Takengen | Lintasgayo.com – Sengketa tanah Paya Ilang, antara Pemda Aceh Tengah dengan masyarakat yang mengakui sebagai pemilik tanah, sampai kini belum ada penyelesaian. Masyarakat sudah mengajukan proses pembuatan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Tengah.
Namun pihak BPN Aceh Tengah masih belum membuat sertifikat yang diajukan masyarakat. Karena ada sanggahan dari Bupati Aceh Tengah yang menyebutkan tanah tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan publik.
Prosesnya berlarut larut dan panjang. Catatan penulis yang mengikuti perkembangan sengketa tanah antara Pemda dengan masyarakat ini, kasus itu memang panjang dan melelahkan. Bahkan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar, pada sebuah pertemuan 3 Agustus 2018, menjanjikan akan menempuh upaya hukum untuk menyelesaikan persoalan itu.
Namun sampai kini upaya hukum itu tidak ada dilakukan Pemda Aceh Tengah. Di sisi lain masyarakat yang mengklaim tanah Paya Ilang, Kemili, Kecamatan Bebesen Aceh Tengah, sudah mengajukan pembuatan sertifikat ke BPN.
Darwis kepala BPN Aceh Tengah, mengakui bila status tanah disengketakan, pihaknya tidak akan membuat sertifikat. Kedua belah pihak mengajukan proses pembuatan sertifikat.
Masyarakat mengantongi surat kepemilikan ( ada yang tahun 1968 dan 1978). Tanah ini dulu rawa- rawa, namun kini sudah dibangun sejumlah gedung pemerintah. Bahkan sengkata panjang itu turut diselesaikan DPRK Aceh Tengah, pihak dewan mengeluarkan rekomendasi.
Surat DPRK Aceh Tengah yang ditujukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), tertanggal 7 April 2018 dengan nomor 310/133/2018. Inti surat itu meminta BPN untuk dapat melakukan proses pembuatan sertifikat, terhadap para pemilik tanah di Kampung Kemili, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah ini.
Belum juga selesai, Bupati Aceh Tengah tetap menyatakan tanah tersebut sudah diserahkan penghulu Kemili, dan penggulu Gayo yang dipergunakan untuk kepentingan fasilitas umum. Penghulu Kemili dan Penggulu Gayo resmi menyerahkan tanah eks irigasi itu untuk Pemda demi kepentingan publik.
Penyerahan tanah oleh Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo, pada 31 Desember 2014. Keturunan Pengulu Kemili dan Pengulu Gayo, berani mengangkat sumpah atas penyerahan tanah Paya Ilang, serta bertanggungjawab secara hukum. Tanah tersebut diserahkan untuk kepentingan fasilitas publik.
Karena kasusnya tidak selesai, sertifikat yang diajukan masyarakat masih “terpendam” di BPN Aceh Tengah, ahirnya masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah, menyerahkan persoalan itu untuk ditangani Lembaga Aliansi Indonesia tim reaksi cepat, provinsi Aceh.
“Benar kami sudah mempercayakan Lembaga Aliansi Indonesia reaksi cepat untuk menangani kasus ini,” sebut Samsul, salah seorang masyarakat yang mengklaim tanah tersebut milik mereka sesuai dengan dokumen kepemilikan.
Menurut Samsul menjawab Dialeksis.com, Minggu (10/11/2019), pihak Aliansi ini akan menemui langsung pihak BPN seputar lamanya penanganan pembuatan sertifikat yang sudah diajukan masyarakat pada April 2018. Pihak BPN masih mempedomani surat sanggahan dari Bupati Aceh Tengah.
Ketua Lembaga Aliansi Indonesia (TRC), Badan penelitian asset negara provinsi Aceh, Asri Dediansyah, pada Sabtu (9/11/2019) sudah turun ke Paya Ilang, tempat tanah yang disengkatakan itu. Direncanakan tim ini, Senin (11/11/2019) akan menemui pihak BPN Aceh Tengah, agar proses pembuatan sertifikat tanah masyarakat itu secepatnya diproses, sebut Samsul.
Aliansi ini, sudah menerima surat yang diajukan masyarakat dengan sejumlah dokumen. Termasuk surat kepemilikan dan rekomendasi DPRK Aceh Tengah. Pengurus Lembaga Alian Indonesia Provinsi Aceh ini mendapat arahan dari pimpinan pusat, mantan jenderal Jhoni Lubis untuk menindak lanjuti surat pengaduan masyarakat.
Untuk itu tim Aliansi ini turun kelapangan dan langsung ke BPN Aceh Tengah agar pembuatan sertifikat tanah milik masyarakat itu ditindak lanjuti. Mengingat proses pengajuan sudah berjalan 19 bulan, sejak diajukan 25 April 2018 lalu.
Tanah Siapa?
Penulis yang mengikuti perkembangan sengketa tanah itu, mendapatkan sejumlah dokumen dari masyarakat dan Pemda Aceh Tengah, serta kronologi panjangnya sengketa. Luasnya tanh menurut Pemda mencapai 150 hektar.
Di tanah ini kini sudah berdiri bangunan milik Pemda. Ada kantor Camat Bebesen, kantor Imigrasi, Kantor Perhubungan, Pasar Paya Ilang, Resi Gudang dan sejumlah bangunan lainya.
Pemda semasa dijabat Bupati Aceh Tengah Nasaruddin, membangun fasiltas publik di sana. Sementara lokasi eks irigasi itu dulunya rawa-rawa, namun sejumlah masyarakat memiliki dokumen surat yang umurnya jauh lebih tua dari Pemda Aceh Tengah.
