Catatan: Dani Swara Manik*
SETELAH melewati rimbunan hutan tropis, di ujung jalan, sudah mulai tampak deretan rumah-rumah panggung yang dikelilingi Hutan dan sungai, ditumbuhi pohon bakau (manggrove). Perdesaan di tengah hutan itu dikenal dengan Desa Rantau Gedang Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil.
Jam menunjukkan tengah hari, namun cuaca sekitar hutan Rantau Gedang Kecamatan Singkil, Kab. Aceh Singkil yang berbatasan dengan Pemko Subulussalam Simpang Kiri dan masih menyisakan embun dan kabut pagi. Suara jangkrik dan serangga hutan masih terdengar nyaring. Pepohonan rindang pun membuat langit tertutup. Menuju lokasi ini perlu waktu hampir 20 menit dengan kendaraan roda dua atau 40 jam lebih dengan roda empat dari Pusat Kota Singkil dengan mengambil arah menuju jalur jalan yang lumayan rusak.
Meski demikian, lokasinya cukup dekat dengan pusat kota Singkil. Dihuni oleh 40 Kepala Keluarga.
“Anak-anak kampung bersekolah di wilayah pusat kota singkil. Anak-anak disini sekolah dasar di desa Rantau Gedang, SMP dan SMA di Kecamatan Singkil yang bertempat dipusat kota. Dulu, waktu motor masih jarang, anak-anak disini sudah terbiasa berjalan kaki sejauh 4 kilo. Setelah itu baru naik angkutan. Ada motor, warga disini pun membeli motor untuk keperluan anak-anak sekolah,” ujar Fajri warga Kampung Rantau Gedang.
Kampung Rantau Gedang ini sudah ada sejak zaman Belanda. Untuk keperluan administrasi kependudukkan, warga sudah terbiasa berjalan sejauh 5 Km menuju Kantor Kepala Kampung dengan menembus hutan. Meski dekat dengan Pusat kota Singkil, warga disini membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) tetap di Kecamatan Singkil dan sudah terbiasa pula berjalan kaki sejauh 5 Km menembus hutan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Tidak hanya itu, jika ada pemilihan Kepala Kampung, Legislatif maupun Presiden, warga pun rela berduyun-duyun menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan menembus hutan. Di kampung ini dulu tidak begitu banyak penduduk yang tinggal, selain jauh dari pusat kota, tempat berbelanja keperluan dapur saja harus berjalan atau pun naik sampan ke daerah pajak harian yang terletak tidak jauh dari pusat kota Singkil.
Yang lebih menarik lagi, jika ada seorang warga yang melahirkan, bukan bidan dari desa yang dipanggil, melainkan bidan diluar desa tersebut. Jika bidan desa di Rantau Gedang berhalangan hadir, kami memanggil bidan desa disekitar desa lain tersebut. Meski jauh, mereka biasa datang kesini, kalau pun tidak dengan bidan desa kami terpaksa membawa ke Pukesmas yang berada di pusat kota.
Adapun untuk memenuhi keperluan sehari-hari, umumnya warga disini berkebun singkong, kangkung, tebu, sagu, dan sayur lain lalu menjualnya pada bandar untuk dijual ke wilayah pusat pasar yang terletak di kota Singkil. Bandarnya sudah terbiasa datang kesini dan mereka juga selalu jujur mengenai harga. Jika misalkan harga sayur sedang naik, para bandar itu selalu transparan memberi tahu kami. Sebagian hasil kebun dijual dan sebagian lagi untuk dimakan.
Dengan cara itulah kebanyakan warga Rantau Gedang Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil bisa bertahan meski jauh dari pusat kota dan lokasinya berada di tengah hutan. Kami punya lahan sendiri, dikelola sendiri, sebagian dinikmati sendiri. Karena berkebun sayuran, jadi kebanyakan warga disini makan sayur, makanya warga disini jarang sakit.
Selain berkebun, warga juga mencari kerang Singkil yang di ambil di sungai dan menangkap ikan lele sesudah itu warga pun mengasapi lele tersebut, sebutan lele yang di asapi sering disebut dengan lele Sale dan masih banyak yang dikelolah oleh warga Rantau Gedang selain itu ada juga yang membuat Tikar, dengan berbagai kreatif yang dibuat warga desa tersebut, setelah siap di anyam baru lah djual kepusat pasar harian.
Adapun selama puluhan tahun, luas lahan Desa Rantau Gedang ini 10 hektare dan hingga sekarang tidak bertambah. Luas perkampungan dan lahan perkebunan di Rantau Gedang sejak dulu masih 10 hektare dan tidak bertambah. Kalau bertambah berarti membuka hutan. Kami tidak mau membuka hutan untuk dijadikan perkebunan karena umumnya warga meyakini bahwa selama ini, hutan telah memberikan manfaat begitu besar bagi warga.
Adapun jika warga membuka hutan dengan menebang pohon, itupun pohon yang ditebang untuk membuat rumah dan jumlahnya pun sedikit. Terakhir menebang pohon itu kurang lebih 10 tahun yang lalu untuk dijadikan rumah.
Di kampung yang dekat dengan sungai Kuala Baru, ia mengaku tidak pernah kesulitan air. Jika di daerah lain sedang kekurangan air dan tidak bisa mengairi sawah atau kebun, justru di kampung Ranta Gedang, tidak pernah mengalami hal demikian. Jika pun kemarau panjang, kebun masih bisa diairi.
Kalaupun demikian, yang terkena dampak saat musim kemarau itu, kampung ini tidak bisa menikmati listrik. Kampung ini dialiri listrik sebesar kurang lebih 220 volt dari PLTA Kota Singkil . Kalau kemarau, airnya sedikit, jadi tidak bisa menggerakkan turbin.
Namun demikian, ia mengaku hal itu tidak masalah. Karena pda umumnya, warga disini sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan segala keterbatasan. Kalaupun boleh meminta pada pemerintah, kami berharap akses jalan menuju kampung kami diperbaiki. Karena saat ini kondisi jalannya hanya batu saja dan itu jalan satu-satunya.
Selebihnya ia mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu khawatir dengan hutan di sekeliling kampung Rantau Gedang karena pada dasarnya, warga Rantau Gedang akan menjadi barisan terdepan untuk menjaga hutan di sekitar kampung tersebut.
Hutan ini sudah memberikan waktu panjang untuk membuat kami tetap hidup hingga sekarang. Oleh karena itu, kami akan terus menjaga hutan ini. (Ed-007)
*Dani Swara Manik, lahir di Singkil, 22 Oktober 1992 tinggal di Jalan, Inong Balee Darussalam. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Lelaki yang mempunyai hobby musik, nyanyi, sepakbola dan Renang, ia dapat dihubungi: daniswara_manik[at]ymail.com.