Oleh : Ghazali Abbas Adan *)
Diantara peristiwa monumental dalam bulan Ramadhan adalah turunnya Al-Quran yang terjadi pada lailatul qadr, yakni malam yang sangat mulia (QS, Al-Qadr), dan menurut aqidah Islamiyah beriman kepada Al-Quran merupakan salah satu rukun iman; “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Berimanlah kepada Quran, dan kitab yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya”(An-Nisa’, ayat 136).
Allah juga menegaskan;”Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Quran tidak akan Allah beri hidayah (panduan), dan mereka kelak akan mendapatkan adzab yang pedih. Orang-orang yang berbuat kebohongan itu sebenarnya adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Al-Quran, dan sebenarnya merekalah yang pendusta”(An-Nahl, ayat 104-105).
Fakta Iman Kepada Al-Quran
Menurut ulontuan, beriman kepada Al-Quran tidak cukup hanya sebatas meyakini, bahwa ia adalah kitab suci, tetapi sejatinya menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut;
Pertama, yakin Al-Quran itu kalam Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak diragukan kebenarannya. Seluruh isinya tetap terpelihara orisinalitas dan kemurniannya sampai akhir zaman (Al-Hijr, ayat 9).
Betapa sepanjang masa banyak kaum mukmin hamba Allah yang mampu menghafal seluruh isi Al-Quran, dan melalui hamba-hamba-Nya inilah Allah memelihara Al-Quranul karim. Meyakini pula, membacanya bagian dari ritual ‘ubudiyyah dengan pahala berlipat ganda, sebagaimana janji Rasulullah dalam salah satu hadisnya;”Siapa saja membaca satu huruf dari Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tapi alif satu huruf, laam satu hufuf dan miim satu huruf”(HR, Tirmidzi). Termasuk yang diam dan dengan serius mendengar bacaannya (Al-‘Araf, ayat 204).
Kedua, memiliki Al-Quran. Ketiga, mampu membaca dengan baik dan fasih sesuai ketentuan ilmu tajwid, serta dalam waktu yang sama dengan sungguh-sungguh berusaha memahami isinya.
Niscaya ketentuan ini dapat diwujudkan, mau tidak mau harus menguasai aksara Arab, karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab (Yusuf, ayat 2), dan Rasulullah Muhammad saw menyatakan agar membaca Al-Quran biluhuunil ‘arab (seperti halnya pengucapan/irama orang Arab).
Dapat dipastikan, tidak akan baik dan fasih membaca Al-Quran apabila dibaca dalam huruf latin. Efeknya salah baca akan salah arti. Memang ada ungkapan;”kita bukan Arab, sehingga terasa sulit”. Ungkapan ini ternafikan dengan bukti banyak non Arab (‘ajam) yang mampu membaca Al-Quran biluhuunil ‘arab.
Keempat, wajib menjadikan isi Al-Quran sebagai rujukan, pedoman dan aturan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam kaitan relasi dengan Allah, maupun aktifitas dengan sesama manusia, alam raya, lat batat kayee batee. Jangan sebagaimana dipertanyakan dan diingatkan Allah kepada Bani Israil yang menunjukkan perilaku sekularistik terhadap kitab sucinya;”Wahai Bani Israil, apakah kalian beriman kepada sebagian Taurat, tetapi kafir kepada sebagian yang lain? Balasan bagi sebagian kalian yang berbuat demikian adalah kehinaan dalam kehidupan di dunia. Pada hari kiamat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam adzab neraka yang sangat pedih. Allah sama sekali tidak lengah mencatat semua perbuatan kalian”(Al-Baqarah, ayat 85).
Iman yang Benar vs Sekularisme
Al-Quran yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir Muhammad saw berisi rupa-rupa penjelasan terhadap berbagai hal ihwal dalam kehidupan nyata, dan tidak ada yang dialpakan (An-Nahl, ayat 89, Al-An’am, ayat 38), bersama sunnah (hadis) sebagai mufassir (penjabar) isi Al-Quran diwariskan kepada ummatnya, dengan jaminan siapapun yang secara murni dan konsekuen berpagang teguh serta menjadikannya sebagai aturan hidup (way of life) tidak akan sesat selamanya.
