Catatan Hanisa Fitri*
Tentang bendera dan tangis kepergian sibocah kecil Mardiana atau biasa dipanggil Diana yang diperkosa lalu dibunuh secara sadis, memunculkan perhatian banyak masyarakat, dan sekaligus telah menarik massa untuk bereuforia atas dilema politik dan moral bangsa.
Kasus Diana begitu menyayat kalbu. Gadis kecil ini menjadi korban kebiadapan dua manusia yang tidak memiliki jiwa. Sebagai seorang ibu dari anak-anak saya membayangkan bagaimana seorang gadis kecil yang lucu,pastilah Ibu manapun akan menjerit histeris bila terjadi hal seperti gadis kecil Diana.
Kenyataan inipun kemudian menggiring kita untuk melihat bahwa tidak ada tanah yang aman untuk didiami makhluk Tuhan beberapa perempuan, termasuk Aceh yang di sebut-sebut negeri bersyariat. Tidak hanya itu, bahwa rasa amanpun kemudian menjadi sulit dan mahal didapat, walau dari kerabat kekuarga sekalipun yang seharusnya menjadi tempat aman untuk kita memdapat perlindungan.
Berkaca pada kenyataan di atas munkin kita akan melupakan sejenak masalah bendera yang tidak begitu penting bagi kita dan rakyat luas, karena kita medambakan kesejahteraan dan keamanan.
Jika diana adalah saudara kita. adik, atau anak kita, bagaimanakah perasaan kita? Jika sang buah hati menjadi korban kebiadapan manusia yang hilang kemanusiannya? Apa yg anda lakukan? jika buah hati yang menjadi tumpuan harapan direnggut kehidupannya dengan sadis.
Membayangkan saja saya tidak sanggub,apalagi berada pada posisi Diana ataupun keluarga yg ditingalkannya.
Diana memang peristiwa yang konflit, setelah jasadnya ditemukan dalam kondisi tragis di semak-semak dekat Tanggul Peulanggan, Banda Aceh, tanggal 27 Maret 2013, berselang beberapa hari, 1 April 2013, Ibunda Diana Agusmawar menyusulnya karena lever dan shok. Kini tinggalah sendiri sang Ayah Mawardi (39) dalam kondisi mata buta.
Diana yang menjadi tongkat sang Ayah kini telah bersama Ibu tercinta dalam alam cahaya Illahi. Do’a dan kasih kami sebagai Ibu terus mengalir dalam do’a dan kasih sayang, dalam kesadaran kami menjaga teman-temanmu tidak bernasip sama dan meneruskan cita-citamu yang belum terasa di jiwa,namun seperti sahabatmu di kelas Satu SD 17 Banda Aceh, akan tetap mengenangmu dengan goresan “cinta” dan kepahlawanan yang telah kau curahkan dengan pengorbanan besar. Kami mencintaimu seperti cinta bulan pada malam. Insya Allah, Do’a untuk Diana selalu terucap tulus. Selamat jalan Pahlawanku, pahlawan bagi anak-anak kami yang lain, hingga akhirnya Diana matahari bagi seluruh anak Aceh. Insya Allah.
*Penulis adalah Pengamat Mode tinggal di Takengon