Oleh : Win Wan Nur*
Hajatan besar PEMILU sudah di depan mata. Fenomena umum setiap menjelang PEMILU, ketika politisi tiba-tiba menjadi begitu manis sikap dan perbuatannya, menyanjung dan memuja rakyat si pemberi suara, sekarang sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Bagaimana kita, rakyat pemilik suara dalam menyikapi fenomena ini?. Di sekolah kita selalu diajarkan tentang penyelenggaraan negara yang selalu mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan golongan. Begitu seringnya kita mendapat informasi seperti itu, sehingga seolah-olah seperti itulah kenyataan yang terjadi di dalam praktek penyelenggaraan negara di negeri kita ini. Tapi benarkah realitas-nya memang demikian?. Dulu di awal-awal di awal berdirinya negara ini, ketika segenap lapisan masyarakat di negara ini masih larut dalam euphoria kemerdekaan, ketika kita baru mendapat kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, jawabannya Iya. Bahkan dalam dunia politik yang penuh tipu muslihat sekalipun. Dalam beberapa kasus malah kebablasan. Contohnya seperti terjadi di Gayo. Euphoria kemerdekaan, semangat mendahulukan kepentingan bangsa dan negara sampai menciptakan gerakan meninggalkan adat dan kesukuan (karena adat dan kesukuan ini dianggap sebagai taktik Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini). Gerakan ini ditandai secara simbolis dengan aksi membakar pakaian Kerawang yang merupakan ciri khas adat Gayo (Bowen 1991).
Itu cerita di awal kemerdekaan. Tapi ketika kemerdekaan bukan lagi cerita manis dalam mimpi,menentukan nasib dan mengurus diri sendiri sudah dalam tataran aksi bukan lagi perjuangan. Ketika kekuasaan berarti uang. Para politisi yang ketika masih larut dalam suasana euphoria kemerdekaan tampak seperti sekumpulan manusia ideal perlahan tapi pasti kembali ke fitrahnya sebagai manusia normal.
Ketika generasi berganti, politisi yang merupakan manusia ideal makin sulit ditemui. Politisi Indonesia dalam hakikat, tak lagi beda dengan politisi manapun di muka bumi. Yang ketika berkampanye mengatakan berjuang demi kepentingan rakyat dengan mulut berbusa-busa sampai ada yang mengatakan ‘Mewakafkan diri’. Tapi kenyataannya yang mereka perjuangkan di atas segalanya adalah kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri
Untuk itu sebagai pemilih, agaknya ucapan Jendral Charles de Gaulle, presiden Perancis pertama perlu kita renungkan “Para politisi itu tidak percaya pada omongan mereka sendiri, karena itulah mereka begitu takjub ketika rakyat mempercayai apa yang mereka katakan”.
Jadi dalam menentukan pilihan, berpijaklah pada realita, bukan pada utopia indahnya semangat kebangsaan yang diajarkan di sekolah. Apalagi janji manis para politisi.
Lalu kalau kita berbicara Gayo, bagaimanakah realitanya?
Untuk konteks Gayo, fenomena Pemilu ini memiliki keunikannya sendiri. Gayo meskipun merupakan bagian dari Indonesia, tapi Gayo sebagai sebuah identitas adat tidak memiliki akses langsung ke pusat. Karena secara administratif berada di bawah provinsi Aceh, untuk berhubungan ke pusat, Gayo harus melewati filter yang bernama Aceh.
Aceh sendiri memiliki posisi yang unik di Indonesia. Kalau suku-suku lain di Indonesia setara dan dipandang sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Aceh tidak demikian, Aceh mengklaim diri sebagai bangsa tersendiri. Dan secara sepihak, Aceh mengatakan bahwa Gayo adalah bagian dari ‘bangsa Aceh’ yang terdiri dari beragam suku (meskipun jika ditinjau secara antropologi, etnologi, ilmu budaya dan ilmu apapun yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, suku Gayo sama sekali tidak ada miripnya dengan suku Aceh).
Atas dasar pemikiran sepihak itu, ketika membagi daerah pemilihan di Aceh. Para pemangku kebijakan di Aceh tidak merasa perlu memasukkan Gayo ke dalam Dapil khusus, yang dapat memastikan Gayo mengirimkan wakilnya untuk menyuarakan kepentingan Gayo di parlemen. Dapil Gayo digabungkan dengan wilayah Aceh lain yang penduduknya lebih banyak. Asumsi mereka, toh meskipun bukan orang Gayo yang mewakili Gayo. Karena Gayo adalah bagian dari ‘Bangsa Aceh’ tentu saja politisi Aceh yang non Gayo yang mewakili Gayo itu akan memperjuangkan Gayo juga. Sebuah asumsi yang di permukaan tampak begitu ideal dan jauh dari ide yang bersifat rasis dan kesukuan.
Tapi benarkah begitu kenyataannya?.
Silahkan dilihat, mana anggota legislatif wakil dari Gayo yang katanya sama-sama bangsa Aceh meski bukan asli Gayo yang berdiri membela Gayo ketika Qanun Rasis Wali Nanggroe yang sangat melecehkan Gayo disahkan?. Mana mana anggota legislatif wakil dari Gayo yang katanya sama-sama bangsa Aceh meski bukan asli Gayo yang berdiri tegak membela Gayo ketika ada anggota DPRA mengatakan “mengaku orang Aceh tapi nggak bisa bahasa Aceh, orang nggak jelas!”. Mana anggota legislatif wakil dari Gayo yang katanya sama-sama bangsa Aceh meski bukan asli Gayo yang berdiri membela Gayo ketika Wakil Gubernur Aceh mengatakan “Orang Aceh, tak punya marga di belakang namanya”.
Untuk DPRK, tak perlu kita bahas panjang-panjang. Karena siapapun yang naik nantinya, toh mereka akan berdomisili dan berbuat di lingkup Gayo saja.
Tapi untuk DPR RI dan DPRA, kiranya perlu kita pertimbangkan dengan seksama. Tak usah dengarkan janji-janji muluk mereka, gunakan logika sederhana saja.
Untuk memudahkan kita mengambil keputusan, ada baiknya para caleg itu kita pilah dalam kategori-kategori.
Secara garis besar kita bisa membagi para Caleg dalam dua kategori. Pertama, yang berangkat dari kampungnya, datang ke Gayo untuk mencari suara. Kedua adalah Caleg yang berada di Gayo atau pulang ke Gayo untuk mengumpulkan suara. Ketika mereka nantinya dalam posisi mewakili Gayo, kedua jenis Caleg ini jelas pertama-tama mereka akan memperjuangkan diri dan kelompoknya. Dalam situasi seperti ini kita hanya bisa memilih yang terbaik dari yang terburuk.
Analisanya seperti ini.
Untuk Caleg yang tinggal atau pulang ke Gayo mencari suara, meski tidak 100%, kita bisa punya harapan besar mereka akan menggunakan dana aspirasinya di Gayo dan itu akan menghidupkan ekonomi Gayo. Ketika mereka abai memperjuangkan Gayo, kita juga bisa menekan mereka dengan tekanan sosial atau berdemo. Meskipun mereka tidak berada di Gayo, paling tidak keluarga dan kerabatnya ada di Gayo, akan merasa malu dan tertekan sehingga secara psikologis akan membuat kerabatnya yang mewakili Gayo merasa tidak nyaman.
Sementara, Caleg yang datang ke Gayo mencari suara. Kecil kemungkinan mereka akan menggunakan uang aspirasinya di Gayo. Kita juga tidak tahu berbuat apa kalau saat duduk nanti di legislatif nanti dia tidak bersuara untuk kepentingan Gayo.