Berdasarkan pemahaman dan keyakinan seperti ini, apabila kita sebagai ummat Muhammad saw yang benar-benar beriman kepada Al-Quran, maka semestinyalah menjadikan Al-Quran tidak hanya sebatas kumpulan (kodifikasi) rujukan dan petunjuk beku, statis dan pasif, tetapi harus diaktualisasikan ketika melakoni berbagai profesi dalam kehidupan nyata (reality). Ia tidak hanya dipedomani dalam masalah ritual personal dan sosial kemasyarakatan terbatas, tetapi juga menyangkut aktifitas politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adalah “sekularisme” (al-‘ilmaaniyyah) yang memisahkan agama (berdasarkan kitab suci) dari kehidupan berbangsa dan bernegara (ad-dawlah) serta kehidupan kemasyarakatan (hayaatul mujtama’). Ia hanya menjadi ajaran spiritual di dalam hati masing-masing pribadi. Sebatas hubungan antara personal dengan Tuhannya. Kalaupun dibolehkan, agama itu sekedar mengatur urusan pribadi berkaitan dengan serimonial rutinitas ritual, perkawinan, prosesi kematian dan sebagainya.
Terhadap sekularisme, Ketua Persatuan Ulama Islam se Dunia Dr Syaikh Yusuf Qardhawy menyebutkan pernyataan sebagian manusia; “bahwa tidak ada urusan agama dalam politik, dan tidak ada politik dalam agama. Ini dinamakan memindahkan pola pikir Kristen dalam masyarakat Islam”. Ada juga jargon yang dipopulerkan penguasa/komunitas sekuler di beberapa negara Arab; “agama milik Allah dan tanah air (negara) milik rakyat (ad-diinu lillaahi wal-wathanu liljami’)”.
Dalam salah satu hadis Rasulullah Muhammad saw memperingatkan ihwal kemunculan sekularisme itu, yakni; “Sungguh ikatan Islam akan dilepas seikat demi seikat. Pertama dilepas ajaran Islam tentang pemerintahan, dan akhirnya berkaitan dengan shalat (latunqadhanna ‘ural Islaami ‘urwatan-‘urwatan fa-awwaluhaa naqdhan al-hukma wa-aakhiruhaa naqdhan as-shalaata)”.
Al-Quran dan Aceh
Esensi dan konsekuensi beriman kepada Al-Quran sudah jelas. Perilaku dan praktik sekularisme juga sudah terang benderang. Di sisi lain secara legal formal berdasarkan undang-undang negara RI (UUPA) Aceh merupakan nanggroe syari’at Islam.
Dengan ketentuan dan kenyataan ini, bagi kaum mukmin ummat Muhammad saw yang hidup dan tinggal di Aceh apapun status dan prifesinya wajib menegakkan dan melaksanakan ajaran Al-Quran dan as-sunnah sebagai sumber pokok dinul Islam itu. Hal ini menjadi bukti nyata beriman kepadanya, sekaligus taat pada konstitusi negara.
“Wahai Muhammad, demi Tuhanmu, orang-orang yang mengaku beriman itu tidak begitu saja dikatakan beriman sehingga mereka mau mengikuti syariat kamu dalam menyelesaikan perselisihan diantara mereka, mereka mau menerima keputusanmu tanpa keberatan, dan mereka mengikuti keputusanmu dengan sepenuh hati” (An-Nisa’, ayat 65).
“Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib mentaati dan mengamalkan syariat Islam” (pasal 126, ayat 1 UUPA).
Betapa amat jelas, tegas, dan transparan ketentuan Al-Quran dan konstitusi negara terhadap kaum muslimin di Aceh, niscaya menjadikannya sebagai way of life.
Berulang kali ulontuan nyatakan, bahwa ia tidak saja dalam kehidupan ritual ‘ubudiyyah, tetapi juga berkaitan dengan hukuumah/dawlah.
Berdasarkan keyakinan dan pemahaman seperti ini, maka sejatinya pulalah siapa saja yang mengaku beriman kepada Al-Quran di Aceh wajib menjadikannya sebagai aturan dan pedoman dalam melakoni kehidupannya. Dalam hal ini termasuk “ritual” politik limatahunan, pilkada dan pemilu legislatif, setidaknya ada “5-P” yang haram dipraktikkan.
