Oleh: Ghazali Abbas Adan*
KENISCAYAAN tegak dan berlakunya syari’at Islam di Aceh yang utama dan pertama adalah doktrin/ketentuan aqidah Islamiyah dan juga berdasarkan konstitusi Negara Indonesia sebagaimana dalam UU No 11 Tentang Pemerintahan Aceh, dan Qanun Jinayah serta Acara Jinayah adalah fondasinya. Degan kata lain, sesungguhnya terhadap qanun tersebut tidak ada khilafiyah bahwa ia merupakan doktrin aqidah dan amanah konstitusi negara untuk diwujudkan dan ia merupakan fondasi bagi penegakan dan pemberlakukan syari’at Islam di Aceh. Betapa terhadap hal ini kaum muslimin Aceh bertalu-talu dan terus menerus selama ini melalui ormas-ormas Islam dengan tegas dan transparan menuntut kepada Pemerintah Aceh secepatnya melahirkan kedua fondasi itu.
Apabila rezim yang berkuasa saat ini komit dengan doktrin aqidah Islamiyah dan konstitusi negara serta kehendak kaum muslimin Aceh tidak ada alasan untuk tidak malahirkan qanun tersebut. Tetapi faktanya sebagaimana diberitakan media massa (20/02/2013) terkesan Gubernur masih menunjukkan keberatan mewujudkannya, dengan alasan yang dicari-cari dan mengambang. Seperti dikatakan Qanun itu ingin dibuat secara komprehensif dan Gubernur akan memanggil semua ulama untuk membahas masalah itu. Persoalan qanun ini tidak boleh diputuskan secara tergopoh-gopoh.
Terus terang saya geli terhadap alasan Gubernur ini. Apanya yang harus komprehensif, karena berkaitan dengan jinayah sebagai bagian dari hudud dalam syariat Islam sudah jelas nash-nash qath-‘i-nya. Sementara tentang Acara Jinayah ikuti saja prosedur yang lazim dilakukan ketika menyusun hukum acara, hanya substansinya disesuaikan dengan nash-nash qath-‘i tentang jinayah itu.
Untuk hal ini, saya yakin bukanlah hal yang musykil bagi pakar hukum Islam di Aceh, baik dari kampus Darussalam maupun dayah-dayah terkemuka di Aceh untuk menyusunnya. Ulama kampus dan dayah sudah ada, dengan demikian apanya yang tergopoh-gopoh.
Apapun cerita dan dalihnya, yang jelas Gubernur dan rezimnya tidak memiliki keinginan mewujudkan doktrin aqidah Islamiyah dan amanah konstitusi negara berkenaan penegakan dan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah diAceh. Boleh jadi penampakan sikap seperti ini karena dia memahami dan melihat Islam berdasarkan kaca mata sekularisme dan Uni Eropa, yakni Islam sebatas ajaran spiritual dan ritual belaka. Tidak ada apa yang disebut Islam kaffah, yakni menyangkut dengan sistem dalam berbagai aspek kehidupan.
Kalau benar hipotesa saya ini, maka Zikir dan rezimnya salah mengambil tempat sebagai penguasa di Aceh, karena sebagaimana kerap kita dengar ungkapan bahwa tanah Aceh ini warisan para syuhada. Bahkan Allahu yarhamuh Teungku Hasan Tiro sendiri dalam salah satu episode pidato yang saya dengar melalui Youtube berdurasi 28 menit 40 detik di bawah tajuk “Deunge Peue Nyang Neupeugah Le Wn Dan Bek Djak Ngui-Ngui Nan Wali Keu Alat Ngen Mita Asoe Pruet Dan Meukeusud-Meukeusud Djeuheut Laen”, antara lain menyatakah; “…Geutanyoe Aceh bansa Islam, geutanyoe jihad fi sabilillah, peudong hukum Islam, peudong nanggroe Islam, lawan kezaliman. Peudong nanggroe Islam, nanggroe merdeka, meunye mate, mate syahid. Kewajiban geutanyoe Islam, li yuhiqqal haqqa wa yubthilal baathila…(kita bangsa Aceh adalah bangsa Islam, kita berjihad fi sabilillah, menegakkan hukum Islam, melawan kezaliman. Mendirikan negara Islam, negara nerdeka, kalau mati, mati syahid. Kewajiban kita orang Islam membenarkan yang benar (al-haq) dan mengatakan yang batil itu batil)”. Sejatinya Gubernur dan rezimnya mendengar dan merenung kembali pidato Allahu yarhamuh Teungku Hasan Tiro ini.
