SEBELUM Hujan sediakan payung. Itu tidak dilakukan kontingen Aceh Tengah menyambut PORA ke XII di Aceh Timur. Padahal kegiatan PORA sudah diketahui lima tahun sebelumnya. Bila ingin memberangkatkan atlet, untuk bertarung di even ini, tentunya jauh-jauh hari harus siap.
Walau endingnya indah, namun keberangkatan atlet Aceh Tengah ke PORA menoreh sejarah kelam. Atlet sempat turun ke jalan menjadi peminta-minta. Itu terjadi 5 hari menjelang keberangkatan. Bagaimana nasib atlet sebelumnya, saat mereka mengikuti TC?
Training center (TC) atlet Aceh Tengah menjelang keberangkatan PORA, bagai ayam kehilangan induk. Para pengurus cabang “terpaksa” eteng-eteng iyak, dan meminta perhatian kepada mereka yang peduli. Dana tidak ada.
Makanan yang dikonsumsi atlet dipemusatan latihan ini tidak sebanding dengan energi yang mereka keluarkan. Tetapi atlet tidak pernah patah semangat dalam berjuang, walau ada diantara mereka yang tumbang saat dilangsungkan TC.
Antara berangkat dan tidak, emosional atlet dan pelatih, serta pengurus cabang, menjadi sebuah bom waktu. Bahkan ada sebagian atlet nekat berangkat walau tanpa dana. “ Glahta bajutepe plang plet waktu pawai. (Biarlah baju kita juga belang beling saat dilangsungkan pawai). Atlet nekat bertanding tanpa pakaian seragam.
“Kami akan berangkat mengharumkan nama daerah, walau apapun yang terjadi,” sebut Samsul Bahri, pelatih silat, saat dilakukan TC di eks bioskop Gentala.
Tekat yang sama juga disampaikan beberapa pengurus cabang lainya. Mengapa persoalan ini menjadi sejarah. Aceh Tengah sudah dianggarkan dana Rp 400 juta untuk PORA. Dana itu hanya cukup untuk makan atlet dan kontingen selama PORA plus training seragam.
Bagaimana dengan peralatan tanding lainnya? Saat itu Aceh Tengah sedang dihangatkan dengan persoalan usulan bupati dengan mobil dinas baru land cruiser. Apakah ada bargaining bupati dengan DPRK? Sehingga anggaran mobil itu disahkan DPRK. Walau mobil dinas bupati selama ini masih layak.
Ribut sana-sini, persoalan PORA dan mobil dinas semakin hangat. Sementara siapa yang mengelola dana PORA sepertinya semuanya lepas tanggungjawab. Akhirnya DPRK menerima usulan tambahan anggaran untuk atlet Rp 1,2 milyar lebih. Tentunya dana ini sudah termasuk persiapan atlet saat TC, serta kebutuhan lainnya.
Namun masih juga belum jelas kapan akan dicairkan dan bagaimana proses pencariannya. KONI Aceh Tengah saat itu masih dibawah komando Dafruddin, tidak mampu mengendalikan situasi. Ujungnya atlet turun ke jalan meminta sumbangan.
Saat kritis itulah, Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah menunjuk Amir Hamzah, staf ahli Pemda, untuk mengambil alih persoalan. Amir yang sudah terbiasa dengan persoalan ini, menjalankan tugas dengan baik.
Dua hari menjelang keberangkatan persoalan itu diselesaikannya dan bupati juga menanda tangani SK kontingen yang sebelumnya juga tidak jelas. Satu hari menjelang keberangkatan Bupati Aceh Tengah melantik Amir Hamzah sebagai Kadis pemuda dan Olah Raga, Pariwisata Aceh Tengah, sementara Nasiruddin pejabat yang lama menduduki jabatan Amir sebagai staf ahli.
Ending dari perjalanan PORA ini memang indah. Atlet nyaman dan seluruh persoalan teratasi. Namun yang menjadi catatan sejarah, haruskah ribut dulu baru diselesaikan beragam persoalan. Padahal kegiatan PORA sudah diumumkan 5 tahun sebelumnya.
Pemimpin yang bijak tentunya menyelesaikan persoalan tanpa menunggu masalah itu besar, merembet kemana-mana. Pengalaman pahit ini kiranya menjadi sejarah buat Aceh Tengah, buat para leader dalam menentukan sikap. Atau sengaja persoalan itu diramaikan dulu baru diselesaikan? Mengapa tidak diantisifasi sebelumnya. Inilah sejarah bagian perjalanan manusia Gayo. (Tim Kontingen PORA.) Habis.