Demi Seni, Batalkan Egoisme Kekuasaan

Catatan lama Jauhari Samalanga

Kini suara merdu telah surut
Tak terpakai dalam ramai
Mengharap pun sudah takut
Muka berkerut kanan kiri
O, nasipmu seni

Usah lagi kau menangis
Tak lama lagi akan dibenahi
Karena pelita tengat beringsut
Kecuali berdiam diri, entahlah

Teranglah cahaya kunang-kunang
Mengikut jejak dilem-renggali
Jangan sangga rumah yang doyong
Karena pengikatnya teramat rapuh

Kata terakhir
Maafkan peri terlanjur
Semoga jadi perhatian
Nyanyian seniman
O, dunia seni

            ……

JoeBeberapa bait syair didong Kabinet Mude berjudul “Nasip Ni Seni” diatas mengeluhkan keresahan seniman tradisi yang terabaikan. Syair itu sangat populer di Gayo lantaran gambaran nasip seniman tersembul secara keseluruhan, dimana seniman tidak lagi dianggap penting, kecuali untuk kepentingan penguasa semata.

Syairnya sudah lama diciptakan, namun masih juga terasa baru. Ini  bisa pertanda ‘pemerintah’ sejak lama tidak serius pada seni, dibiarkan dan terus menerus dimanfaatkan untuk kepentingan yang tak berujung. Aceh sebagai daerah yang dikenal loyal pada seni, mudah diperlakukan sesuka hati penguasa, atau bahkan tak jarang seni itu oleh penguasa dijadikan ‘pelacur’ untuk mengangkat martabat atau menyanjung seorang tokoh yang secara alamiah tidak layak disanjung, apalagi berlebihan.

Pekan kebudayaan Aceh yang sudah dilaksanakan sebanyak empat kali, juga bukan ditujukan untuk mengangkat martabat seni. Hajatan itu cuma diperuntukan bagi kepentingan yang tidak mendasar, seperti mengangkat martabat seniman Aceh. Semisal, dalam pelaksanaan PKA ke-4 yang berlangsung sejak 19 hingga 29 Agustus 2004 lalu, hampir tidak didapat seniman yang memperoleh apresiasi dari pemerintah daerah yang sudah dibantu menjalankan program-programnya.

PKA ke-4 ini terkesan politis, karena pelaksanaannya yang tidak tepat, dimana terkait soal pemilihan kepemimpinan nasional dan pemimpin Aceh yang masih bermasalah. Beberapa poinnya ini memang cukup mengejutkan kita semua, dimana sejak pembukaan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, acaranya pun terkesan mendadak dan banyak ditemui muatan ‘angkat telor’, seperti pelaksanaan yang diundur sampai 10 hari. Bagaimana mungkin acara yang dianggap besar dengan melibatkan ribuan massa bisa mundur hingga 10 hari. Kesan ini tampak kepentingan mempertahankan kekuasaan lebih berperan di dalamnya, ketimbang mengurusi ribuan seniman yang sudah siap dengan beragam kemampuannya.

Memang, banyak hal aneh terjadi selama pelaksanaan PKA-4 ini, dan itu bukanlah hal yang mengejutkan. Pemberian anugerah Meukuta Alam kepada seniman-seniman ternama (kamis, 26/8), juga tidak mengejutkan. Sebelumnya sudah bisa ditebak, anugerah itu akan menjadi milik seniman yang dekat dengan kekuasaan. Hj. Marlinda Irwanti Poenomo Abdullah Puteh misalnya, merupakan sosok yang  berhasil mendapati anugerah tertinggi itu, dan sejak mengantongi pengakuan anugerah tersebut, maka istri Gubernur NAD ini menjadi tokoh yang sudah sejajar dengan seniman nasional lainnya seperti WS Rendra, Eros Djarot, dan  Christine Hakim, Marlinda mengalahkan putra Aceh asli Rafly, (Alm) Hasjim KS, (alm) To’et, Syech Lah Bangguna, Daman (penulis lagu Aman asal Gayo), dan tokoh-tokoh seniman tradisi yang sudah teruji dimata dunia.

