Oleh : Vera Hastuti, M.Pd*
Pagi ini, serasa tak sama seperti hari biasanya. Biasanya, hujan menyapa setiap paginya. Ah, tak salah dalam hatiku. Saat ini bulan Desember, memang saatnya musim penghujan. Tapi tidak untuk hari ini, matahari dengan malu-malu mulai menampakkan diri setelah hampir sebulan bersembunyi. Tapi bukan itu, hari ini terasa berbeda bagiku karena hari ini pembagian rapot putriku. Seminggu ini, putriku selalu tak sabar menantikan pembagian hasil belajarnya selama satu semester.
“Ayah, aku juara satu.” Aku tak mendengar dia ucapkan itu, tapi saat kulihat dia berlari-lari kecil sambil tersenyum dan membawa bungkusan kado ke arahku, Aku yakin, itu yang diucapkannya padaku. Walau dengan gerakan mulut dan tangannya, aku yakin kalimat itulah yang dimaksudkannya padaku. Sembari menunjukkan buku rapotnya padaku, dengan seksama aku memperhatikan satu persatu tulisan di kolom daftar nilai di kertas itu. Tak terasa, tetes air mata jatuh di ujung pelupuk mataku. Betapa tidak, kegigihan putri sulungku. Ia menghapal dan belajar setiap malam dan pagi menjelang shubuh, telah tergantikan dengan nilai-nilai bagus yang kini tertera rapi di buku rapot ini.
Pernah suatu hari, dengan tak sengaja aku mendapati anakku sedang berbicara dengan Ibunya. “Ibu, kenapa ayah bisu?” tampak istriku terkejut dengan pertanyaan putri sulungku. Tapi kulihat, dengan tenang istriku menjawabnya “Ehm, walau ayah Dian bisu. Kan ayah tetap sayang kepada kita.” Dengan senyum mungilnya, kulihat juga putriku mengangguk tanda setuju pada ibunya.
Sungguh, aku tak dapat mendengar apapun yang orang-orang sekitarku bicarakan. Aku juga tidak bisa dengan baik, mengeluarkan kata-kata dari pita suaraku. Ya, aku memang tuli dan bisu. Masih terang di ingatanku, ibuku meninggalkan kami saat tepat usiaku tiga tahun. Ibuku meninggal karena kehilangan banyak darah, saat melahirkan adikku. Naas saat itu, ibu dan adikku tak bisa diselamatkan. Aku yakin, tak ada yang ingin menjadi piatu di umur sepertiku.
Aku tak ingat saat itu, tapi kata bibi dan pak cikku sebenarnya aku tidaklah tuli dan bisu. Aku manusia normal yang dilahirkan ibuku saat itu. Aku bisa mendengar dan ujaranku pun terdengar dengan baik, karena ada sedikit kesalahanlah aku menjadi seperti ini. Ah, tapi itu kata mereka. Karena sungguh, aku tak pernah mengingat semua itu walau aku sendirilah yang mengalami hal itu.
Kata mereka, dua bulan semenjak kepergian ibuku. Ayahku menikah lagi, dengan seorang gadis yang telah berumur. Ya, sampai saat ini aku masih tetap mengganggapnya sebagai seorang ibu. Karena saat aku mengerti tentang dunia dan isinya, dialah yang kutahu sebagai ibuku. Kala itu, aku tak tau apa itu ibu tiri dan apa itu ibu kandung. Yang kulihat, ibuku inilah yang selalu mengurusku. Memasak nasi untukku dan abang-abangku. Walau terkadang, aku juga heran dengan sikap ibuku. Terkadang, tanpa tahu apa kesalahanku. Kata-kata kasar, cubitan, dan pukulan tak ayal kuterima.
Kudengar dari mereka, bahwa suatu sore yang naas itu. Aku dibawa oleh bibi-bibiku, adik dari almarhumah ibuku untuk mandi dan mencuci pakaian ke Danau Laut Tawar. Karena terlalu asyiknya mencuci, tanpa bibiku sadari tubuh kecilku telah terjatuh ke dalam danau saat mereka tengah sibuk membilas kain-kain kotor yang mereka bawa. Aku pingsan saat itu, banyak air yang telah masuk ke paru-paruku dan juga ke dalam telingaku. Pastilah karena takut, bibiku tak mengatakan kejadian itu pada ayahku.
