Pengadilan Ham di Mata Rakyat

Oleh: Datuk Haris Molana*

Datuk Haris Maulana 

Dewasa ini HAM telah menjadi issue global, posisinya tidak mungkin diabaikan dengan dalih apapun termasuk di Indonesia. Konsep dan implementasi HAM di setiap negara tidak mungkin sama, meskipun demikian sesungguhnya sifat dan hakikat HAM itu sama. Dalam hal ini, ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat, Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

 

Pengabaian salah satunya akan menimbulkan pelanggaran HAM itu sendiri. Penulis disini melihat khususnya tentang implementasi HAM di Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tetapi secara umum baik menyangkut perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tanda-tanda kemajuan. Hal ini terlihat oleh penulis dengan adanya regulasi hukum HAM melalui peraturan perundang-undangan serta dibentuknya Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.

 

PENEGAKAN HAM DI INDONESIA

 

Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan HAM,  regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter. Disadari atau tidak, dengan adanya political will dari pemerintah terhadap penegakkan HAM, hal itu akan berimplikasi terhadap budaya politik yang lebih sehat dan proses demokratisasi yang lebih cerah. Dan harus disadari pula bahwa kebutuhan terhadap tegaknya HAM dan keadilan itu memang memerlukan proses dan tuntutan konsistensi politik. Begitu pula keberadaan budaya hukum dari aparat pemerintah dan tokoh masyarakat merupakan faktor penentu (determinant) yang mendukung tegaknya HAM.

Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran.

 

Seperti diketahui, di Indonesia telah terjadi banyak kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, terutama kasus kekerasan struktural yang melibatkan aparat negara (polisi dan militer) dengan akibat jatuhnya korban dari kalangan penduduk sipil. Di antara sederetan kasus yang mendapat sorotan tajam dunia internasional, adalah  kasus DOM di Aceh, Tanjung Priok, Timor-Timur pasca jejak pendapat, tragedi Santa Cruz, Liquisa, Semanggi dan Trisakti .

 

Namun disini dapat dilihat, saat ini banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat atau yang mengandung unsur adanya pelanggaran HAM yang selama ini tidak tersentuh oleh hukum, sebagai akibat dari bergulirnya reformasi secara perlahan tapi pasti mulai diajukan ke lembaga peradilan. Lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan HAM, merupakan forum paling tepat  untuk membuktikan kebenaran tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 secara tegas menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan Peradilan Umum.  Hukum acara yang berlaku atas perkara pelanggaran HAM yang berat menurut Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000, dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pertanyaannya disini, Bagaimana implementasi serta masa depan pengadilan HAM yeng telah dibentuk ?

 

MASA DEPAN PENGADILAN HAM    
Pada Awalnya implementasi dari diberlakukannya UU tentang HAM tersebut ialah secepatnya dibentuk Pengadilan HAM. Dengan adanya pertimbangan desakan perkembangan situasi politik dalam negeri dan desakan dunia internasional, khususnya pasca jajak pendapat di Timor Timur pada akhir bulan Agustus 1999, maka dalam situasi yang amat memaksa, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM pada tanggal 8 Oktober 1999. Perppu ini dipersiapkan pemerintah dalam keadaan tergesa-gesa, sehubungan dengan terbentuknya pendapat umum baik di dalam maupun luar negeri tentang peristiwa yang terjadi di Timor Timur setelah jajak pendapat yang diperkirakan dapat menyudutkan posisi Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Perppu tersebut merupakan solusi untuk memberikan kepastian bagi masyarkat dan dunia internasional bahwa pemerintah memiliki kemauan untuk memproses segala bentuk pelanggaran atau kejahatan HAM, salah satunya kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur. Akan tetapi, keberadaan Perppu tersebut tidak berlangsung lama. Sehingga pada akhirnya pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid UU tentang Pengadilan HAM yang kita kenal sekarang ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 23 November 2000.
Dibentuknya Pengadilan HAM di Indonesia patut disambut gembira, karena diharapkan dapat meningkatkan citra baik Indonesia di mata internasional, bahwa Indonesia mempunyai komitmen dan political will untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu upaya penegakkan HAM di Indonesia diharapkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

 

Disisi Lainnya, secara konseptif dan konstitutif HAM adalah sebuah keharusan yang mutlak dijalankan oleh negara dan tidak boleh tidak, hukumnya wajib. Problem yang terjadi baik era orba maupun sekarang yg terlibat dalam pelanggaran HAM adalah negara itu sendiri, baik terlibat langsung maupun tidak langsung.  Masa depan penegakan HAM kedepan akan banyak resiko yang harus dijalani oleh negara, salah satunya dengan mengadili petinggi sipil maupun militer yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM itu sendiri. Jika dilihat saat ini  HAM akan terlaksana dengan baik maka perlu adanya sikap  negara  yang harus punya political will. Namun apabila tidak adanya political will dari negara, maka konsekwensinya adalah mengembalikan negara ini ke lembah suram (orba). Posisi saat ini menurut penulis bagi pengadilan HAM sendiri sudah sangat baik dengan reegulasinya namun penulis melihat disni, Presiden dalam hal ini punya kewenangan untuk mengintervensi pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kasus HAM tidak secara efektif menanggapinya. Dan lagi, negara kita masih takut untuk mengadili petinggi militer yang ikut serta dalam melakukan pelanggran tersebut.

 

Terlepas dari semua itu, Penulis menyimpulkan dan mencoba memberi solusi sehiingga pelanggaran HAM tuntas dan pengadilan HAM dianggap kompeten dalam meyelesaikan permasalahan ini. Hal pertama yaitu negara melalui pemerintahnya, mengakui bahwa negara melakukan pelanggaran HAM, kedua mengadili para pelaku baik dalam ranah peradilan nasional maupun peradilan internasional, ketiga memberikan reparasi bagi korban dan memenuhi hak korban baik materil maupun inmateril. Pemerintah bukan hanya sebatas presiden, tapi juga DPR dan lembaga tinggi di peradilan.

*) penulis adalah, Mahasiswa Hukum pidana Universitas Malikussaleh (UNIMAL), alumni Basri Daham Journalism Institute (BJI)/ AJI Lhokseumawe, saat ini aktif di KSM Creative Minority

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.