Kalau ‘boleh’ jujur, angerah itu tidak sepantasnya diberikan kepada seniman yang tidak mempunyai konstribusi berarti kepada seni Aceh, termasuk WS Rendra, lantaran masih banyak seniman lokal yang lebih berhak menerimanya. Kalau dikatakan banyak seniman lokal belum layak, itu tak beralasan kendati mereka berkarya tidak sebebas yang dilakukan seniman di daerah lainnya, namun harus dicatat, walau terkikis, seniman Aceh pernah dapat bernafas lega berada pada kehidupan yang normal, aman, dan bebas. Setidaknya itu dirasakannya sebelum Daerah Operasi Militer Berlangsung di Aceh.

Kalaulah Christine Hakim dan Eros Djarot mendapat anugerah Budaya Tajul Alam, Penghargaan dibawah setingkat Meukuta Alam, itu masih diterima akal karena kedua tokoh ini turut menyuburkan sejarah perang Aceh lewat film ‘Cut Nyak Dien’, berbeda dengan WS Rendra yang sebenarnya lebih layak mendapat anugerah seni di tingkat nasional, bukan Aceh dengan lokalitasnya. Perlu juga dipertanyakan, bagaimana dengan Garin Nugroho yang sudah berjasa memfilmkan sejarah meletusnya DII/TII di Aceh, dengan mengangkat seniman asal Gayo Ibrahim Kadir dalam film Puisi Tak Terkuburkan. Garin juga sukses mendokumentasikan kehidupan seniman Didong di Gayo dalam ‘Anak Seribu Pulau’, yang salah satu tokohnya Ceh Kucak, Kabri Wali.

Masih bertumpuk pertanyaan seputar pemberian anugerah budaya yang di gagas Gubernur NAD Ir. Abdullah Puteh itu. Terutama menyangkut penghargaan tertinggi Meukuta Alam yang dianugerahkan kepada Istri Gubernur Marlinda Irwanti Poernomo tadi. Dibilang tercengang, maka layaklah masyarakat seni di Aceh tercengang lantaran entah dari sudut pandang mana yang menyebabkan Marlinda diberi anugerah itu. Kalau kita mau jujur, pertama kali yang harus dipertanyakan adalah, dari sisi mana ‘juri’ menilai kelayakan itu. Kalaulah cuma sebatas Marlinda mencetus beberapa ide soal kebudayaan, itu merupakan persoalan biasa, lantaran semua manusia seni memiliki gagasan.

Padahal, untuk memperoleh penghargaan yang pertama sekali harus dikaji adalah pengaruh dan konstribusi seseorang dalam perkembangan kebudayaan, dan itu biasanya bukan dalam tempo yang singkat. Misalnya, Teungku Adnan PMTOH, seniman mono ini terbilang tokoh yang berhasil membawa pengaruh dalam pembacaan sajak, bersama seniman To’et dia memberi warna khas pembacaan sajak Indonesia. Pengaruh itu bergulir bukan dalam tempo yang singkat, tetapi dalam jangka waktu yang panjang.

Disamping itu, penyematan Anugerah Kebudayaan Meukuta Alam juga perlu dilihat dari sisi intelektual, semangat, dan perjuangannya yang berhasil mempengaruhi pola, atau pembaharu dalam satu bidang. Kalau itu sudah berhasil dicapai maka wajar anugerah itu diberikan kepadanya sebagai bagian dari sejarah suatu daerah. Kalau kita lihat pada gerakan Marlinda dalam hal kesenian Aceh masih terbilang kerdil, apalagi penyebaran pengaruh yang diberikannya. Dalam catatan penulis tidak ada gerakan kesenian yang dilakukannya sampai mendapat pengakuan masyarakat, kecuali barangkali, billbord iklan ‘Keluarga Sakinah’ yang terpampang di Simpang Lima Banda Aceh dimana Linda Poernomo menjadi modelnya. Ini pula yang membedakan Aceh dengan daerah lainnya di Indonesia.

Ketua Bidang Anugerah Budaya Pekan kebudayaan Aceh ke-4 Drs H Sanusi Maha seperti yang dikutip Serambi menyebutkan, nama-nama yang mendapat anugerah budaya adalah tokoh-tokoh yang memiliki reputasi dan prestasi dalam bidang seni dan kebudayaan, misalnya arsitek, perupa, sastrawan, pembuat alat mual musik, pengumpul benda budaya, penganjur dan penggagas bidang tertentu dalam budaya, penulis essai budaya, dan lain-lain.

