Sistem Kekerabatan Suku Gayo Bukan Patrilineal Murni

Oleh; Sahdansyah Putera Jaya [Catatan:1]*

Sahdansyah Putera Jaya

Ken penurip di Murip;
ken penanom mate;
pemake ni jarum patah;
penyapu ni kubah kubur;

Tulisan ini diilhami, ketika saya membaca tulisan Saudara Hasan Basri, S.Ag. Salam hormat dan terima kasih atas tulisannya, yang menggambarkan bagaimana nilai dan harga diri perempuan Gayo dalam jenis perkawinan juelen/ango (Bride-Price).

Tulisan ini juga sedikit mengulas hal yang terjadi sebaliknya bila terjadi pada jenis perkawinan angkap (Adoptive Marriage). Yang menggambarkan bahwa bagaimana status seorang laki-laki ketika menyetujui jenis perkawinan ini. Kerje angkap dalam istilah lain saya menyamakannya dengan perkawinan ambil anak (Adoptive Marriage) yang juga terdapat dibeberapa suku di Indonesia.

Perkawinan ini salah satu jenis perkawinan dalam suku Gayo yang dikenal sejak Suku Gayo ada, perkawinan ini terjadi karena beberapa alasan diantarnya yang paling sering terjadi karena dua hal, Pertama; ada suatu keluarga mempunyai anak perempuan tunggal, dengan alasan agar anaknya tersebut tidak berpindah tempat ke belah (clan) lain maka perkawinan angkap adalah solusi satu-satunya.

Kedua; Adanya pemuda pendatang yang tidak mempunyai keluarga, maka dengan kawin angkap pemuda tersebut tidak perlu membayar mahar (jujur) di Gayo dikenal dengan ungkapan unyuk. Dimasa lalu sering terjadi ketika pendatang tersebut datang dari pesisir atau etnis lain yang merantau ke dearah Gayo yang akhlaknya baik dan dapat berusaha.

Jenis Kerje angkap juga mempunyai karakteristik yang berbeda sehingga bila diklasifikasikan ada tiga kategori. Pertama angkap Nasab. Kedua; Angkap Biasa dan ketiga angkap Sentaran. Ketiga karakteristik angkap ini berimplikasi kepada kedudukan seorang laki-laki yang dipungut (Diangkap) oleh keluarga isteri. Bila dalam tulisan Saudara Hasan Basri konsekwensi kerje juelen bagi isteri adalah Murip betenes mate berbedes.

Maka konsekwensi dari perkawinan angkap bagi seorang suami adalah adalah Ken penurip di Murip; ken penanom mate; pemake ni jarum patah; penyapu ni kubah kubur. Makna dari ungkapan ini adalah sebagai berikut:

Ken penurip di Murip; Kedudukan suami dalam keluarga isteri adalah sebagai tulang punggung keluarga bukan hanya untuk kelurga inti (nuclear Family) akan tetapi juga untuk kelurga menengah dari pihak keluarga Isteri.

Keluarga inti dari suami isteri yang kawin dengan sistem angkap tidak boleh memisahkan diri dari kelurga orang tua isteri (jawe) karena tugasnya adalah ken penuripi murip dari Bapak/ibu mertuanya, oleh karena itu biasanya kepada laki-laki tersebut diberi tempat berusaha berupa kebun maupun sawah.

ken penanom mate; Tugas lain yang harus dipikul oleh laki-laki yang masuk ke klan isterinya dengan kerje juelen adalah harus menjadi penanggungjawab pelaksanan sinte mate dalam keluarga isteri terutama apabila mertuanya meninggal dunia dan seluruh proses penguburan anggota keluarga juga menjadi tanggung jawab dari lelaki tersebut walaupun dengan bantuan masyarakat belah isteri.

Pemake ni jarum patah; Arti dari ungkapan ini adalah seorang laki-laki tersebut di keluarga klan isteri mempunyai hak untuk memakai warisan mertuanya terutama mengenai barang-barang milik mertuanya dengan status hak pakai bukan hak milik, kecuali kebun atau sawah yang diberikan oleh mertuanya ketika menikah dengan anak perempuannya untuk mata pencaharian sehari-hari.

Penyapu ni kubah kubur; Kedudukan laki-laki tersbeut juga menjadi pemelihara makam/kuburan mertuanya agar selalu terjaga dan bersih.

Dari tulisan ini dapat dipahami bahwa dalam adat suku Gayo terebut tidak ada suatu praktek adat istiadat dan hukum adat yang berat sebelah, merugikan salah satu pihak apakah perempuan atau laki-laki. Suku Gayo adalah suku yang menganut asas keseimbangan sebagaimana tulisan penulis merangkai makna Ku atas kubintang pitu ku tuyuh kal pitu mata.

Dalam masyarakat Gayo perkawinan bukan hanya terjadi antara seorang laki-kaki dengan perempuan akan tetapi perkawinan tersebut juga merupakan perpaduan antara suatu keluarga dan suatu belah dengan keluarga dan belah yang lain, pekawinan terjadi karena adanya consensus antara dua belah pihak dan para pihak mengetahui konsekwensi dari konsesus tersebut dengan demikian maka ungkapan murip betenes, mate berbedes dan Ken penurip di Murip; ken penanom mate; pemake ni jarum patah; penyapu ni kubah kubur; pada masa lalu merupakan suatu konsekwensi yang dapat diterima oleh para pihak dan dinikmati oleh pihak tersebut sebagai suatu kewajiban.

Mungkin suatu yang tidak tepat bila kebersahajaan tersbeut kita amati dan analisis dengan kehidupan kita pada saat ini, berubahnya pola hidup suku Gayo gayo saat ini khususnya sejak tahun Sembilan belas enampuluhan maka telah terjadi pergeseran nilai dalam kedua jenis perkawinan ini yang dikenal dengan kerje kuso kini (bilateral) pergeseran nilai ini tidak terlepas dari pola hidup masyarakat Gayo yang semakin berkembang dan juga ada anil dari penerapan UU No. 1 tahun 1974 Tentang perawinan yang mengarahkan kehidupan rumah Tangga menjadi lebih kearah bilateral.

Seiring pergeseran tersebut merupakan suatu yang sunatullah oleh karena adat istiada tersebut tidak bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis dan terus berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kajian ini berguna bagi kita bahwa di dalam kehidupan masayarakat Gayo tempo dulu penghormatan terhadap kedudukan perempuan dan laki-laki telah disejajarkan dan tidak ada berat sebelah itulah mungkin kesetaraan gender ala suku Gayo pada kehidupan Masa lalu, dan terasa aneh bila hal tersebut kita analisis dari kehidupan sekarang. Wallahu a’lam.

 *Anggota masyarakat Kampung Semelit Mutiara, Silih Nara.

Baca Juga:

Hasan Basri: Kerje Bertenen Mate Berbedes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments