebagai orang yang pernah hidup di negeri konflik Aceh, sepanjang sejarah negeri ini, H Abdullah mengaku pernah juga beberapa saat ikut gerakan DI/TII bersama Ilyeus Leube.

Namun H Abdullah kemudian mengabdikan hidupnya menjadi Pegawai dan Kepala Kampung. Menjawab tentang Tengku Ilyeus Leube yang pernah diketahui H Abdullah karena sedang dibuat biografinya oleh Salman Yoga, menurut H Abdullah, Tengku Ilyes Lebe adalah tokoh yang kharismatik, berwibawa dan memegang teguh nilai agama.

“Jika orang sudah mendengarkan Tengku Ilyes Leube berpidato, maka warga akan menurut apa yang dikatakan Ilyes Leube. Apalagi nama Ilyes Leube kala itu sangat popular di Dataran Tinggi Gayo. Karakter Ilyes Lebe berbeda dengan Tengku Saleh Adry yang lebih ekstrim”, ujar H Abdullah.

Salah satu bukti kharismatiknya Tengku Ilyes Leube, terang H Abdullah, suatu ketika, saat Israel menyerang Palestina, Tengku Ilyes Leube mengajak seluruh komponen masyarakat Aceh Tengah ikut berperang melawan zionis Israel.

Caranya, setiap warga , termasuk TNI di Takengon, menghunuskan pedang seolah ditujukan ke Israel sebagai bentuk simpati pada Palestina dan ikut memerangi Israel dari jauh. Penghunusan pedang seolah ditujukan kepada Israel ini, kata H Abdullah disebut dengan “Cang”. Meski kala itu Ilyes Leube tidak disukai TNI, namun untuk isu Palestina, Ilyes Leube berhasil mengajak TNI melawan Israel dari jauh dengan hunusan pedang, Cang.

Saat penjajahan Belanda, kenang H Abdullah, seorang warga Takengon,Khalidin Abu Bakar, mantan kepala SPG Takengon,pernah memperkarakan seorang serdadu Belanda karena berbuat kasar pada rakyat.

Khalidin Abu Bakar adalah seorang tokoh pendidikan yang pernah menjadi Penilik Sekolah di Sumatera Barat sehingga pahamakan hokum Belanda. Akibatnya, serdadu Belanda yang berbuat kasar tadi, harus menerima hukuman dari pengadilan Belanda di Takengon dengan melepaskan sepatunya dan berjalan didepan khalayak ramai tanpa sepatu.

“Ini sebuah penghinaan bagi Belanda kalau melepas sepatu”, sebut H Abdullah. Fakta lainnya tentang peran Gayo sejarah Indonesia, dikatakan Gecik Tue Mongal, di Takengon pernah dibuat mata uang Republic Indonesia di Pondok Tengah Bener Meriah.

“Uang ini berlaku di Takengon, Bener Meriah dan GayoLues, Kutacane dan sebagian Lukup Serbejadi. Kemudian mesin cetak uang ini dipindahkan ke Mesin milik H Aman Kuba di Reje Bukit”, papar H Abdullah.

H Abdullah ketika itu coba melihat pencetakan uang di mesin H Aman Kuba, namun diusir polisi yang mengawal pencetakan uang tersebut.

H Abdullah yang lebih dikenal dengan sapaan Gecik Tue Mongal. Lahir tahun 1930

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.