Dia juga menyebutkan alasan kalau nama-nama orang yang memeperoleh itu baru layak diumumkan pada saat penyematan, lantaran diperlukan kejutan untuk itu. Padahal, seharusnya itulah terlebih dahulu perlu diekspose lantaran masayarakat berhak tau siapa-siapa yang akan tampil menjadi pahlawan baru dalam sejarah seni dan kebudayaan Aceh. Padahal, alasan penyematan itu cukup punya alasan, kalau nama-nama penerima merupakan pilihan rakyat, kendati diketahui kalau dibelakang itu Gubernur sudah menunjukan dewan juri yang akan menilainya.

Dewan Juri atau tim penilai memang sudah memenuhi syarat menilai seperti Drs T Alamsyah Banta (Asisten Bidang keistimewaan Aceh di kantor Gubernur, yang juga sarjana sejarah), Kamaruzzaman (Ketua Majelis Adat Aceh), Dr Hasbi Amiruddin IAIN Ar Raniry), Drs Nurdin AR Mhum (Direktur Museum Aceh dan Pakar kebudayaan), H. Amir Husen (Pengamat seni dan pariwisata), Drs Muhlis A Hamid (Pengajar Sastra Unsyiah), Ir Mahdi Abdullah (pelukis), dan Drs Sujiman A Moesa (Kepala Dinas Kebudayaan).

Namun, sebagai manusia tampaknya dewan juri tak luput dari khilaf, dimana beberapa yang mendapatkan penghargaan itu sewajarnya belum berhak lantaran kredibilitas dan karyanya masih perlu dipertanyakan, juga anugerah Meukuta Alam yang disandang Marlinda. Kepada panitia yang ikut memberikan juga perlu mengkaji ulang, atau bahkan digugurkan saja. Karena selain menimbulkan kesan ‘angkat telor’, tidak wajar seorang sosok seperti Marlinda menyandang predikat itu, yang secara umum baru mengabdi pada Aceh selama lebih kurang 4 tahun, dan hingga sekarang tidak memberi prestasi apapun dalam beliau membangun kebudayaan Aceh.

Kalau terus dilanjutkan, ada kekuatiran betapa seni Aceh tidak punya kemandirian serta sangat rapuh sampai akhirnya turut dikerdilkan oleh Aceh sendiri. Memang, harus diakui pula, untuk menilai seni tidak diperlukan tenaga lebih, lantaran resiko yang dihadapi terbilang kecil. Hanya persoalannya sekarang, bagaimana mungkin Aceh akan tampil menjadi duta kesenian, sementara ‘harga’ yang ditawar tidak lebih sebagai ‘penghibur’ saja. Kita patut tercengang, akhirnya budaya Aceh juga menjadi objek operasi pemberangusan, dimana intelektual Aceh menjadi biang kerok kehancurannya.

Seharusnya, anugerah itu disematkan kepada mereka yang berhak mendapatkannya seperti nama-nama Rafly, Azhari, Hasjim KS, Hasbi Burman, Syeh Lah Bangguna, To’et, Teungku Adnan PMTOH, Noerdin Daud, Mahdi Abdullah, Round Kelana, M Junus Melalatoa, dan masih sederet nama lainnya yang terbilang potensi untuk dipilih—seperti seniman daerah yang tidak terangkat kepermukaan akibat sulitnya sarana untuk mengangkat nama. Nama-nama diatas yang disebut sebagian ikut menerima anugerah itu, seperti Noerdin Daud.

Kalau sudah demikian tentu kita harus kembali pada perenungan yang mulia, dimana kita layak menyadari apabila Aceh punya sejarah positif dalam hal seni dan kebudayaannya. Kita sadar betul, apabila Aceh telah menelurkan banyak sejarah dalam pertumbuhan seni-seni dunia seperti konstribusi Aceh dalam dunia Melayu dan Islam. Pasca Cik Pante Kulu, Aceh sudah kehilangan identitas akibat seniman-senimannya tidak tampil kepermukaan untuk membentuk aikon baru dalam seni Aceh. Adalah To’et dan Teungku Adnan yang berhasil mempengaruhi pembacaan sajak Indonesia, serta Rafly yang sukses merangsang semangat seni—terutama musik dan vocal—sampai kepada anak-anak di Aceh. Masih terdapat sederet nama lainnya yang tak tampak kepermukaan, namun cukup potensial.

