Oleh Muchtarudin Gayo*
Kisruh pengadaan tanah untuk lokasi pusat pasar sayur-mayur Bener Meriah menjadi perhatian banyak pihak baik masyarakat di Bener Meriah maupun masyarakat Gayo perantauan di Banda Aceh, Medan dan Jakarta. Hal tersebut bisa dipahami karena masyarakat Bener Meriah sangat mendambakan kehadiran Pusat Pasar Sayur-mayur guna meningkatkan kegiatan perekonomian para petani sayur dan pedagang sayur di daerah sentra produksi sayur-mayur tersebut.
Seperti diketahui bahwa tanah lokasi pusat pasar tersebut berada di wilayah hukum Desa Bale Atu Kecamatan Bukit. Selama ini status tanah tersebut adalah tanah Negara bekas perkebunan pinus / damar Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Perkebunan Negara ini pernah mengalami masa jayanya pada kurun waktu tahun 1960 – 1980 an dengan beroperasinya pabrik pengolahan minyak terpentin di Lampahan Kabupaten Aceh Tengah saat itu dengan kapasitas produksi terbesar di Asia Tenggara. Dalam perjalannya Instansi yang telah mengangkat nama Kabupaten Aceh Tengah di dunia minyak terpentin secara berangsur mengalami kemunduran dan akhirnya ditutup. Tidak jelas apa penyebab kemundurannya, diduga salah satunya akibat tidak kondusifnya situasi keamanan di Provinsi Aceh kala itu.
PT. Alas Helau pada tahun 1991 berhasil memperoleh izin operasi Hak Penguasaan Hutan (HPH) dari pemerintah dengan nomor SK.HPH.No.20/KPTS-II/1991 Tanggal 11 Januari 1991 untuk pengolahan areal kawasan hutan pinus Burni Telong, lokasi bekas Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). PT. Alas Helau sebagai pemegang HPH dan PT. Kertas Keraf Aceh (KKA) mulai menebang hutan pinus sebagai bahan baku kertas keraf dibawa ke pabrik KKA di Lhoseumawe (Aceh Utara) . Dalam perjalanannya tidak terlalu sukses karena alasan keamanan dan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sekitar tahun 1997 dan kegiatan perusahaan mulai berkurang menjelang HPH berakhir tahun 2003.
Akibat dari krisis ekonomi semakin meluas dan semakin parah, pada bulan April 1999 Masyarakat Adat Desa Bale Atu dan ahli waris Raja Husin Setje Gunung yang diketuai oleh putra kandung almarhum Raja Husin Setje Gunung, Abdullah Husin, BBA pemegang mandate surat tanah adat ; “ De Zelfbestuurder van het lanschap Boeket, tanggal 20 Agustus tahun 1929 yang diperoleh dari Raja Ilang, Raja Boekit saat itu mengajukan permohonan kepada Direksi PT. Alas Helau untuk mengijinkan masyarakat adat Desa Bale Atu menggarap lahan perkebunan secara tumpang sari disekitar areal Desa Bale Atu untuk meningkatkan perekonomian masyakarat. Permohonan tersebut disetujui oleh pihak PT.Alas Helau dengan surat No.142/01-10/IV/1999 tanggal 14 April 1999 dengan beberapa persyaratan. Selanjutnya Abdullah Husin, BBA sebagai ketua Masyarakat Adat Desa Bale Atu mengkapling tanah adat tersebut untuk dibagikan kepada +/- 200 Kepala Keluarga masyarakat adat Desa Bale Atu dengan status “Numpang Usaha” menanam sayur-mayur secara tumpang sari dengan tidak merusak kebun pinus.
Pada bulan Semptember 2002 Ketua Badan Kekerabatan Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, Desa Bale Atu / Ahli waris Amanah Raja Oesin Setia Gunung, Abdullah Husin, BA mengirim surat kepada Bupati Aceh Tengah nomor surat : 01/AH/IX/2002 isi surat tersebut antara lain :
- Mengingatkan Pemda Aceh Tengah dan PT. Alas Helau bahwa HPH atas Hutan Pinus areal Burni Telong akan berakhir 12 Januari 2003. Masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung Desa Bale Atu / Ahli waris memohon kiranya Pemda Aceh Tengah berkenan untuk mengembalikan areal tanah adat kepada mereka.
