“ Korban lemo tidak mencari kekayaan dari PLTA Pesangan. Mereka hanya menuntut hak. Perusahaan wajib memberikan CSR kepada korban,” sebut Zamzam Mubarak, koordinartor kebijakan publik, Forum Penyelamat Danau Lut Tawar.
Itikad baik PLN yang sangat dinantikan masyarakat. Masyarakat itu jangan dibohongi, jangan diulur-ulur. Tidak akan selesai persoalan lemo ini bila hanya manager PLTA Pesangan yang menangani. Tidak ada wewenang PLTA dalam mengambil kebijakan. PLN pusat harus turun tangan.
“Persoalan lemo sudah berlarut-larut. Sudah 3 tahun, semua persyaratan CSR sudah dipenuhi, bahkan Pemda berperan maksimal memenuhi persyaratan itu, namun pihak PLN belum memiliki itikad baik menyelesaikan,” sebut Zamzam.
Nilai Rp 4,1 milyar bagi proyek nasional yang akan menghasilkan arus listrik 88MW, tidaklah seberapa. Nilai ganti rugi itu bila dibagi untuk 672 korban, satu satu korban tidak mencapai Rp 6 juta.
Harta, usaha korban lemo (naiknya air permukaan danau dan DAS) itu yang mereka minta diganti. Bukan mereka mau cari kaya dari PLTA Pesangan. Berita Waspada selama ini sudah menjelaskan, segala prosedur dan persyaratan CSR sudah dipenuhi korban, namun pihak PLN seperti tidak punya itikad menyelesaikanya, sebut Zamzam.
Bupati Aceh Tengah Nasaruddin bersama Muspida sudah menghadap ke direktur utama PLN di Jakarta. Persyaratan CSR sudah dipenuhi, bahkan tim 71 yang dibentuk Pemda termasuk PLN didalamnya sudah melakukan verifikasi.
Hasil verifikasi itulah yang disampaikan, hingga nilainya menciut hanya Rp 4,1 milyar. Namun pihak PLTA Pesangan masih bertahan, takut mempergunakan uang negara. Masih mempersoalkan hasil tim verifikasi, walau pihak PLN sendiri terlibat dalam tim.
CSR adalah kewajiban perusahaan untuk membina masyarakat disekitar tempatnya berusaha. Apalagi ini yang meminta bantuan CSR itu adalah korban lemo. Tanpa terkena korban lemo yang menuntut ganti rugi, sudah seharusnya perusahaan memikirkan penduduk setempat.
Octavianus, manager PLTA Pesangan, menjawab Waspada, pihaknya masih masih mempersoalkan data yang diajukan. “Saya tidak mau masuk penjara karena ini uang negara,” sebutnya.
Octa bukanlah design maker yang mengambil kebijakan. Bukan pula PLN regional Sumatra Utara. Namun keputusan itu ada di PLN pusat. Untuk menyelesaikan persoalan itu seharusnya Octa dan pimpinan regional Sumut, memberikan pengertian dan penjelasan ke pimpinan pusat. Harus ada kebijakan dalam menyelesaikan persoalan dengan masyarakat ini.
Bila semuanya diselesaikan dengan baik, akan menghasilkan sebuah karya yang baik. Rakyat Aceh Tengah sudah terbukti mendukung PLTA Pesangan, bahkan ketika terjadi benturan soal akidah, adanya pelarangan pengeras suara di masjid, semuanya mampu diselesaikan. Rakyat memaafkan, namun tetap punya harga diri dengan mengedepankan kearifan lokal.
Sudah saatnya pihak PLN yang berada dipusat turun tangan. Bila hanya mengandalkan pihak PLTA dalam menyelesaikan persoalan ini, tidak akan tuntas. Karena kebijakan itu ada di PLN pusat. Bahtiar Gayo/ Harian Waspada Edisi Senin 6 April 2015)
berita terkait : Soal Lemo, PLN Bohongi Publik
PLTA Pesangan Dibalut Masalah dari Waktu ke Waktu