Dekat Kekuasaan

Di Aceh memang sulit untuk menjangkau populeritas, lantaran sarana yang disiapkan tidak memadai untuk itu. Puluhan jumlah radio, beberapa media cetak, dan panggung tidak mampu menjangkau semua potensial yang tersembunyi hingga pelosok. Bahkan, panggung yang menjadi syarat mutlak untuk seniman berkarya, tidak ditemui di Aceh. Kalaupun ada maka itu sangat terbatas dan tidak memenuhi standar sebuah panggung. Inilah sebenarnya yang harus menjadi perhatian khusus pemerintah daerah dalam memajukan kesenian Aceh.

Egoisme pejabat sudah tidak diperlukan lagi, lantaran pejabat pemerintah bukan orang yang serba bisa, kecuali mengelola pendanaan dan sarana. Kalau pejabat pemerintah yang layak menjadi pahlawan, maka itu sangat mudah terjadi, karena segala sarana dan kebutuhannya berada padanya. Kalau itu yang berlangsung, lantas untuk apa seniman bekerja? Karena pahlawan yang muncul justru sudah diketahui.

Problema ini persis dengan kejadian penyematan Anugrah Kebudayaan beberapa waktu lalu, maka orang yang dekat dengan kekuasaanlah yang lebih berpeluang menjadi pahlawan, lantaran banyak unsur terjadi di sana, misalnya saja keinginan panitia untuk cepat naik jabatan, atau rekayasa pejabat sebagai upaya ‘angkat telor’ untuk mempertahankan jabatannya. Disinilah dibutuhkan kejernihan dalam berfikir, dimana Anugerah Kebudayaan Meukuta Alam harus dibatalkan demi semangat kebudayaan Aceh, dan kembalikan itu kepada yang berhak menerimanya,

Kalaulah itu diserahkan sesuai dengan keputusan, maka harus diperjelas dasar potensinya, agar seni Aceh tidak dijadikan ‘sampah’ karena penyematan anugerah itu sama halnya ingin mengubur seniman itu sendiri hidup-hidup. Atau setidaknya, apabila dibelakang itu semua ada rekayasa maka perlu dibuat perimbangannya, seperti misalnya mengembalikan anugerah Meukuta Alam, dan kembali memberikan anugerah ‘terima kasih’ telah melihat Aceh sebagai kekuatan seni yang kokoh.

Itu perlu dilakukan agar kita tidak terjebak pada kondisi ‘penghangusan’ seni itu sendiri. Kalau selama ini seni itu menjadi bahan yang dipolitisir, maka sudah saatnya pemerintah menggiring seni sebagai seni. Kita sebagai seniman juga kerapkali salah kaprah dengan membiarkan seni dipolitisir, sementara politikus tidak pernah serius dengan seni itu sendiri.

 

Kesadaran kita semualah tampaknya yang mampu meredam ‘keangkuhan’ untuk menjadi pahlawan, karena bagaimanapun kita menghindari sejarah miring yang kelak menyudutkan Aceh. Kalaupun seniman menerima dan juga ikut mempolitisir, maka cukup dimaklumi bahwa seni milik kekuasaan saja, sementara masyarakat hanya menikmati seni sebagai barang eksklusif persis seni yang hidup dimasa kolonial. Gara-garanya seniman ikut berpolitik menggiring seniman demi sebuah pengakuan kekuasaan saja. Kalau sudah begini, maka banyak seniman yang menjadi korbannya. Atau itu cuma sementara persis puisi penyair nasional Fikar W Eda berjudul “Nyala Aceh”;

“saudara-saudara

mulai hari ini kita harus kerja keras

bahu membahu menyusun barisan

tak perlu risau

apabila nanti ada satu dua lusin piring yang pecah

itu biasa dalam perhelatan.”

Penulis adalah Pekerja Seni Aceh dan Director Nyawoung Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.