Tanah Paya Ilang, Kemili, Kecamatan Bebesen ini, menurut masyarakat luasnya 52.176 meter persegi, banyak pemiliknya. Mereka dilengkapi dengan dokumen. Karena keyakinan dengan dokumen itu, tanah tersebut kini sudah banyak diperjual belikan, ada puluhan akte notaries jual beli.
Masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik sudah mengklaping tanah tersebut. Bahkan sudah banyak dilakukan proses jual beli melalui akte jual beli yang dibuat oleh notaris. Ratusan akte jual beli sudah dikeluarkan pihak notaris.
Budi Hartano, sang pembuat akte notaris ini dihadapan Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar, dalam pertemuan 3 Agustus 2018 lalu, dengan tegas menyebutkan, pihaknya membuat akte jual beli ini karena penjual memiliki dokumen yang sah dan resmi.
Sementara Pemda Aceh Tengah mengantongi surat atas penyerahan penghulu Kemili dan Penghulu Gayo pada ahir 2014. Walau diserahkan pada 2014, namun dalam surat penyerahan itu dijelaskan kronologi tanah tersebut..
Pada pertemuan itu Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar menghadirkan para keturunan Penghulu Kemili dan Penghulu Gayo, masyarakat yang sudah membeli tanah Paya Ilang yang dikuatkan dengan akte. Para penjual tanah dan pihak BPN serta notaris pembuat akte, tidak ketinggalan pihak dewan yang sudah mengeluarkan rekomendasi untuk proses pembuatan sertifikat tanah masyarakat.
Catatan Dialeksis.com, yang ikut dalam pertemuan itu, hasilnya tidak berujung dan pertemuan berlangsung “panas”. Ahirnya Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar menjelaskan pihaknya akan mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk memastikan siapa sebenarnya pemilik tanah tersebut.
Mengapa masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tanah tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan? Menurut Samsul Bahri, salah seorang pemilik tanah, pihaknya tidak mungkin mengajukan gugatan, karena tanah itu milik mereka. Kalau Pemda merasa keberatan Pemdalah yang gugat, sebutnya.
Ketika masyarakat mematok dan mengklaim tanah itu, Bupati Aceh Tengah saat dijabat Nasaruddin, memerintahkan untuk ditertibkan. Pemda mendirikan posko pengamanan tanah eks irigasi itu. Masyarakat dilarang beraktifitas di sana.
Namun masyarakat tetap melalukan aktifitas, ketegangan sering terjadi. Aksi penimbunan dilakukan masyarakat. Sementara itu, Pemda juga membuat jalan aspal membelah tanah tersebut. Kasusnya tidak selesai.
“Ketika dilakukan pembuatan jalan Paya Ilang ke Simpang Pertamina, justru pihak PU Aceh Tengah yang meminta ijin kepada kami. Karena untuk jalan dan kepentingan umum kami ijinkan. Kami tetap membayar pajak atas tanah itu,” sebut Samsul.
Karena Pemda melakukan penertiban, ahirnya masyarakat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Takengon. Bukan mempersoalkan status tanah, namun mengajukan gugatan atas perbuatan sewenang wenang yang dilakukan Pemda dan aparat keamanan saat penertiban. Melarang masyarakat yang memiliki surat resmi atas tanah itu.
Namun gugatan masyarakat itu ditolak majlis hakim di PN Takengon. Pihak masyarakat sudah menduga akan ditolak. Namun mereka tidak mempersoalkanya, karena menurut masyarakat putusan majlis hakim bukan menegaskan siapa pemilik tanah, namun hanya menolak gugatan mereka terhadap perbuatan sewenang wenang.
Masyarakat melaporkan ke DPRK Aceh Tengah meminta dewan untuk bersikap. Dalam sebuah proses yang panjangnya, ahirnya DPRK Aceh Tengah mengeluarkan rekomendasi nomor 310/133/2018 tertanggal 7 April 2018 yang ditanda tangani pimpinan Dewan Zulkarnain.
Berpedoman surat DPRK Aceh Tengah ini, serta dikuatkan dengan sejumlah dokumen kepemilikan tanah, ahirnya masyarakat mengajukan permohonan pembuatan sertifikat ke BPN Aceh Tengah pada tanggal 25 April 2018.
Namun surat masyarakat yang sudah diterima BPN itu kembali mentah. Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar juga mengirimkan surat ke BPN Aceh Tengah tentang sanggahan tanah tersebut, yang menyatakan tanah itu akan dibangun untuk fasilitas publik. Pemda Aceh Tengah juga mengajukan pembuatan sertifikat.
Bahkan kemudian bupati menggelar pertemuan pada 3 Agustus 2018 dengan menghadirkan semua pihak terkait dalam persoalan tanah itu. Namun tidak ada keputusan, ahirnya bupati menyebutkan akan menempuh jalur hukum, namun sampai sekarang tidak ada upaya itu dilakukan Bupati Aceh Tengah.
Karena sudah 19 bulan terpendam di BPN Aceh Tengah, ahirnya masyarakat mengajukan permohonan kepada Lembaga Aliansi Indonesia untuk menyelesaikan persoalan itu. Lembaga di Provinsi Aceh dibawah komando Asri Hardiansyah ini, ahirnya turun ke Takengon.
Kasus tanah itu kembali mencuat dan kembali menjadi pembahasan. Bagaimana kelanjutkan dari kasus tanah antara masyarakat yang mengklaim pemilik tanah Paya Ilang, dengan pemda Aceh Tengah yang membangun sejumlah fasilitas pemerintah di sana? Menarik untuk diikuti. (Bahtiar Gayo)
berita terkait : Paya Ilang