Ribuan manusia baru pulang dari lapangan.Takbir masih menggema diiringi dengan kucuran darah yang membasahi bumi. Satu persatu hewan qurban menghadap ke pencipta. Namun hampir di setiap sudut kota, ada pasukan khusus bagaikan tidak peduli dengan takbir yang menggema.
Senjata khas mereka genggam, sambil mengibas – ngibaskanya ke tanah. Mereka tidak peduli dengan manusia yang lalu lalang. Sesekali terdengar tawa sesama mereka. Sambil berjalan tangan mereka tetap bergerak mengumpulkan yang terserak.
Dialeksis.com yang melintasi kawasan Terminal lama, Minggu (11/8/2019) usai shalat Idul Adha, terpana menyaksikan pasukan orange ini. Bagi mereka tidak ada istilah hari lebaran, atau bukan lebaran. Tugas senantiasa menanti.
Di setiap sudut kota, limbah semakin menumpuk. Beragam jenis sampah berserakan di mana mana. Bahkan di sudut kiri pendopo Aceh Tengah, tumpukan sampah ini juga berjejal. Baunya menyengat hidung.
Disaat manusia riang gembira, menyambut hari raya, pasukan orange ini tetap dengan pakaian lusuhnya. Sampah yang membludak harus mereka bersihkan. Takbir yang berkumandang mengiringi tugasnya. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar, Tangan mereka tetap mengayun sapu.
“Ini sudah tugas kami. Walau lebaran, kami harus tetap membersihkanya. Lihatlah sampah ini, kalau dibiarkan sebentar lagi akan jadi masalah, apalagi berada di pusat keramaian,” sebut ibu setengah baya, ketika Dialeksis.com saat menyapanya.
Ibu yang enggan jati dirinya disiarkan ini, harus membersihkan kota Takengon walau saat lebaran. Sebelum bersih mereka belum pulang. Sampah masyarakat yang menjadi sumber penyakit itu harus bersih.
Mereka mengakui pekerjaan itu sebagai bentuk pengabdian, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Gajinya memang tidak seberapa, tidak cukup untuk makan sebulan.
Manusia pilihanlah yang mau melakukan tugas berat, namun mulia ini. Demi kepentingan orang banyak, mereka ihlas melakukanya. Dilain sisi tuntutan kebutuhan hidup, walau nilainya tidak seberapa, mereka harus jalani diantara teriknya matahari dan dingin menusuk tulang.
Tugas berat namun mulia itu, bukan hanya dilakoni mayoritas kaum ibu yang membersihkan sampah di seputaran kota Takengon. Namun petugas pengangkut sampah hingga membuangnya ke lokasi TPA, tugasnya lebih berat.
Mereka tidak ada istilah malam dan hujan. Tidak ada alasan dinginnya Takengon yang menusuk tulang. Sampah di kota penghasil kopi Arabika Gayo ini harus diangkut. Gaji mereka masih dibawah UMR hanya Rp1 juta perbulan.
“Benar, gaji mereka hanya Rp1 juta sebulan,” sebut Zikriadi, Kadis Kebersihan dan Pertamanan, Aceh Tengah, ketika ditanya Dialeksis.com. Zikri mengakui keadaan keuangan daerah, masih sebatas itu gaji yang mereka terima.
Bagaimana dengan lebaran Idul Qurban ini? Ketika mayoritas manusia menikmati daging di sela gema takbir selama tiga hari ini?
Diantara kaum ibu yang membersihkan sampah ini, kepada Dialeksis.com mengakui, mereka sudah mendapatkan kupon untuk mengambil daging.
“Ada yang memberikan kupon untuk mengambil daging qurban yang tidak jauh dari rumah,” sebut salah seorang ibu penyapu sampah ini, sembari dia tetap menggerakan gagang sapu mengumpulkan sampah yang berserakan.
Hidup mereka memang masih serba kekurangan. Banyak kebutuhan hidup yang harus mereka tanggung, apalagi diantara mereka punya keluarga, anak anak masih ada yang bersekolah. Walau gaji minim mereka tetap melakukanya.
“Membersihkan sampah, membuang penyakit dari masyarakat, ini pekerjaan lebih terhormat dari pada menjadi pengemis. Sebagai orang Gayo kami pantang mengemis. Jalani dan syukuri hidup apa adanya,” sebut ibu penyapu sampah yang lainya, juga tidak mau namanya disebutkan.
Dialeksis tertegun mendapatkan keterangan ibu ini, lebih terhormat. Membuang penyakit yang diciptakan masyarakat, itu pekerjaan sangat mulia. Mereka tidak mau menjadi penggemis, walau penghasilan pengemis itu jauh lebih banyak dari yang mereka terima setiap bulanya.
“Bapak wartawan ya? Kok banyak kali tanya tanya,” suara lembut keluar dari wanita setengah baya lainya, dia setengah berjongkok sambil membelakangi Dialeksis. Tangan kananya mengayuh sapu, sementara tangan kirinya memegang serokan tempat menampung sampah.
Pasukan orange yang berkelompok ini mempercepat tugasnya. Apalagi mendung mulai sirna, matahari mulai menyengat, walau awan hitam setengah pekat ini masih menutupi langit.
Takbir terus menggema, terdengar dari beberapa pengeras suara. Hewan yang dijadikan qurban juga cukup banyak. Namun serakan sampah yang dikumpulkan pasukan orange ini jauh lebih banyak. (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)