Oleh : Muhammad Hamka*)
Pemilu yang jujur dan adil hanya bisa terjadi ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu menjadi wasit yang adil dan jujur. Namun tak jarang, KPU selaku lembaga yang punya otoritas dalam pelaksanaan pemilu kerap kehilangan independensi dan netralitasnya.
Hal ini bukan tanpa sebab. Salah satunya adalah proses perekrutan calon anggota KPU yang sarat dengan politik kekerabatan (crony politic). Keberadaan anggota KPU yang tak netral dan independen ini—sebagai akibat dari proses perekrutan yang tak transparan dan kredibel— sesungguhnya menghadirkan banyak kemungkaran sosial.
Mulai dari terjdinya jual-beli suara yang terjadi saat pemilu, keberpihakan kepada calon tertentu (yang punya kuasa dan uang), hingga ujungnya wakil rakyat yang terpilih bukan legislator yang betul-betul hadir mewakili kehendak konstituen, tapi karena hasil permainan kekerabatan politik dengan pihak penyelenggara pemilu. Pun, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada,) tak jarang KPUD berpihak pada pasangan calon tertentu yang punya kekerabatan politik dengan penyelenggara pemilu.
Proses perekrutan komisioner KIP (KPUD) Aceh Tengah yang dinilai banyak pihak penuh dengan kecurangan adalah tamparan yang keras terhadap demokrasi didaerah ini kedepan. Banyak pihak mensinyalir proses perekrutan anggota KIP Aceh Tengah sarat dengan politik kekerabatan. Nah, kalau penyelenggara pemilunya (KIP) adalah hasil dari proses persekongkolan jahat, bagaimana bisa menghasilkan pemilu yang jujur dan adil?
Ketika pemilunya jauh dari proses yang adil dan jujur maka sudah barang tentu anggota legislatif yang terpilih jelas tak membawa harapan yang positif bagi perubahan dan kesejahteraan umum. Namun hanya menjadikan lembaga legislatif sebagai ladang mata pencaharian baru untuk menyuburkan diri, keluarga, dan kelompok. Lalu buat apa ada demokrasi dengan instrument pemilunya? Padahal demokrasi memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex).
Disinilah sebetulnya salah satu persoalan fundamental demokrasi di negeri ini, yakni ada upaya sistematik kelompok status quo dalam membiakan politik kekerabatan. Faktanya, tiap lima tahun kita melaksanakan hajatan demokrasi prosedural; baik pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga pemilihan kepala daerah (pilkada), tapi tidak ada perubahan signifikan dalam mendorong perubahan dan mengangkat kesejahteraan rakyat.
Jawabannya jelas, karena wasit pemilu (KPU/KIP) tak berdiri di atas altar independensi. Sehingga dampak lanjutanya adalah yang terpilih jadi pemimpin dan wakil rakyat adalah orang-orang yang tak punya visi dan program yang jelas, namun hanya mengandalkan kuasa, uang. dan hasil perselingkuhan (politik kekerabatan) dengan penyelenggara pemilu.
Kembali kepada persoalan perekrutan komisioner KIP Aceh Tengah diatas yang dituding berjalan dalam proses yang penuh kecurangan, maka harus ada kesadaran semua pihak untuk duduk bersama guna memosisikan persoalan ini dalam kanal yang bermartabat. Tentunya, kita tak menginginkan “tragedi” pilkada tahun lalu yang berjalan dalam tabir yang gelap sebagaimana dugaan banyak pihak akan adanya kecurangan yang sistematik. Dan salah satu penyebab utama persoalan Pilkada tahun lalu ada pada lembaga penyelenggara pemilu (KIP Aceh Tengah) yang tak menjalankan tugasnya diatas prinsip independensi. Terbukti dua anggotanya di pecat.
Perekrutan Pansel yang tak kredibel
Kalau dibedah secara jernih maka pangkal terjadinya kecurangan proses perekrutan komisioner KIP Aceh Tengah berawal dari perekrutan panitia seleksi (pansel) yang tidak kredibel. Besar dugaan, proses politik kekerabatan sudah mulai berjalan saat proses perekrutan pansel. Saya pernah mendengar sendiri pernyataan seorang oknum anggota pansel bahwa pansel tak mesti punya pengetahuan tentang pemilu, kecuali anggota KIP. Inikan sebuah ironi.
Logikanya, bagaimana pansel bisa memilih anggota KIP yang kompoten dan cakap mengenai pemilu, sementara panitia seleksi sendiri tak punya pengetahuan yang memadai tentang pemilu. Sehingga sangat terang, proses perekrutan pansel tak berjalan diatas kompetensi dan kredibilitas, tapi atas dasar politik kekerabatan. Sehingga jangan heran kalau perekrutan anggota KIP pun berjalan diatas dasar politik kekerabatan.
Kalau tak mau masa depan demokrasi Aceh Tengah tergerus dalam demokrasi prosedural yang penuh dengan pembiakan politik kekerabatan, maka kebusukan ini harus dibongkar secara tuntas. Dan yang paling bertanggung-jawab dalam persoalan perekrutan komisioner KIP ini adalah anggota DPRK Aceh Tengah yang memilih anggota panitia seleksi (pansel) KIP yang tak kredibel.
Analis sosial & politik *)