9 Tahun Munir; Pemerintah Lupa atau Pura-Pura Lupa

7 September 2004 momentum peringatan yang setiap tahunnya diperingati sebagai hari Munir. Munir Said Thalib Al-Khatiri lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965 dikenal sebagai aktivis dan Pejuang Hak Asasi Manusia yang sangat aktif menentang Tindak kekerasan dan Pelanggaran Ham di Indonesia, dan khususnya masyarakat di Aceh tidak akan lupa dengan sosok almarhum.

Pembunuhan terhadap Munir sudah memasuki sembilan tahun, sejak kematiannya 7 September 2004. Namun demikian, komitmen negara untuk pengungkapan kasus ini, seperti yang diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), belum berhasil dan pemerintah sepertinya lupa dan seakan-akan akan selalu lupa.

Terlepas dari belenggu dan hambatan politik, dan hukum, pemerintah dibawah kepemimpinan SBY yang sudah memimpin Indonesia selama dua periode, seharusnya sudah bisa melangkah lebih jauh dan memulai transisi ke negara yang demokratis dan penghormatan terhadap hak asasi manusia itu sendiri menjadi lebih maju dan beradab. Sembilan tahun juga keadilan terus berlangsung suram karena fakta kebenaran ditutupi dan pelaku pembunuhan Munir masih bebas berkeliaran.

Kebencian para penguasa orde baru terhadap gerakan ‘human right’ sebagaimana yang dipelopori oleh almarhum Munir sangatlah beralasan. Mereka penguasa yang telah semena-mena menindas, membunuh, dan membantai rakyat kecil mendapat perlawanan keras dari Munir. Munir tanpa lelah terus mencari fakta dan realita untuk mengungkap kasus-kasus pembantaian orang dan rakyat yang tidak berdosa, seperti dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berlansung di Aceh. Sebagaimana diketahui, bahwa Provinsi Aceh ketika itu ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer yang dimulai pada tahun 1990-1998 guna menghentikan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menuntut pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun apa daya, konflik berkepanjangan yang terus berlanjut sampai kesepakatan damai Helsinki dimediasi pada Agustus 2005 telah memakan banyak korban jiwa dan harta benda. Dan praktek pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, pemerkosaan dan penyiksaan adalah pelanggaran HAM yang dialami warga sipil pada masa itu terus berlansung.

Sebagaimana diketahui, bahwa almarhum Munir semasa hidupnya merupakan orang yang paling sering menentang tindakan militerisme dan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh aparat keamanan di Aceh. Munir merupakan orang yang menentang Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1998, Jenderal Wiranto. Munir melakukan itu karena Wiranto mengatakan bahwa tidak pernah terjadi pelanggaran HAM di Aceh.

Suatu hal yang tidak berani dilakukan oleh aktivis lain pada waktu itu tegas Destika Gilang Lestari, selaku Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh yang juga mengingat kutipan favorit almarhum yaitu “Jangan Takut akan perasaan takut diri sendiri, karena perasaan takut kita dapat menghilangkan akal pikiran sehat kita.”

Destika kembali menuturkan bahwa pengusutan kasus terbunuhnya Munir nyaris tidak menunjukkan kemajuan sama sekali untuk mengungkap siapa pelaku utama dibaliknya. Bahkan pemerintah terkesan lamban bahkan enggan untuk mengambil inisiatif melanjutkan kemajuan signifikan yang dicapai pada tahun 2008 lewat penahanan dan penuntutan Muchdi PR (mantan Direktur IV BIN) yang diduga kuat merupakan aktor utama pembunuhan Munir.

Ketidakseriusan ini ditunjukkan lagi oleh Menteri Hukum dan HAM dengan memberi remisi (pengurangan hukuman) kepada Pollycarpus, narapidana pembunuh Munir yang pada HUT ke-65 RepubIik Indonesia mendapatkan remisi sebanyak 7 bulan 10 hari. Pemberian remisi ini merupakan satu hal yang tidak patut dan kita kecam karena hal tersebut dilakukan di tengah kebuntuan kasus pembunuhan Munir.

Melihat perkembangan kasus Munir, ada kekhawatiran mendalam bagi kami di Aceh akan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa pemberlakuan operasi militer akan sulit diungkap.

Seperti yang terjadi pada kedua Aktivis HAM di Aceh, Mukhlis dan Zulfikar, sampai sekarang belum ada upaya pencarian keadilan kepada kedua korban. Pengabaian terhadap kasus Munir merupakan rangkaian dari pengabaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini tentu memberikan

preseden buruk bagi upaya pencarian keadilan, khususnya keadilan bagi korban pelanggaran HAM serta kriminalisasi dan kekerasan fisik terhadap para pekerja dan pembela HAM.

Pemerintah seolah berkonspirasi dengan para pelaku untuk menunda-nunda keadilan bagi para korban. Padahal Presiden SBY,  9 tahun lalu pernah mengatakan pembunuhan Munir adalah ujian sejarah bagi bangsa Indonesia. Namun nyatanya Presiden tidak mempunyai keberanian menyelesaikannya.

Sebagaimana diketahui bahwa Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan rekomendasi pada 26 Juli 2013 agar terdapat laporan perkembangan kasus Munir dalam waktu satu tahun ke depan. Hal tersebut, dilatarbelakangi pengakuan Komite HAM PBB terhadap kredibilitas Munir. “Munir dianggap sebagai prominent human rights defender (pembela HAM terkemuka),” katanya.

Untuk itu, KontraS Aceh menghendaki agar Presiden Yudhoyono dapat mengambil beberapa langkah antara lain membuka kembali kasus Munir dengan memerintahkan Jaksa Agung untuk memulai peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Mantan Deputi V BIN Muchdi Pr.

Destika kembali mengingatkan bahwa hal lain yang perlu dibenahi adalah sektor keamanan, pertahanan, dan intelejen, masih belum tegasnya kebijakan negara dalam penegakan hukum dan HAM masa lalu.

Alih-alih membawa keadilan, lembaga hukum dan peradilan malah memperluas ruang impunitas dengan cara kompromi dan manipulasi asas dasar hukum’. Bagaimanapun, kasus Munir adalah bentuk melawan lupa dan impunitas di negeri ini tegas Gilang diakhir releasenya. (Rel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.