ADA yang menyebutnya emas merah, ada yang menamainya serbuk hitam, sebagian menganggapnya sebagai vitamin di pagi hari, dan ada yang sampai memberinya gelar black wine. Dialah, kopi. Minuman berkafein yang selalu memiliki stock tenaga untuk “menghipnotis” peminumnya.
Aku tidak terlalu paham mengenai seluk beluk kopi. Namun aku ingin bercerita tentang persahabatanku dengannya, bercerita tentang kopi melalui sudut pandangku dan sudut pandang orang lain yang sempat kurekam dalam ingatan. Ia yang kukenal sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, namun baru rajin kuteguk 3 tahun belakangan ini.
Tahun pertama aku berkenalan dengannya melalui kemasan sachet, dengan berbagai merk, tergantung yang disediakan oleh warung kopinya. Saat itu di Takengen belum ada warung kopi yang memiliki mesin espresso, berhubung aku belum terbiasa minum kopi hitam, maka kopi sachet adalah pilihan yang tepat. Adalah Ayu, yang mengenalkanku pada minuman hitam itu. Jantungku berdebar lebih kencang dan kepalaku pusing hingga beberapa jam tiap meneguknya, kendati hanya berupa kemasan sachet, tak ayal Ayu kerap menertawaiku. “Nanti lama-lama juga terbiasa,” ujarnya kala itu seraya menyeruput kopi hitamnya.
Tahun kedua, aku mulai malang-melintang di Kutaradja. Edi temanku, mengenalkanku pada sanger. Sanger adalah kopi bercampur susu kental berwarna putih pengganti gula, khas Aceh. Namun tidak setiap kota memiliki sanger di menu warung kopinya. Aku menjadi terbiasa meneguk minuman kafein tersebut, sesekali masih kurasakan jantung yang berdetak lebih kencang dan sakit kepala saat menyesapnya, aku memilih mengabaikannya. Saat itu aku mulai bisa membandingkan sanger di warung kopi mana yang takaran susu dan kopinya sesuai dengan lidahku.
Tahun ketiga, warung kopi yang memiliki mesin espresso mulai bermunculan. Bukan hanya di Banda Aceh, namun juga di Takengon dan Bener Meriah. Aku bersama Dhani mencoba “berkelana” dari warung kopi satu ke warung kopi lainnya, tak lupa menyambangi festival kopi. Jangan salah, namanya memang Dhani, namun ia adalah seorang gadis pecinta kopi tulen. Ia selalu minum espresso bahkan double espresso tanpa gula.
Bukan sekali-dua kali waitress atau baristanya mengulang pesanan Dhani dengan tatapan tak percaya. Aku hanya tertawa sambil meyakinkan mereka bahwa Dhani memang terbiasa minum espresso, bukan karena melihat harganya lebih murah dari yang lainnya. Kami semakin sering ngopi berdua, Dhani dengan kopi hitamnya, sedangkan aku kopi yang bercampur susu. Darinya aku banyak mengetahui tentang kopi, ia juga yang mengenalkan kepadaku barista di salah satu cafe yang berada di Banda Aceh.
Dua barista di cafe itu masih muda, bernama Muklis dan Cici, tampan dan semakin bertambah tampan saat mereka menyeduh kopi pesanan pengunjung. Apalagi Muklis pernah menggambar wajah laki-laki tersenyum dan bentuk love di cangkirku, membuatku tersipu, padahal bisa saja ia juga menggambar hal yang sama untuk pengunjung lainnya. Kami sering bertukar cerita di sela-sela menyesap kafein buatannya, tentang apa saja.
Dari mereka aku tahu bagaimana cara meminum cappuccino yang benar, yaitu tidak mengaduk isi cangkir seluruhnya, apalagi sampai merusak gambar yang berada di foamnya. Mencampur kopi-susu-foam akan mempengaruhi cita rasa cappuccino. “seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip,” (Dee-Filosofi Kopi). Aku selalu bersemangat ketika mendengar seorang barista menjelaskan kopi racikannya.
Cici menceritakan kesedihan mereka, ketika melihat pengunjung yang memesan cappuccino hanya untuk dipamerkan di jejaring sosial. Kemudian cappuccino tersebut akan diaduk tanpa ampun, tanpa memikirkan bahwa menggambar di kopi itu bukan perkara sepele, barista perlu belajar untuk itu. Apalagi jika ternyata pengunjung tidak menyukai kopi, setelah memoto, minum sedikit, kemudian pulang tanpa rasa bersalah. Dua barista muda itu hanya dapat menarik napas lebih dalam, menelan kecewa.
Berbicara soal barista, aku dan Dhani memiliki barista favorite yang sama, kopi buatannya sejauh ini masih yang paling dirindukan, dialah Win Ruhdi Bathin. Cappuccino buatannya menurutku selalu stabil, tidak terlalu pahit juga tidak terlalu manis. Kami bahkan pernah bercanda untuk menggandakan dirinya, agar saat nongkrong di warung kopi, kami sudah memiliki modal seorang barista. Win hanya tertawa mendengar ide konyol tersebut. Dari sosok yang satu ini, tak terhitung berapa banyak hal yang kupelajari. Wajar saja, ia dulunya adalah seorang wartawan. Ah, aku jadi teringat cappuccino buatannya.