Apabila Gebernur Aceh dan rezimnya saat ini tidak bersedia menegakkan hukum/syari’at Islam secara kaffah di Aceh, maka harus saya katakan dengan tegas, sesungguhnya mereka telah menunjukkan pembangkangan terhadap doktrin aqidah Islamiyah, konstitusi negera serta berkhiatan kepada dasar perjuangan yang digariskan Allahu yarhamuh Teungku Hasan Tiro, sekaligus pengingkaran dan pengkhianatan terhadap 21 janji yang diumbar dalam kampanye mereka dalam upaya mendapat kekuasaan melalui pilkda tahun lalu. Karena menurut saya, memenuhi janji itu adalah doktrin syari’at Islam, dan 21 butir janji itu juga bagian dari syari’at Islam.
Dalam upaya penegakan dan pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah di Aceh saya memberi apresiasi dan mendukung pernyataan dan sikap ormas Islam yang akan tetap mengawal sampai Qanun Jinayah dan Acara Jinayah atau atas nama lain disahkan diterapkan di Aceh. Namun usul saya pengawalan dimaksud harus dengan cerdas, santun dan beradab sebagaimana ajaran doktrin ajaran Islam itu sendiri, terus menerus dilakukan, dan dalam waktu yang bersamaan meminta kepada Gubernur dan rezimnya menentukan kepastian limit waktu pembahasan dan pengesahaannya. Dengan mengambil contoh, Qanun Wali Nanggroe yang tidak diminta oleh rakyat, bahkan sampai saat ini masih terus mendapat kritikan, bahkan penolakan massif, degan dalih amanah konstitusi lam siklep siklab sudah disahkan. Dan sejatinya Qanun Jinayah dan Acara Jinayah yang juga amanah kontitusi, dan lebih utama dan pertama doktrin aqidah Islamiyah yang bertalu-talu, terus menerus dan tegas dituntut oleh rakyat tidak boleh ada lagi alasan untuk tidak membahas dan mensahkannya.
Saya ingatkan pula kepada penguasa, jangan sampai ada kaum muslimin Aceh mengambil kesimpulan dan mengatakan bahwa rezim Zikir pengganjal tegaknya syari’at Islam di Aceh. Karena itu tentukan sikap dan limit waktu dalam rangka perwujudan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah di Aceh.
Kepada lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) semua tingkatan di seluruh Aceh juga dengan segala hormat dan ta’zhim saya ingatkan tentang eksistensi dan fungsinya sesuai UUPA, bahwa MPU bukanlah subordinasi rezim penguasa, tetapi mitra sejajar. Dengan dasar konstitusi ini, berkaitan dengan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah yang kian mengambang, meupuai-puai, bahkan sebagaimana diberitakan media massa tersebut, Gunernur terkesan menunjukkan keberatannya menentukan sikap yang jelas dan limit waktu pembahasan dan pengesahan qanun apa yang menjadi kehendak dan tuntutan kaum muslimin Aceh selama ini, kiranya alamukarramun walmuhtaramun berkenan bangun, dengan berani, tegas dah transparan menunjukkan suara dah sikap. Jangan biarkan ormas-ormas Islam wa akhawatuhum saja menunjukkan demikian. Apakah saat ini dan ke depan almukarramun walmuhtaramun mendukung sikap Gubernur dan rezimnya atau ormas Islam wa akhawatuhum tersebut. (ghazali.adan@gmail.com)
*Mantan Anggota DPR-RI
alahai…tengku…
Awak nyan cit kaplat…
Lage hana meuphom akai awak nyan,
Nyoe seugalom duek janji mameh mekeutam…tapi jinoe…mameh meubisa….
Soal syariat Islam kabereh…jeut dipeudong…tapi sang rakyat tanyoe gohlom siap…Aceh tanyoe nyoe ibarat Boh nyang meusalop lagak kon le, tapi broek didalam jih…
( Aceh ini ibarat buah yang dibungkuh indah sekali, tapi busuk dalamnya…)
alahai…tengku…
Awak nyan cit kaplat…
Lage hana meuphom akai jih,
Nyoe seugalom duek janji mameh mekeutam…tapi jinoe…mameh meubisa….
Soal syariat Islam kabereh…jeut dipeudong…tapi sang rakyat tanyoe gohlom siap…Aceh tanyoe nyoe ibarat Boh nyang meusalop lagak kon le, tapi broek didalam jih…
( Aceh ini ibarat buah yang dibungkuh indah sekali, tapi busuk dalamnya…)