Sebulan setelah kejadian itu, dengan sedikit introgasi ayahku. Akhirnya bibiku, dengan berat mengakui kesalahan mereka. Sepertinya ayahku menaruh curiga, saat melihat batukku yang tak henti dan juga kupingku yang tak henti mengeluarkan air yang becampur nanah. Aku yakin ayah sangat mengkhawatirkan keadaanku, panas tubuhku begitu tinggi dan tubuh kecilku membiru. Akhirnya, karena di kota kami saat itu belum ada dokter spesialis telinga hidung tenggorokan. Urung ayahku harus bersabar, membawaku berobat teringat sang istri akan bisa marah besar jika tahu akan banyak biaya yang keluar untuk keperluanku.
Sepertinya dengan sembunyi-sembunyi. Ayahku Sedikit demi sedikit mengumpulkan uang, demi bisa membawaku berobat ke ibu kota provinsi. Aku tak bisa menyalahkan ayahku kala itu, gajinya sebagai guru di sekolah dasar tak cukup menghidupi kami sekeluarga. Sehingga dengan bekerja menjadi buruh, setelah pulang sekolahpun di kerjakannya demiku.
Sangat jelas kulihat saat itu, ayah menangis sesaat setelah ayah berbicara dengan dokter. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Dokter memvonisku tuli dan bisu seumur hidup, Banyaknya air yang masuk ke telingaku, membuat gendang telingaku pecah. Gendang telingaku pecah secara bersamaan pula, aku pun menjadi bisu karena pembuluh telingaku yang pecah juga mempengaruhi pita suaraku. Ah, andai saja aku lebih cepat ditangani oleh dokter. Musibah ini tak akan menimpaku. Akhirnya, untuk bisa berkomunikasi dengan orang lain ayahku menyekolahkanku di sekolah dasar luar biasa. Berkat menimba ilmu di sekolah itu, akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan orang banyak. Juga dari gerakan mulut mereka, aku bisa pahami apa yang mereka bicarakan.
Tuhan Maha Adil. Walaupun aku bisu dan tuli, tapi masih ada seorang gadis cantik yang sudi menikah denganku. Seorang wanita tegar yang tak pernah memudar cintanya padaku, walau banyak orang yang mencibirnya menikah dengan orang bisu dan tuli sepertiku. Seorang ine yang dengan sabar menjawab pertanyaan – pertanyaan kedua putriku dengan bijaksana. Dengan ikhlas, istriku selalu membelaku ketika terkadang anak-anakku menangis tersedu-sedu saat pulang sekolah karena teman-temannya mengejek punya ayah bisu dan tuli sepertiku.
Sungguh, aku tak pernah menyesali semua ini. Mempunyai seorang istri dan dua orang putri yang cantik merupakan anugerah terindah yang kumiliki. Tak pernah surut semangatku, untuk mencari nafkah demi keluargaku. Dengan keahlianku menjahit, kubuat model-model baju terbaru yang lagi diminati ibu-ibu dan remaja putri. Tuli dan bisu, tidak pula membuatku gagap teknologi. Dengan perkembangan ilmu teknologi yang ada saat ini, aku pelajari semua model trend baju yang tengah diminati saat ini. Kutiru dan kumodifikasi, sehingga menjadi karya yang banyak diminati. Aku ingin menunjukkan kepada orang-orang, bahwa cacat tubuh tak akan menghambat seseorang untuk berprestasi dan berkreasi.
Kini, kedua putriku telah beranjak dewasa. Perlahan tapi pasti, telah kupersiapkan tabunganku demi pendidikan mereka nanti. Aku ingin melihat mereka tumbuh dengan baik, tak ingin hal yang sama sepertiku dulu terulang pada mereka. Aku ingin melihat mereka menjadi sarjana dan sukses. Sebenarnya, jauh di hati yang terdalam. Aku juga ingin menjadi wali mereka saat menikah nanti. Aku ingin, akulah yang berjabat tangan dengan menantuku nantinya untuk menyerahkan semua tanggung jawab menjaga putriku padanya. Tapi, sekali lagi aku tak akan menyesali semua itu. Karena masih ada abangku yang akan mengaantikan aku. Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin mengahabiskan hari tuaku nantinya dengan terus berkarya dan bersyukur. Karena selalu kutanamkan dalam hati. Hidup ini terlalu indah untuk disesali dan ditangisi.
—
Vera Hastuti, M.Pd. Guru SMA N 4 Takengon.
keren kk yha,,, semoga kita bisa se tegar ayah ank tu kk, semoga kita jd orang yang bersyukur…. dan gk mencela kekurangan orang, dan menjadi lebih baik.