Memaknai Nasionalisasi Aset

Oleh: Setiadi Miranda, S.IP*

Sepekan terakhir publik di hebohkan dengan isu pengelolaan ratusan ribu hektar hutan oleh calon presiden Letnan Jenderal (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo . Berawal dari celoteh rivalnya Ir. H. Joko Widodo di penghujung debat ke-2 calon presiden Indonesia pada Minggu 17 Februari 2019 lalu isu pengelolaan lahan kemudian menggelinding sampai ke akar rumput.

Tak ayal 97.300 ha hutan Tanoh Gayo yang dikelola Tusam Hutani Lestari sebuah perusahaan yang 60% sahamnya atas nama Prabowo akhirnya menjadi perbincangan hangat publik Tanoh Gayo. Selayaknya sebuah isu politik, hal tersebut kemudian memunculkan beragam pendapat dari masyarakat khususnya jagat dunia maya.
Hal ini jugalah yang memotivasi penulis menerbitkan tulisan ini dengan harapan sebagai pencerahan bagi kita semua. Isi tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis sudah barang tentu tidak memaksa pembaca untuk sepaham dengan penulis.

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita awali tulisan ini dengan pengertian istilah Nasionalisasi Aset. Banyak tokoh masa lalu yang menjabarkan pengertian Nasionalisasi Aset baik dari dalam maupun luar negeri, salah satunya adalah Tan Malaka. Singkatnya Nasionalisasi Aset dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah mencegah aset negara di kuasi asing. Sebagai sebuah negara yang kaya akan hasil alam bangsa ini tentu harus berusaha menjaga alamnya agar tidak dikuasai oleh asing dan Nasionalisasi aset ini dapat dijadikan pilihan untuk mewujudkanya.

Wakil priseden Indonesia Jusuf Kala sebagai mana diberitakan oleh beberapa media nasional bebera waktu lalu, menjelaskan hal ini lebih rinci dengan mengatakan “Lahan yang diberikan negara kepada salah satu anak bangsa setelah terlebih dahulu memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh peraturan yang berlaku dalam bentuk hak guna usaha bukanlah sebuah kesalahan” (Viva.co.id).

Dari pada di kuasai asing, dikelola oleh salah seorang anak bangsa bukankah lebih baik. Apalagi kemudian hal tersebut ia lakukan sebagai upaya menyelamatkan negara, seperti yang dikatakan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Syahrial yang menganggap Prabowo sebagai pahlawan pada tahun 90an, karena telah membeli aset yang sudah ditinggalkan perusahaan lain dan meninggalakan hutang bagi negara (Ajnn.net).

Fakta diatas tentu dapat dijadikan referensi oleh para pembaca sekalian dalam menarik kesimpulan terkait isu ini. Tusam Hutani Lestari (THL) yang 60% sahamnya atas nama Prabowo sama sekali tidak memiliki hak kepemilikan atas 97.300 ha hutan, THL hanya memiliki hak kelola sesuai aturan perundang-undangan di negara ini. Bahkan, penulis beranggapan Prabowo lah yang berupaya menyelamatkan Hutan Industri (HTI) dari tangan asing atau Nasionalisasi Aset sebagaimana penulis jelaskan di paragraf sebelumnya.

Terkait bermanfaat atau tidaknya keberadaan THL bagi rakyat Gayo seharusnya dipertanyakan kepada pemerintah daerah dan provinsi meliputi apa saja yang sudah dihasilkan dari lahan tersebut, bagaimana pengelolaannya, perawatan dan berapa banyak Penghasilan Asli Daerah (PAD) yang bertambah karena THL. Apabila kemudian THL ternyata tidak betmanfaat bagi masyarakat gayo menitikberatkan kesalahan tersebut kepada pribadi bapak prabowo seorang adalah sebuah kemaksiatan intelektual karena pada faktanya pemerintah ikut punya andil besar dalam memberikan injin dan membuat kesepakatan dengan pihak pengelola.

*Penulis merupakan Aktivis Muda Tanoh Gayo asal Bener Meriah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.