Oleh : Muhammad Hamka
Syahdan, ada seorang tukang potong kayu yang bekerja pada seorang juragan kaya. Hari pertama bekerja, sang pemotong kayu mampu membelah dua belas batang kayu sesuai dengan keinginan juragannya. Memasuki minggu kedua, sang pemotong kayu hanya mampu membelah delapan batang kayu. Hingga pada minggu berikutnya, ia hanya mampu membelah lima batang kayu, demikian seterusnya kuantitas kayu yang dibelahnya semakin menurun.
Sambil menggerutu dengan kondisinya tersebut, sang pemotong kayu ini datang kepada juraganya, melaporkan bahwa kemampuan dirinya dalam membelah kayu menurun drastis. Sang pemotong kayu ini khawatir bahwa sang juragan akan marah dan memecatnya. Namun, di luar dugaannya, sang juragan malah bertanya, “Kapan terakhir kali kamu asah kapakmu?” tanya si juragan. Si pemotong kayu pun menjawab, bahwa belum pernah sekalipun mengasah kapaknya tersebut sejak diterima bekerja.
Kapak dalam cerita diatas sama dengan otak yang kita miliki. Apabila kita senatiasa mengasah otak dengan belajar maka kecerdasan kita otomatis akan bertambah, minimal tetap bertahan pada level yang kita inginkan. Namun sebaliknya, apabila kita tidak mengasah otak kita dengan berhenti belajar, maka yakinlah kecerdasan kita pun akan menurun bahkan lebih jauh lagi akan menjadi tumpul. Jadi, pesan moral cerita didepan adalah jangan pernah berhenti mengasah otak kita dengan belajar; membaca, berdiskusi dan menulis. Karena dengan cara seperti inilah, eksistensi kita sebagai manusia berakal akan tetap terjaga.
Pun halnya dengan guru. Guru yang tak pernah berhenti belajar (mengasah otaknya) akan melahirkan banyak kreatifitas yang segar dan disukai anak didiknya dalam mengajar. Sementara guru yang hanya terpaku dengan materi ajar yang ada, tanpa mengelaborasi dengan pelbagai hasil bacaan, diskusi dan kegiatan menulis akan menjadi guru yang rigid dan membosankan bagi anak didiknya. Padahal, semua pakar pendidikan sepakat bahwa satu-satunya profesi yang tidak ada kata jeda untuk belajar adalah guru.
Namun faktanya sekarang hanya sebagaian kecil guru yang tekun mengasah otaknya dengan belajar. Bahwa ada guru yang senantiasa menjaga tradisi belajarnya dengan membaca dan menulis, itu bisa dihitung dengan jari. Sebagaian besar guru kalau tidak bisa dikatakan mayoritas, belum menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai kewajiban bagi profesinya tersebut.
Padahal dengan membaca, wawasan berpikir guru akan ikut berkembang. Dimana bisa membuat guru menjadi fasilitator yang handal dalam memediasi keinginan belajar anak didik. Guru yang banyak membaca akan membuat anak didiknya betah bersama guru tersebut, karena ia mengikuti gaya belajar siswa dan punya segudang ide dalam merangsang kreatifitas belajar anak didiknya. Dan ide-ide tersebut tak sekonyong-konyong terjun dari langit, namun hadir oleh karena aktivitas membaca yang tekun.
Seturut dengan itu, dengan rajin menulis akan memudahkan guru dalam membuat lesson plan. Guru tak canggung lagi dalam menemukan metode yang tepat dalam menumbuhkan gairah belajar anak didik. Karena sudah ada lesson plan yang menjadi acuan. Lesson plan yang dibuat oleh guru yang biasa menulis adalah lesson plan yang orisinil serta punya korelasi yang positif bagi guru tersebut dalam mengajar. Karena ia paham betul dengan materi lesson plannya itu. Sementara guru yang tak terbiasa menulis kerap kehilangan otentisitas dalam penyusunan lesson plan karena terjebak dalam budaya copy paste. Sehingga berpengaruh pada penguasaan materi yang parsial.
Guru manajer dan pemimpin
Guru yang berkualitas akan lahir ketika budaya belajar senantiasa terinternalisasi dalam diri seorang guru. Guru sesungguhnya telah kehilangan ruhnya sebagai guru yang berkualitas, ketika ia tidak lagi peduli dengan kegiatan membaca, berdiskusi dan menulis. Guru yang hanya “mengada” tanpa ada usaha untuk “menjadi” adalah guru manajer; yakni guru yang kerjanya hanya piawai mengatur dan memerintah anak didik sesuai dengan kehendaknya. Sementara guru yang “menjadi” adalah guru pemimpin; yakni guru yang memosisikan dirinya sebagai fasilitator yang baik dalam menumbuhkan minat belajar dan menggali kecerdasan anak didiknya.
Untuk itu, menjadi kewajiban sebetulnya bagi sebuah sekolah untuk membangun tradisi diskusi (focus group discussion/FGD) bagi setiap guru. Harus disediakan satu waktu luang (2-3 jam) dalam sebulan atau sekali dalam dua minggu untuk mendiskusikan tentang perkembangan mutakhir dunia pendidikan, perkembangan belajar anak didik, dan kendala-kendala guru dalam kegiatan belajar-mengajar.
Agar tumbuh minat baca dan menulis guru, sekolah harus mewajibakan setiap guru sekali sebulan untuk membaca buku pendidikan dan kalau bisa buku yang baru terbit serta menulis resensinya. Sekolah harus mengalokasikan anggaran untuk membeli satu buku baru tentang pendidikan setiap bulan. Guru-guru yang mendapat tugas resensi akan membedah hasil bacaanya tersebut didepan guru-guru yang lain pada saat FGD. Dengan kegiatan bedah buku ini otak guru akan tetap terasah.
Kegiatan berdiskusi, membaca, dan menulis akan membuat guru menjadi berkualitas. Untuk itu, harus ada usaha sunggguh-sungguh dari pihak sekolah dan dinas pendidikan serta stakeholder pendidikan lainnya untuk mewujudkannya. Karena pendidikan yang bermutu hanya bisa terwujud oleh guru yang berkualitas. Semakin berkualitas guru, maka semakin bermutu pula pendidikan.
Pemerhati Pendidikan/bermukim di Takengen. *)