Pertama, “PEU-YO”, yakni menakut-nakuti, intimidasi dan teror terhadap sesama kompetitor dan masyarakat. Karena Al-Quran dan juga hadis sebagai mufassirnya dengan tegas menyatakan; “Hanya syaitanlah dan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (orang-orang) beriman, karena itu janganlah (orang-orang) beriman takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman” (Ali Imran, ayat 175).
“Janganlah menakut-nakuti (intimidasi dan teror) orang muslim, karena praktik demikian adalah kedlaliman yang besar (laa turawwi’ul muslima inna raw’atal muslimi dlulmun ‘adliim)” (HR Abu Dawud).
Kedua, “PEUREULOH”, yakni pengrusakan (fasad) terhadap baliho, spanduk, kendaraan, rumah, kantor dan sebagainya. ” … dan berbuat baiklah kepada sesama manusia, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak suka terhadap pelaku pengrusakan” (Al-Qashash, ayat 77). “Tolong menolonglah kalian untuk berbuat kebajikan dan ketaatan. Janganlah kalian tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. Taatilah kalian kepada Allah. Sungguh siksa Allah itu sangat berat” (Al-Maidah, ayat 2).
Ketiga, “PEUNGEUT”, yakni melakukan manipulasi suara di TPS, baik saat perhitungan, maupun pencoblosan lebih dari satu kali. Demikian pula mencoblos kertas suara lebih karena pemilih sah tidak mendapat undangan dan/atau tidak datang ke TPS. “Janganlah kalian mencurangi hak orang lain sedikitpun. Janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi setelah datang syariat yang memperbaiki keadaan kalian. Taat kepada syariat itu lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar beriman” (Al-‘Araf, ayat 85).
Keempat, “PENG”, yakni dengan rupa-rupa dalih dan modus operandi menebar fulus dan lain-lain niscaya mendapat dukungan rakyat. Diantara hadis yang melarang sogok menyogok dalam upaya mendapatkan harta dan kedudukan adalah; “Allah melaknat orang-orang yang menyogok dan menerima sogokan, dan perantara yang menghubungkan diantara keduanya” (HR Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim).
Kelima, “POH-MUPOH”, yakni niscaya mendapat peluang dan memuluskan menjadi kandidat serta memperoleh kemenangan, langsung atau tidak langsung menganiaya, menumpah darah atau membunuh manusia. “Kalian diharamkan membunuh jiwa yang Allah telah haramkan membunuhnya, kecuali dengan alasan yang benar…” (Al-An’am, ayat 151). “… siapa saja membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena orang itu berbuat kerusakan di muka bumi, maka sama halnya dengan membunuh semua manusia…” (Al-Maidah, ayat 32). “Siapa saja dengan sengaja membunuh seorang mukmin, maka hukumannya adalah neraka Jahannam. Pembunuh itu kekal di dalam neraka. Allah murka kepadanya dan melaknatnya. Allah menyediakan adzab yang sangat berat bagi pembunuh itu” (An-Nisa’, ayat 93).
Aceh damai, bermarwah, bermartabat dan meusyeuhu ban sugom donya. Ungkapan dan laqab ini akan menjadi kenyataan dan permanen dirasakan seluruh rakyat, apapun agama, suku dan etnisnya dengan membumikan Al-Quran di tanah Aceh. Dalam waktu yang bersamaan semua elemen masyarakat sesuai fungsi dan kapasitas masing-masing saling mengingatkan esensial iman kepada Al-Quran, bahwa ia kalam Allah yang tidak diragukan kebenaran dan keotentikannya, memiliki dan mampu membacanya dengan baik dan fasih, memahami isi dan menjadikannya sebagai way of life. Tidak hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah, tetapi secara nyata wajib menjadi rujukan, pedoman dan aturan dalam berbagai aspek kehidupan. Nashrum minallaahi wafathun qariib.
Mantan Anggota DPR-RI, Anggota Majlis Syura Dewan Dakwah Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amal Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh. *)