- Dasar hukum yang dipakai adalah : (a). UU No.5 tahun 1960 tetang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pasal 3 berbunyi : “ Bahwa tanah Nasional Indonesia mengakui adanya Hak Ulayat dan serupa itu dari masyarakat hukum adat sepanjang pada kenyataannya masih ada”. (b). Definisi hak ulayat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 tahun 1999 : “Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat pasat 1 ayat 1 berbunyi ; “ Hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai : Kewenanangan yang menurut hukum adat di punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
- Masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung Desa Bale Atu / Ahli waris melaporkan kepada Bupati Aceh Tengah bahwa realisasi penggarapan lahan HPH PT. Alas Helau dengan sistim tumpang sari ternyata dapat mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat Desa Bale Atu di saat masa krisis dan kaondisi keamanan yang tidak kondusif.
- Berdsarkan hasil Musyawarah Masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung Desa Bale Atu / Ahli waris pada 1 April 1999 diambil beberapa keputusan sbb. : (a). Meningkatkan aktifitas penggarapan lahan tumpang sari. (b). Mengamankan areal tanah garapan masing-masing anggota masyarakat Desa Bale Atu yang telah menerima pembagian kapling tanah garapan. (c.) Mencegah upaya masyarakat luar menguasai lahan secara illegal dengan mengatas namakan masyarakat adat Desa Bale Atu dan mencegah terjadinya benturan kepentingan pada akhirnya terjadi bentrok fisik dilapangan.
Setelah izin operasi HPH PT. Alas Helau berakhir tahun 2003 secara otomatis areal hutan pinus Burni Telong kembali ke Pemda. Kabupaten Aceh Tengah telah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah dengan UU. No.41 Tahun 2003 sehingga areal bekas HPH dimaksud kembali kepada Pemda Bener Meriah.
Melihat dua surat sebelumnya tahun 1999 dan tahun 2002 tidak mendapat tanggapan dari pihak Pemda maka Ketua Badan Kekerabatan Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, Desa Bale Atu / Ahli waris Amanah Raja Oesin Setia Gunung, Abdullah Husin, BBA mengirim surat kembali kepada Bupati Bener Meriah nomor surat : 01/ADT-BSG/III/2004 isi surat tersebut antara lain : meminta kembali Pemda mengembalikan areal bekas HPH PT. Alas Helau kepada masyarakat Adat dan Ulayat Blah Setie Gunung, Desa Bale Atu.
Karena setelah dibangunnya Badara Rembele di Desa Bale Atu tanah adat tersebut telah menjadi incaran banyak pihak mulai dari oknum Pemda, oknum DPRK, oknum Angkatan dan para makelar tanah, sehingga banyak terjadi transaksi penjualan Tanah Negara “bibawah tangan” yang dilegalisasi oleh oknum Camat Bukit berupa penerbitan SKT-SKT illegal mulai tahun 1999 sampai sekarang.
Pada lokasi tanah Negara yang sama telah dibangun kantor KIP Kabupaten Bener Meriah, komplek sekolahan STM dan beberapa tapak rumah Dhuafa dilepas dengan SK Bupati untuk keperluan Negara dan /Masyarakat. Akan tetapi yang sangat aneh pada lokasi tanah Negara yang sama pula Pemda Bener Meriah membeli lahan seluas 15000 meter untuk lokasi Pusat Pasar Sayur dari “R” oknum anggota DPRK Bener Meriah dengan nilai Rp.1,125 Milyar yang nota bene masih berstatus tanah Negara.
Dalam kasus ini masyarakat meminta kepada Bupati Bener Meriah untuk menjelaskan status tanah dimaksud dengan sejujurnya apakah lokasi pembangunan Pusat Pasar Sayur di Desa Bale Atu Kecamatan Bukit tersebut Tanah Negara Atau Tanah Masyarakat.
Masyarakat menunggu hasil kerja Pintar para aparat penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan sampai KPK untuk mengusut tuntas dugaan penggelapan uang Negara pada proyek tersebut.
Indikasi awal sudah dapat dilihat secara terang benderang yang diduga terlibat oknum Camat Bukit, oknum kepala desa Wonosobo, oknum Notaris “DN” yang menerbitkan Akta dan oknum anggota DPRK sdr “R” beserta Tim Pengadaan Tanah tersebut. Sehingga uang Negara sebesar itu dapat dipergunakan untuk membangun bebrapa Sekolah Dasar di daerah terpencil Samar Kilang yang terlupakan. Tanggapan atas tulisan ini dapat disampaikan kepada : e-mail: gempar_lsm@ymail.com
——
*Penulis lahir dan dibesarkan di Desa Bale Atu, Cucu Raja Husin Setia Gunung, Ketua Umum LSM Generasi Muda Pengawal Amanah Rakyat (GEMPAR), tinggal di Cikeas – Bogor.