Oleh Radensyah
Dalam berbahasa yakni mencakup dalam setiap perbuatan dan perkataan (lisan dan tulisan) hendaknya “i dema” terlebih dahulu dengan melibatkan hati (dirasakan-merasa), agar sesuatu yang akan dilakukan atau dalam hal ini yang akan disampaikan itu dapat disaring terlebih dahulu, sehingga makna yang akan timbul bersifat baik, yang sesuai dengan fitrah manusia. Kata D-e-m-a, huruf e dibaca kEpada ,berasal dari bahasa gayo yang dapat didefenisikan sebagai penyelarasan atau disamakan, diukur, atau disesuaikan.
Maksud “i dema” disini antara lain ialah mempertimbangkan kembali tingkah-laku dalam berkehidupan khususnya dalam hal ini terkait ahlak satu sama lain. Sesuai dengan Gayo’s Cooperative Principle, dalam gayology ilmu kegayoan, hal ini dikenal juga dengan peri mestike-peri mestike seperti Amal Betabir dan Cerak Bepikir yang maknanya mengarah pada bagaimana hendaknya seseorang berperilaku, baik dalam berbuat dan bertutur(berkata). Amal Betabir mengarah pada pertimbangan, tegasnya mencakup aspek-aspek sebab akibat, sejarah dan baik tidaknya sebuah tindakan. Amal betabir tidak hanya berlandaskan pada pemikiran semata, melainkan yang lebih utama ialah bertumpu pada perasaan.
Mencari atau Mempertimbangkan sebuah ucapan itulah ranah dari Cerak bepikir, dimana perasaan tetap sebagai landasan utamanya. Dalam cerak bepikir, yang diharapkan ialah adanya keterampilan menghadirkan ucapan-ucapan baik sesuai konteks, hal ini tidak lepas dari keberadaan hati dengan memfungsikan fungsinya. seseorang yang berperilaku dengan melibatkan hati, dapat dikatakan telah memiliki konsep keperibadian yang baik.
Dalam perspektif islam, keperibadian seperti ini disebut dengan konsep keperibadian islam yang berlandaskan kepada hati atau dikenal dengan
Niat. Dengan demikian dapat dipahami, dalam bertingkah laku, mengkoherensikan pikiran dan perasaan sangat penting, yakni mengacu
pada hakikat hati yaitu baik. Hal ini sesuai dengan makna Peri mestike Remalan Betungket, Peri Berabun, yang landasan utamanya ialah Hati yang bersih. Lafizan, mahasiswa asal Cemparam, merealisasikan perilaku mu “dema” ini dengan menyebut istilah “Tungkuk Ilmiah” dimana logika perasaan dan logika pemikiran dipadukan guna mencapai tindakan yang baik dan bermanfaat.
Dari rangkaian penjelesan diatas dapat di ambil sebuah pemahaman yakni proses men “dema” sudah sepatutnya dilakukan oleh seseorang dalam
rangka saling menunjang fitrah manusia, khususnya menjaga hubungan
baik antar sesama. Dengan men dema ku ate, semoga apapun tingkah-laku kita dapat bermanfaat bagi orang lain, bukan sebaliknya. Radensyah, bertempat tinggal di Rime Raya, mahasiswa prodi bahasa inggris sekolah tinggi agama islam negeri gajah putih takengon,
Anggota team Gayology (ilmu kegayoan) gayo, Pinangen