Catatan : Nur Hijrah Nanda*
Sejak dikeluarkannya surat Bupati Bener Meriah nomor : Peg.800/597/2017 perihal rasionalisasi tenaga non PNS, 27 Desember 2017, telah memunculkan berbagai tanggapan dan kecemasan. Bukan hanya yang saya dengar langsung dari para mantan tenaga honorer dan bhakti tersebut, selaku individu yang merasakan imbas langsung dari kebijakan ini.
Namun, dari pihak keluarga dan orang-orang terdekat. Bahkan juga oleh unsur masyarakat lainnya, yang notabenenya bukan bekas tanaga honorer dan bakti tersebut. Menurut hemat saya pribadi adalah perwujudan dari rasa empati selaku manusia normal, yang ikut merasakan perasaan dan kecemasan manusia lainnya.
Dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan oleh Pemerintah, sudah lumrah bila memunculkan tanggapan pro dan kontra. Karena itulah dinamika kehidupan sosial yang sebenarnya. Hadirnya tanggapan-tanggapan ini merupakan bentuk dari sosial kontrol masyarakat kepada pemerintahan yang sedang berjalan.
Maka, amat menggelikan bila dalam alam demokrasi ini, reaksi yang beragam atas sebuah keputusan dan kebijakan, malah diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan itu sendiri. Hingar bingar tanggapan dan komentar ini terasa amat dekat.
Bukan hanya tergambar melalui status dan komentar di dunia media sosial seperti Faceebook semata, bahkan di setiap jalan dan sudut kampung pun telah menjadi tranding topic. Di warung-warung kopi, tempat nongkrong, bahkan di tengah-tengah “sinte” (pesta) pun terdengar dan tergambar dengan jelas akan kecemasan hampir di semua kalangan.
Dalam kontek rasionalisasi tenaga honorer dan bhakti non PNS ini, bila patronnya adalah tingginya angka tenaga honorer dan bhakti serta terbebannya anggaran belanja Pemda Bener Meriah. Maka akan memunculkan pertanyaan besar, mengapa pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah mampu menampung dan menganggarkan belanja atas tenaga honorer dan bhakti tersebut ?
lalu ketika ini terjadi, dimana kehadiran wakil rakyat (DPRK BM)? Bukahkan pada tahun-tahun sebelumnya, lembaga wakil rakyat ini juga ikut membahas dan mengesahkan anggaran belanja honorium tenaga honorer dan bhakti, yang hari ini telah dibebas-tugaskan ? Haruskah menunggu moment Pemilu 2019?
Di satu sisi, merupakan hak Pemda untuk melaksanakan kewenangannya, sebagai perwujudan kepemimpinan dalam suatu wilayah, yang juga merupakan bentuk tanggung jawab terhadap rakyatnya.
Namun, disisi lainnya, adalah sebuah kewajiban pula bagi pemerintah untuk hadir dalam setiap situasi dan kondisi yang dialami oleh rakyat. Dalam keadaan tersulit sekalipun, terlebih keadaan itu tercipta akibat dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah itu sendiri. Disitulah akan diketahui arti kepemimpinan dan bukti pengayoman yang sebenarnya.
Kembali pada kenyataan, bahwa para mantan tenaga honorer dan bhakti adalah manusia-manusia yang telah menunjukkan bukti nyata atas usaha, kinerja, dan pengabdian meraka pada tugas dan amanah yang diembannya. Haruskah dipinggirkan begitu saja? Bila ingin menilai atas jasa dan pengabdian, sungguh sampai ahir hayat dunia ini tak akan sanggup untuk dinominalkan.
Lalu tentang besaran upah yang diterima, kebutuhan hidup tidak akan mengenal kata cukup. Bila memang pemerintah saat ini merasa jumlah upah yang diterima oleh para tenaga honorer dan bhakti pada tahun-tahun sebelumnya tidak layak, maka pikirkanlah sejumlah angka yang menurut pemerintah layak untuk saat ini.
Tentunya besaran upah ini juga harus disesuaikan dengan beban kerja dan kebutuhan tenaga kerja dilapangan. Bukan malah di-nol-kan bulat-bulat. Di titik persoalan pengabdian, para tenaga honorer dan bhakti telah membuktikan bahwa mereka telah berbuat.
Telah mendedikasikan diri, sejauh kemampuan yang mereka miliki. Kendati dinilai belum maksimal, tapi mereka sudah membuktikan diri atas prinsip Pengabdian. Haruskah kenyataan akan keringat dan jasa mereka dilupakan begitu saja?
Ditambah dengan nilai kebanggan yang terpatri pada pribadi para mantan tenaga honorer dan bhakti ini, juga telah ikut membanggakan hati para orang tua meraka, keluarga dan orang-orang disekitarnya, namun dipupuskan dengan alasan beban anggaran?
Kebanggan seperti apa yang akan diberikan pemerintah kepada meraka bila pada kenyataannya mereka telah dibebas-tugaskan? Sedangkan kebanggaan mereka terletak bukan pada tampilan, seragam, bahkan status tugas mereka sendiri. Melainkan pada jerih payah dan pengorbanan meraka saat bertugas!
Saya pribadi, masih menaruh kepercayaan bahwa pemerintah memiliki tujuan dan arah kebijakan yang baik. Bahkan mungkin telah memilih solusi-solusi terbaik pula. Namun itu butuh pembuktian untuk hari ini, dan di hari-hari berikutnya. Sedangkan kecemasan, bahkan keterpurukan harapan telah muncul sejak ditetapkannya kebijakan ini.
Terakhir, secara pribadi saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya, kepada segenap mantan tenaga honorer dan bhakti kabupaten Bener Meriah. Tetap semangat dan teruslah berjuang. yakinlah Allah Maha Mengetahui segala-galanya, dan Allah pulalah sebaik-baik Pemberi Pembalasan.
Penulis adalah alumnus Fakultas Tarbiyah Prodi PAI STAI Alwashliyah Banda Aceh. Saat ini berdomisili di Bener Meriah*)