Setelah sekian lama tak terpikirkan niat kembali ke lokasi yang pernah dijadikan pertaruhan hidup sebagai petani kopi. Akhirnya di pemghujung Juni 2011, kami coba ayunkan langkah, kembali selipkan parang dipinggang ingin melihat kembali keadaan hamparan kebun dan kampung yang dulu pernah punya nama besar penghasil kopi di Bener Meriah. Enam orang lelaki paruh baya ingin kembali ke “gunung” menepati janjinya dan melihat sesuatu yang sudah lama ditinggalkan.
Aku juga mempersiapkan stamina karena aku tahu perjalanan kali ini sangat jauh dengan medan yang sudah kubayangkan sebelumnya. Tak lama kemudian rombongan bergerak dengan semangatnya menelusuri jalan yang becek dan bersemak, jalan seperti ini mungkin setara dengan sebelum kemerdekaan Republik ini, sesekali parang menyambar ranting- ranting yang menghalangi perjalanan kami.
Keringat mulai menyusur, detak jantungpun mulai berpacu terasa kaki mulai letih. ”Masih jauh”… tanyaku, 2 kilometer lagi, jawab seorang yang kukenal bernama pak Buhari. Aku berhenti sejenak menarik napas yang sudah ngos-ngosan. Setelah menempuh 1 jam perjalanan tibalah ditempat yang dituju di kampung Pantan Belangi sekitar 4 Km dari kampung Ulu Naron kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.
Aku melihat rumah penduduk banyak yang tidak berpenghuni, seperti kampung”mati“. “Ini dulunya meunasah” ungkap pak Buhari menunjuk meunasah yang sudah ditutupi semak belukar. Aku tidak memberikan komentar, aku hanya memandangi kondisi meunasah yang sudah tak layak lagi mungkin sekitar 6-8 tahun tidak pernah dipergunakan sekedar estimasiku saja.
Disebuah pematang kami berhenti, kulihat hamparan kebun kopi yang luas membentang, tapi ada juga kebun kopi yang hanya tinggal rangka, ada juga yang sudah menjadi hutan muda (Gayo : tamas mude)
“Dulunya kampung Pantan Belangi ini bisa dikatakan daerah penghasil kopi terbesar di kecamatan pintu Rime Gayo ini, tapi petani banyak meninggalkan kebunnya saat konplik bersenjata mendera daerah ini, sampai sekarang pemilik kebun banyak yang tidak menggarap kebun kopinya,” kata pak Buhari.
Sekarang Aceh kan sudah aman, kenapa masyarakat tidak kembali menggarap kebunnya ? tanyaku kepada pak Buhari. “Alasanya macam-macam, ada yang mengatakan merawat kebun harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, apa lagi batang kopi banyak yang mati. Ada yang memilih mengadu nasib dikota sebagai tukang becak, katanya lebih besar penghasilan narik becak ketimbang bertani kopi” katanya menjawab pertanyaan saya.
Varitas kopi di Pantan Belangi yang yang dikembangkan berupa Ateng Super Gayo, Tim-tim, Bor-bor, Ateng Jaluk, Ateng super dan Jember, meski banyak kebun yang terlantar, ternyata masih ada masyarakat yang bertahan terus berupaya merawat kebun kopi mereka, mereka yakin satu saat nanti, harga kopi akan berpihak kepada petani, tentu dengan perhatian semua pihak untuk mengembangkan kopi Gayo pada umumnya.
“Saya yakin Pantan Belangi akan kembali kejayaanya seperti dulu, dimana pohon kopi pernah ditopang dengan kayu penyanggah karena pohon kopi berbuah cukup lebat,” kenang pak Buhari mengingat masa lalunya di kawasan tersebut.
Ada beberapa yang diharapkan petani yang ada di Pantan Belangi seperti sarana jalan, bantuan bibit kopi, penyuluh pertanian, dan bila memungkinkan bantuan modal ungkap mereka sambil tersenyum, mungkinkah ?. (Bas)