Catatan Jauhari Samalanga*
Ingatkah perasen Gayo Riek yang kerap meluncur dari saudara-saudara kita di pesisir. Dan tak jarang kata-kata Gayo Riek kemudian menyingung perasaan kita sebagai Urang Gayo, seolah-olah Gayo sedang dipelintir dengan ejekan tidak enak. Begitulah yang terjadi sejak dulu, dan Belanda memanfaatkan kondisi itu dengan politik “pecah belah”nya yang terkenal, devide et empera.
Namun sebenarnya, kata tokoh bahasa dan sejarah Aceh Ayah panton, istilah Gayo Riek bukanlah “perasen”, tetapi lebih pada ungkapan dan pengakuan kepada urang Gayo sebagai saudara tertua orang Aceh. “Gayo Riek kan dari istilah U Riek (red-kelapa tua), yang berarti pengakuan kepada yang lebih tua,karena U Riek adalah kelapa yang sudah tua,” kata Ayah Panton.
Ayah panton tentu tidak perlu banyak argumen lagi, soalnya penemuan manusia purba di ujung karang pun dianggapnya sangat masuk akal, mengingat wilayah itu berada di tepi danau Laut Tawar, sebuah proses adanya kehidupan sejak zaman dulu.
Dan tentu kemudian perasen Gayo Riek menjadi tidak enak didengar lantaran generasi yang berubah mulai tidak mendalami istilah itu, sehingga kata Gayo Riek menjadi sangat menyakiti hati Urang Gayo. Padahal secara logikapun hal itu tidak perlu disakiti, mengingat tidak terkait hubungan Gayo dengan kelapa,apalagi daerah Gayo bukanlah daerah penghasil kelapa.
Malah, bagi orang Gayo sendiri ‘kelapa’ menjadi istilah yang luar biasa dan membahagiakan, karena setiap kali mau digelar sebuah pesta besar, bahasa yang keluar adalah “lemak ni keramil tepin mane”, sebuah istilah yang kemudian berkembang melalui syair-syair didong kalau menyangkut pertanyaan kapan kawin?. Begitulah “kelapa” dimata urang kita. (nyawoung[at]yahoo.com)
*Pemerhati seni budaya, tinggal di Banda Aceh