DPRA Memang “Klo Prip”

Ghazali Abbas Adan
Ghazali Abbas Adan

Oleh: Ghazali Abbas Adan*

UNGKAPAN ini ada dan hidup dalam dialektika sosial kemasyarakatan di Aceh. Ia merupakan “laqab” bagi siapa saja dalam sikap perilakunya yang menunjukkan keras kepala, mau benar dan menang sendiri. Dalam upaya memenuhi hawa nafsunya tidak tahu malu, dan tidak pedili aturan. Baik aturan agama maupun aturan negara serta adat istiadat yang ada dalam masyarakat. Dalam istilah bahasa Aceh lainnya, klo prip dapat juga dikatakan kreuh ulee, tungang, hana jideunge tut, ulok-ulok dan sebagainya.

Melihat sikap dan perilaku DPRA akhir-akhir ini, khususnya berkaitan dengan produks akal-akalan Qanun Wali Nanggroe dan anggaran operasional “Wali Nanggroe”  yang amat sangat fantastis dalam APBA, kendati mendapat kritik dan penolakan massif dari berbagai elememen masyarakat, namun mereka tetap “istiqamah” dengan sikapnya. Dengan fakta ini klop sudah apabila saya sebut DPRA klo prip.

Betapa berbagai kalangan secara transparan, tegas, dengan ragam istilah dan landasan mengkritisi bahkan dengan tegas ada yang memolak QWN. Terakhir menolak anggaran operasional “Wali Nanggroe” karena tidak ada dasar hukumnya. Dengan kata lain QWN masih illegal dan ia merupakan lembaga liar di Aceh.

Kalau penolakannya berdasarkan landasan sosiologis, mungkin masih ada alasan untuk tidak mendengarnya. Tetapi ia berdasarkan konstitusi nagara, namun tetap saja apit-apit awe menolaknya. Inilah yang saya sebut klo prip.

Dalam berita media massa (Sabtu, 26/02/2013), oleh beberapa praktisi hukum dan elemen civil sosiety berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku di NKRI, dengan redaksi yang jelas dan tegas menguraikan tentang eksistensi QWN dan fungsi Wali Nanggroe, tatapi pada saat dan peluang  yang sama, dalam upaya mewujudkan syahwat kekuasaan dan bagi-bagi uang dapat juga dibaca pernyataan klo prip dari yang mengatasnamakan DPRA.

Di sisi lain, apabila apa yang disebut “Wali Nanggroe” sebagai sosok yang bergezah, mulia dan terhormat, mememiliki rasa malu, harga diri, cerdas, memahami dan taat asas, sejatinya tidak ikut-ikutan klo prip yang berakibat pada kinerjanya kelak, yakni Wali Nanggroe yang dikatakan untuk rakyat di seluruh Aceh tetapi yang laku hanya di kawasan tertentu dan kalangan segelitir rakyat saja, sementara rakyat dan kawasan yang lain tidak dapat menerima, menghargainya dan menghormatinya.

Juga semestinya harus malu apabila di tengah-tengah banyak rakyat yang masih hidup dalam kepapaan, dan uang Rp 1 juta/kk/bulan yang dijanjikan belum diterima, sementara Wali Nanggroe mendapat dana operasional Rp 40 miliar atau Rp 40 ribu juta setahun dan tinggal di Gedung menyerupai White House rumah tinggal Presiden Barack Obama di Washington DC AS. Padahal menurut konstitusi Wali Nanggroe di Aceh hanyalah lembaga adat dan bertugas hanya di seputar paradatan.

Di sisi lain lagi, sudah mafhum belaka, betapa eksistensi lembaga parlemen itu berdasarkan konstitusi dan fungsinyapun harus di jalankan sesuai konstitusi. Namun dalam kaitannya dengan QWN sudah mengabaikan rambu-rambu konstitusi. Terhadap hal ini, saya bisa memahami apabila yang mengabaikan konstitusi dan klo prip itu sosok atau kelompok aji mumpung, kuet pade reudouk, pengumbar hawa nafsu dan berpendidikan minimalis. Tetapi yang nota benenya penyandang macam-macam titel yang membungkus namanya serta segudang pengalaman, juga ikut terseret membangkang kontitusi dan menjadi klo prip.

Akankah lebih kurang setahun lagi masa bakti 2009-2014, paduka yang mulia, almukarramun walmuhtaramun DPRA bekerja profesional atau tetap klo prip sebagaimana dipertontonkan dalam kasus QWN dan APBA 4013 misalnya. Kita tunggu saja, dan mengatakan wallahu’alam. (ghazali.adan@gmail.com)

*Mantan Anggota DPR-RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments