Oleh: Syaruddin Zen*
Pemilu 09 April 2013 nanti merupakan merupakan akhir dari perjuangan para Calon Legislatif yang ikut bertarung. Pada hari itu nantinya akan nampak siapa pemenang dan siapa pecundang. Pertarungan ini mirip seperti Genderang Baratayuda dalam kisah pewayangan, peperangan terjadi antara Pandawa Lima dari Amarta dan Kurawa dari Hastina. Sebelum terjadinya perang besar di Padang Kuruseta para Pandawa dan Kurawa mencari dukungan dari rakyat dan negara tetangga, koalisi disepakati, kontrak politik ditetapkan dan banyak hal lain yang dilakukan untuk memenangkan pertempuran, tidak ketinggalan juga para penjilat penjilat busuk yang mengharapkan tulang sisa dari para majikannya.
Pada hari itu juga menentukan nasib para caleg, yang menang akan tertawa gembira sedang yang kalah akan merana dan ada juga yang menjadi gila seperti pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya. Mulai hari ini genderang perang ditabuh, tifa diketuk, sangkakala ditiup dan panji-panji dikibarkan. Para caleg sibuk mencari dukungan dari masyarakat, banyak strategi digunakan mulai dari janji-janji muluk, membagi uang, pendekatan dengan masyarakat, sampai pada strategi merubah tutur dan daerah asal para caleg.
Strategi merubah tutur dan daerah asal ini sangat menarik untuk dikaji. Bagaimana tidak, pada saat ini menjelang pemilu para caleg melakukan kampanye keliling, melakukan pertemuan-pertemuan dan dalam pertemuan inilah terjadinya perubahan tutur para caleg. Dengan sopan mereka memanggil “ama, ine, engingku, abangku, akaku, ibi, ontel, anak dst. ini amangku, ini inengku, ini engingku, ini abangku, ini akaku” dan turtur yang lainnya. Ya, tutur ini hanya digunakan saat menjelang pemilu saja setelahnya tutur itupun hilang entah kemana. Sa ko atau ko sa, ini yang acap kali dialami oleh masyarakat.
Selain merubah tutur para caleg juga kerap merubah daerah asal, para caleg melakukan pertemuan dengan masyarakat disatu kampung ia mengatakan bahwa “ananku ari sien, aku kucak isien, awanku pudaha nuke empus isien, polano suderengku”, bahkan ada juga dengan lantang membuat pernyataan “aku asli urang ini, isien lahirku”. ini dilakukan lagi dikampung yang lain saat melakukan pertemuan, fenomena ini terjadi berulang-ulang. pertanyaannya adalah apakah ada seseorang yang mempunyai daerah asal sebanyak itu.
Penulis mengilustrasikan para caleg ini mirip seperti orang yang mempunyai kenalan di daerah penghasil durian, Timang Gajah dan sekitarnya, ketika masa panen durian para orang-orang sibuk mencari sanak keluarga di daerah tersebut dengan harapan akan mendapat durian, setelah musim durian habis, putuslah tali silaturahmi tersebut. Para caleg juga melakukan hal yang sama, pada masa pencalegan mereka sibuk silaturahmi, mengunjungi sanak saudara dengan harapan mendapatkan dukungan suara, bahkan yang bukan saudara dan tidak ada ikatan kekeluarggaan juga oleh para caleg diikat menjadi keluarga, menjadi saudara. Setelah selesai masa pemilihan silaturahmi juga hilang.
Kejadian-kejadian seperti ini sudah lumrah terjadi “merubah tutur dan daerah asal” bagi masyarakat yang mengerti akan menertawakannya. Ya ini memang pantas ditertawakan, sebab ini merupakan sebuah penipuan, walaupun kecil-kecilan tapi bukankah penipuitu melakukan aksinya dari hal-hal terkcil terlebih dahulu. Seperti perkataan dari salah satu masyarakat yang dikutip oleh penulis bahwa “caleg besiloni bewene menganggap bahwa we asam gelime manis, rupen setan iuke kolete asam kedel”
Apakah kejadian merubah tutur dan daerah asal ini salah..?. jawabannya tidak, akan tetapi kesalahannya terletak pada konsep merubah tutur ini hanya terjadi saat mau Pemilu dan Pilkada, setelah itu semuanya berubah 90 derajat, tutur tidak lagi digunakan, daerah asal tak lagi dihiraukan. Bagi yang kalah mungkin ini wajar ia lakukan karena kecewa tidak menang dalam pemilihan, yang lebih parah adalah yang menang dan duduk menjadi anggota terhormat pun melakukannya. Daerah asal hanya tinggal daerah asal, tutur hanya tinggal tutur.
*Penulis adalah masyarakat Asli Ketol, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang