Oleh : Vera Hastuti, M.Pd
Engon ko so tanoh Gayo,si megah mu reta dele,rum batang uyem si ijo, kupi bako e
Pengen ko tuk ni korek so,uwet mi ko tanoh Gayo,sesilen pumu ni baju netah dirimu
Nti daten bur kelieten, mongot pude deru, oya le rahmat ni Tuhen ken ko bewenmu
Uwetmi ko tanoh Gayo, semayak bajangku, ken tawar roh munyang datu uwetmi masku
Untaian kata diatas, adalah bagian dari bait lagu Tawar Sedenge, karya Alm. A.R Moese. Setiap orang Gayo pastinya tidak asing lagi mendengar lagu wajib daerah ini. Sesaat, jika kita resapi setiap kata demi kata lirik lagu ini, A.R Moese seperti mengisyarahkan agar masyarakat Gayo segera bangkit dari keterpurukan untuk bersegera memperbaiki diri. A. R Mooese berharap masyarakat Gayo maju ketika orang lain berhenti, terbangun ketika orang lain tertidur untuk membangun daerah ini. Dan, yang paling kentara terlihat adalah subjek dari lirik lagu ini adalah seluruh masyarakat Gayo terutama Generasi muda Gayo.
Belajarlah dari Sejarah, begitulah judul opini yang dituliskan oleh Maya Agusyani, S. Pd. beberapa pekan yang lalu. Mengingatkan kepada kita betapa pentingnya belajar dari sejarah. Indonesia tak boleh lupa bahwa berkat pemuda-pemuda Indonesia yang gigih dan berani berjuang seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo, dkk dengan penuh semangat biarpun jiwa raga taruhannya, Indonesia bisa merdeka.
Sesunggunya, Generasi muda adalah pilar utama dalam keberlangsungan suatu daerah atau negara. Baik buruknya daerah maupun negara ini dimasa depan, dinilai dari kualitas dan prestasi pemuda yang ada di dalamnya. Bahkan Soekarno mengatakan bahwa seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tetapi satu orang pemuda dapat mengubah dunia. Dan, merujuk dari perkataan Sang Putra Fajar tersebut sudah seharusnyalah pemuda Gayo dan seluruh pemuda di Indonesia sebagai penerus dan pewaris tanah kelahirannya, harus memiliki kepribadian yang tinggi, berjiwa saing, mempunyai semangat nasionalisme, tidak gagap teknologi dan mempunyai karakter yang kuat untuk membangun daerah atau negara ini. Pe
Namun, yang sangat disayangkan dari kenyataan yang terjadi saat ini adalah banyak pemuda mengalami penurunan yang signifikan dari segi moral, etika, tanggung jawab dan bahkan akademik. Pemuda masa kini, tak lagi seberani dan setangguh pemuda masa lalu. Pemuda masa kini tidak lagi memberi contoh dan keteladanan baik kepada masyarakat sebagai kaum terpelajar, pemuda masa kini lebih banyak berorientasi pada hedonisme (berhura-hura), dan tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat , dalam urusan akademik atau sekolahpunpun banyak mahasiswa atau siswa tidak menyadari bahwa mereka adalah insan akademis/sekolah yang dapat memberikan pengaruh besar dalam perubahan menuju kemajuan daerah ataupun negara.
Guratan kecemasan dan ketakutan tampak terpendam dihati para orang tua yang prihatin akan moral perilaku pemuda saat ini. Mau jadi apakah negara dan bangsa ini nantinya?, jika negara ini nantinya dipimpin oleh pemuda-pemuda yang kurang beretika dan miskin ilmu pengetahuan, yang jika tidak dari sedini mungkin sama-sama kita rekontruksi akan berakibat fatal terhadap perkembangan daerah bahkan negara di masa datang.
Seharusnya, pemuda-pemuda masa kini haruslah merasa malu kepada pemuda-pemuda pendahulunya seperti Soekarno, dkk yang rela memperjuangkan jiwa dan raga demi negara. Seharusnya, dengan adanya teknologi dan kebebasan berperdapat dan demokrasi seperti yang kita rasakan saat ini, pemuda haruslah lebih hebat dari pemuda sebelumnya, karena tugas yang diemban pemuda masa kini hanyalah mengisi kemerdekaan.
Alangkah, Soekarno akan bersedih hati melihat tingkah anak negeri yang kian hari semakin tak terkendali. Korupsi merajalela, kejahatan dan pengaguran merebak. Jiwa Nasionalisme telah pudar bahkan mungkin hilang di sanubari pemuda yang menjadi ikon perubahan bangsa. Seharusnya, semboyan Garuda di dadaku bukan hanya milik pemain Timnas atau dunia persepakbolaan saja, tetapi milik semua insan pemuda di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Penulis Adalah Guru SMAN 1 Takengon