Walau Aceh terkenal dengan budaya nongkrong di warung kopi, namun masih jarang menemukan wanita muda datang ke warung kopi hanya untuk sekedar menikmati secangkir kopi. Kebanyakan untuk berselancar di dunia maya karena hampir setiap warung kopi di Banda Aceh dilengkapi wifi sambil bertemu dengan rekan sebaya. Maka tak jarang banyak barista yang merasa heran dengan kedatanganku dan Dhani. Yang datang memang khusus untuk meminum kopi, kebiasaan kami lainnya adalah memilih duduk di bar/meja besar yang berada di dekat mesin espresso, agar mudah berinteraksi dengan baristanya. Namun tidak semua barista bersedia diajak bertukar cerita.
Selain mesin espresso, kemajuan lain yang kurasakan terkait dengan kopi adalah mesin roasting. Roasting adalah sebutan untuk menyangrai/menggongseng biji kopi dengan menggunakan mesin. Dengan mesin ini menyangrai kopi akan terasa lebih mudah, lebih cepat, dan tentunya cita rasa yang dihasilkan akan lebih bagus, karena tingkat kematangan biji kopinya sama. Keahlian yang diperlukan adalah mengetahui bagaimana mengatur waktu, suhu dan takaran, maka voila bubuk kopi siap dihidangkan, atau dibungkus untuk dikomersialkan. Dan tentu saja kesemua proses itu tanpa disertai asap.
Ibuku masih suka menyangrai kopi sendiri, kematangannya tidak sama, ada yang gosong, ada yang cokelat tua atau cokelat muda. Namun hal ini cukup untuk mengurangi pengeluaran belanja rumah tangga. Maka bersiaplah untuk asap yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut. Asapnya benar-benar memenuhi ruangan, karena ibuku menyangrai di dapur. Rasanya pekat dan asam. Namun aku selalu menikmati proses ini, hal yang lumrah ditemukan hampir disetiap rumah di daerah Gayo.
Aku jadi berpikir tentang, ternyata tidak cukup hanya dengan mengandalkan sebuah kesederhanaan dan kemurnian yang dimiliki kopi Gayo itu. Harus disertai dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, tanpa itu kopi Gayo akan seperti ini saja, pihak lain yang akan “memegang” kualitasnya. Dan aku sangat bersyukur saat ini semakin banyak pemuda Gayo yang mengerti dan memahami kualitas cita rasa kopi yang bagus melalui kegiatan seperti test cupper.
Kopi itu kompleks, demi mendapatkan rasa yang pas maka ia harus diperlakukan bak raja. Dari awal penyemaiannya, penanamannya, penyortirannya, penjemurannya, peroastingannya, hingga saat ia telah menjadi bubuk kopi pun, masih saja ada yang harus diperhatikan. “Rasa pahit, asam, dan tajam adalah karakteristik kuat yang kerap diasosiasikan dengan kopi. dan kopi yang memiliki rentang hidup panjang hingga dapat bertahan di gudang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun adalah biji kopi hijau yang tidak diproses,” (Chicken Soup For The Coffee Lover’s Soul).
Selain cara pengolahannya, aku juga berpikir tentang wisata kopi. Skripsiku dulu membahas tentang agrowisata di Takengon, dan salah satu bahasannya mengenai coffee walk. Jadi wisatawan berinteraksi langsung dengan para petani kopi dan mengetahui bagaimana proses pengolahan kopi mulai dari awal penanaman hingga menjadi bubuk kopi. Dosen pembimbingku pesimis akan hal ini, ia bahkan tidak percaya kopi Gayo itu merupakan kopi ternikmat. Aku bukannya tidak mau membuktikannya, masalahnya dosenku itu bukan peminum kopi. Belakangan ini menurut sepengetahuanku, 1-2 pengusaha sudah mulai tertarik untuk mengembangkan ide wisata kopi, aku berharap ini bersifat jangka panjang dan pro akan kesejahteraan masyarakat.
Secara random, aku melemparkan pertanyaan ke beberapa teman-temanku yang menyukai kopi. “Apa yang terlintas di benakmu ketika seseorang menyebut kata kopi?” tanyaku. “kenikmatannya” jawab Rini. “Si hitam yang manis” ujar Edi. “Aromanya yang khas memberi beribu makna dalam bingkai inspirasi, mulai dari petani miskin hingga nama yang mendunia,” cecar Aman Zaiza. “Dengan meminumnya membuat suasana lebih rileks” sambar Fathi.
“Kopi itu berarti kebersamaan” tutur Iwan. “Ibaratnya pada bibir cangkir ia terbitkan keakraban” sambut Zuliana. “Mengopi merupakan cara sederhana untuk memulai pertemanan, perbincangan, berpikir dan memulai melakukan hal-hal yang hebat dalam hidup” tambah Dhani. “Kopi membuat kita tegas, serius, dan filosofis” (Jonathan Swift-Chicken Soup For The Coffee Lover’s Soul).
Kendati aku bukan pecandu kopi, membayangkan kepulan uap yang meruap dari secangkir kopi membuat hariku lebih bersemangat. Apalagi saat dipadu dengan rentetan cerita yang menarik, semakin melengkapi kenikmatan kopi tersebut. Aku jadi teringat quote dari sebuah kumpulan cerpen dan prosa karya Dee (Dewi Lestari) yang mengatakan bahwa “kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu, sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.”(Ria Devitariska)