Gulat Politik Ala Orde Baru

Oleh : Hanif Sofyan*

hanif sofyan
Hanif sofyan

Manuver politik memang tak terduga. Membaca dunia perpolitikan saat ini,  kita seperti kembali mengalami masa-masa ketika Orde Baru masih berjaya. Nuansa ‘bertarung’ terasa lebih kuat. Semoga saja ini bisa berdampak baik buat kita. Namun apapun argumentasi yang akan kita bangun, fenomena ini berimplikasi luas tidak saja bagi kelompok-kelompok yang berlawanan namun juga bagi publik (baca rakyat) yang selama ini cenderung dijadikan ‘penonton’ atas sebuah episode drama politik yang berubah.

Dalam kegamangan situasi perpolitikan kita, kontestasi antar parpol nyata-nyata menunjukkan keberpihakan kelompok-kelompok yang saling bertarung dan menafikan rakyat.

Situasi DPR hari ini seperti digambarkan oleh Krishna Mukti, artis Indonesia yang baru tahun ini memulai babak baru di kancah politik, seperti anak-anak TK berebut mainan, ini membuatnya shock politic baginya. Di luar ekpektasinya soal dunia perpolitikan yang terlihat tenang ternyata menghanyutkan.

Adalah persoalan Pilkada langsung dan tidak langsung yang menjadi materi utama perdebatan. Merunut pada akar persoalan, ini masih berkaitan dengan persoalan kalah menang dalam kontestasi presiden kemarin. Kekalahan yang argumentasinya didasarkan pada ‘kecurangan’ menurut salah satu pihak dibalas dengan membangun koalisi baru yang dirancang sebagai bentuk perlawanan via parlemen. Jikalau niat baik itu ditujukan untuk kepentingan rakyat, maka sah-sah saja. Namun euforia yang muncul ke permukaan paska pengumuman menunjukkan kelompok kepentingan menggiring kita pada situasi yang buram.

Sesungguhnya opsi untuk berpilkada melalui DPRD pada awalnya, justru datang dari pemerintah sendiri. Pemerintah mendorong gubernur dipilih oleh DPRD dan bupati/walikota dipilih langsung, tetapi kemudian menjadi sebaliknya, yaitu hanya gubernur yang dipilih langsung, sedangkan bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Jajaran Kemendagri termasuk yang paling getol mendorong pilkada oleh DPRD. Ini dikaitkan dengan banyaknya kepala derah yang tersangkut korupsi dengan pilkada langsung. Lalu dalam babak berikutnya dimulailah permainan politik tarik ulur yang berakhir pada drama riuhnya adu strategi antar kepentingan di gedung parlemen saat ini.

Ada dua pemikiran berbeda yang terus berlangsung. Satu sisi berpendapat bahwa persoalan pilkada langsung yang masih diwarnai persoalan money politic adalah persoalan yang membutuhkan evaluasi, bukan konversi kembali ke model Era Orde baru dengan mengusung Pilkada tidak langsung sebagai solusinya. Karena ini mencederai keterlibatan rakyat berpolitik, menikmati politik sebagai bagian dari demokrasi dan pembelajaran berpolitik praksis. Disisi lain argumen yang dibangun adalah meng-konversi pilkada langung menjadi tidak langsung dengan asumsi, inilah cara paling logis mengatasi persoalan maraknya korupsi di tataran elite.

Argumentasi pertama didasarkan pada premis, situasi dan kondisi Indonesia hari ini masih ‘lemah’ dalam menyikapi berbagai persoalan korupsi sehingga pilkada tidak langsung dianggap sangat rentan permainan ‘money politic’. Ini ada kaitan dengan sistem penjaringan calon dan track recordnya serta sistem pengawasan yang lemah sebagaimana direkomendasikan oleh partai pengusung sistem Pilkada Langsung. Sehingga tinggal dilakukan evaluasi dan penguatan pengawasan saja.

Sementara argumentasi lain berpendapat dengan begitu banyaknya elite yang terlibat korupsi justru menjadi dasar pemikiran pilkada mestilah diprakarsai secara tidak langsung dengan beberapa catatan, termasuk diantaranya adalah melakukan treasure atas track record ketat terhadap bakal calon gubernur, maupun bupati dan walikota. Bagaimana tehnisnya, bisa melalui forum, lembaga atau mungkin melibatkan KPK lebih intens dalam menjembatani gagasan mencari pemimpin yang lebih ‘bersih’. Hanya saja ini juga masih menimbulkan kekuatiran baru karena adanya celah money politic yang memungkinkan dengan mudah para ‘pemain politik, petualang politik’ di DPR, ‘bermain’ dalam kondisi demikian. Karena ini menyangkut soal ‘wani piro?’. Semua kekuatiran masih dalam bentuk kemungkinan-kemungkinan, dengan melihat realitas perpolitikan kita saat ini.

Hanya saja dinamika yang berkembang kian kompleks, dimulai dari kemungkinan nantinya Presiden enggan mengesahkan RUU Pilkada dengan tidak membubuhkan tanda tangan, berdasarkan ketentuan pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, dalam waktu 30 hari setelah persetujuan, RUU tersebut tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Lalu soal pelantikan yang ‘terjegal’, hingga peluncuran rencana perubahan Undang-undang untuk mengakomodir kemungkinan pilkada dimungkinkan kembali dengan sistem langsung.

Peristiwa-peristiwa politik ini adalah bagian dari dinamika perbedaan pendapat, hanya saja lahir dalam kondisi situasi demokrasi yang gamang. Karena apapun alasan, pertarungan yang ‘vulgar’ di parlemen tetap akan menimbulkan kekuatiran publik.

Kelak jika kubu berlawanan akan salling bertahan mati-matian, apalagi dengan komposisi suara parlemen yang tidak lagi berimbang antar kubu, maka kemungkinan-kemungkinan politis menjadi sangat jelas akan dibawa kemana arah perpolitikan dan masa depan Indonesia. Ketidakmampuan para elite menemukan jalan keluar yang menang-menang bisa menjadi blunder bagi Indonesia ke depan, ini menjadi pekerjaan rumah baru bagi kita semua dalam mencermati situasi politik Indonesia kedepan.

Apalagi, pro kontra ini telah bergeser jauh, tidak lagi hanya sekedar pada tataran Pilkada Langsung atau Tidak Langsung, ini masuk pada tataran ‘Perang Gengsi’ dan ‘Kalah Menang’. Semoga babak ini tidak menjadi babak baru ‘Politik Pecah Belah’, antara kekuatan rakyat di  satu sisi dan dua kekuatan raksasa di perlemen disisi lainnya. Karena bisa jadi situasi dan kondisi yang keblablasan akan menimbulkan gesekan-gesekan baru, rakyat akan menjadi lawan tanding, bukan lagi sesama elite sendiri. Sepertinya hanya sebuah ‘niat baik’ pro rakyat yang dibutuhkan saat ini, bukan ‘gulat politik’.

Pemerhati Sosial Politik, Pegiat Lingkungan*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.