Gempa Gayo yang baru lalu adalah contoh paling kongkrit betapa ruginya Gayo ketika salah memilih wakil di legislatif . Ketika Geumpang terkena banjir bandang, anggota legislatif yang mewakili daerah itu begitu cepat bereaksi, melakukan lobi di tingkat provinsi bahkan nasional. Reaksi untuk memberi bantuan begitu cepat datang dari provinsi maupun nasional. Tokoh nasional selevel menteri pun langsung datang beramai-ramai ke lapangan memberikan perhatian.
Sementara Gempa Gayo yang skalanya jauh lebih dahsyat, penangangannya begitu lambat. Kenapa?…sebab Wakil Gayo di pusat bahkan masih bertanya “Pat nyan Ketol?”
Orang Gayo mau marah dan menekan?. Apa yang mau ditekan?, mau berdemo kemana?. Wakil Gayo di legislatif ini tak punya harta di Gayo, sanak dan kerabatnya juga tidak ada di Gayo. Tak ada tekanan apapun yang dia rasakan ketika dia tidak memperjuangkan Gayo sebagaimana janjinya dalam kampanye.
Jadi dalam menghadapi Pemilu kali ini, khusus untuk memilih calon ke DPRA dan DPR RI, ada baiknya kita rakyat Gayo bersikap pragmatis saja. Pilihlah caleg yang tinggal atau PULANG ke Gayo, siapapun itu orangnya. Bukan caleg yang DATANG ke Gayo mencari suara.
Memang kalau kita mengambil sikap seperti ini, pasti akan muncul suara sumbang dari pesisir yang mengatakan kita rasis, sukuis dan etnosentris. Tapi tak usahlah pedulikan suara sumbang semacam itu. Sebab itu hanyalah suara dari sekelompok kaum yang mengidap penyakit rabun dekat, yang bisa melihat kuman jauh di seberang lautan tapi tak bisa melihat Gajah di pelupuk mata mereka sendiri.
Ingat, bahkan Tuhan pun tidak akan mengubah nasib Gayo kalau kita orang Gayo tidak berusaha mengubah nasib kita sendiri.
Rakyat Jelata Tinggal di Jakarta*
“Aceh sendiri memiliki posisi yang unik di Indonesia. Kalau suku-suku lain di Indonesia setara dan dipandang sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Aceh tidak demikian, Aceh mengklaim diri sebagai bangsa tersendiri. Dan secara sepihak, Aceh mengatakan bahwa Gayo adalah bagian dari ‘bangsa Aceh’ yang terdiri dari beragam suku (meskipun jika ditinjau secara antropologi, etnologi, ilmu budaya dan ilmu apapun yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, suku Gayo sama sekali tidak ada miripnya dengan suku Aceh).” Bangsa indonesia orang irian(papua) bangsa mana? bahasa indonesia = aslinya melayu kok indonesia, memang klau orang sudah anti pada sesuatu ya kayak si win ini lah
ngomong apa berak si win wan nur ini, memangnya ada orang gayo yang membela orang aceh selama ini
Mungkin ada yang familiar dengan nama Ilyas Leubee?…atau yang lebih baru Yusra Habib Abdul Gani?
Ada yang tahu suku di Nusantara yang dalam bahasa aslinya tidak ada kata-kata yang bermakna TERIMA KASIH?
bukannya win wan nur anti dengan melihat perjuangan di belakang hari(masa lalu – aceh – gayo bersatu), asik sibuk dengan masalah kekinian? memang kalau berkaca sendiri, manusia tetap paling ganteng sendiri. sebainya hindari saja masalah adu domba ini (kalau masih ngeles) coba anda pikir tempat anda cari makan di bali, trus FPI mau serang bali gara2 miss world anda saja merasa terganggu, ini dari pertama sampai saat ini asik menulis menjelek2an suku lain yang bisa mengakibatkan bentrokan antar suku, sebelum menampar orang lain coba rasakan rasanya di tampar orang lain sakit win …